Selama bertahun-tahun, pengembangan kompetensi ASN lebih banyak dipahami sebagai pelatihan formal di dalam kelas. Dalam imajinasi birokrasi, pelatihan identik dengan duduk di ruangan ber-AC, menyimak presentasi PowerPoint, menyelesaikan modul pembelajaran, mengisi daftar hadir, mengikuti pre-test dan post-test, dan pulang dengan sertifikat pelatihan. Tak jarang, pelatihan menjadi semacam "ritual administratif". Terkadang sertifikat pelatihan lebih utama dibandingkan ilmu dan kompetensinya, entah untuk pemenuhan angka kredit, syarat naik pangkat dan jabatan, atau pelaporan capaian JP pelatihan pegawai.
Paradigma lama ini menempatkan pembelajaran sebagai kegiatan yang kaku dan seragam. ASN mengikuti semua modul pembelajaran yang diwajibkan dalam satu paket pelatihan, dilaksanakan di ruang kelas, bahkan ketika ia sebenarnya telah menguasai sebagian materi melalui pengalaman kerja atau pelatihan sebelumnya. Tidak ada fleksibilitas, tidak ada pengakuan atas pembelajaran mandiri, dan tidak ada kepercayaan bahwa ASN bisa belajar dari pekerjaannya sendiri. Akibatnya, pelatihan terasa repetitif, tidak relevan, dan sering kali gagal menimbulkan perubahan perilaku dan kinerja nyata di tempat kerja.
Namun, paradigma itu sedang bergeser dan harus kita geser. Di tengah transformasi digital dan tuntutan pelayanan publik yang semakin kompleks, pengembangan kompetensi ASN tidak lagi identik dengan pelatihan formal. Kini, belajar dipahami sebagai proses yang kontekstual, reflektif, dan terus berlangsung dalam alur kerja harian pegawai. ASN belajar dari interaksi, dari menyelesaikan masalah riil, dari proyek-proyek strategis, dari diskusi dengan rekan kerja, dan dari bimbingan pimpinan atau pegawai senior sebagai mentor atau coach. Inilah esensi dari pembelajaran terintegrasi dengan pekerjaan, selaras dengan konsep learning in the flow of work, sebagaimana dikembangkan dalam konsep Josh Bersin (2022) dan diperkuat dalam model ASN Corporate University.
Dalam paradigma baru pembelajaran ASN ini, pembelajaran tidak lagi harus dimulai dari ruang kelas. Pelatihan hanya berperan sebagai pelengkap (supporting mechanism), bukan sebagai satu-satunya cara belajar. Peran widyaiswara atau fasilitator berubah menjadi penyedia menu pembelajaran. Kurikulum didesian dengan fleksibilitas dalam implementasinya. Modul-modul pembelajaran disusun dengan kemudahan akses oleh ASN kapan saja dan di mana saja, berbasis kebutuhan kerja, dan digunakan sebagai acuan oleh atasan atau mentor di tempat kerja untuk memfasilitasi pembelajaran pegawainya. Modul pembelajaran tidak selalu berbetuk buku diktat pelatihan, tetapi bisa berbentuk microlearning, simulasi tugas, panduan kerja, atau studi kasus dari pengalaman instansi sendiri.
Fasilitator pembelajaran di tempat kerja tidak selalu harus profesional pendidikan formal maupun widyaiswara pelatihan. Dalam konteks ASN, mereka bisa jadi adalah atasan langsung, pejabat senior, atau bahkan rekan kerja yang lebih dulu menguasai suatu kompetensi. Yang terpenting bukan siapa dia, tetapi sejauh mana dia memahami prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa (andragogi), mampu mengarahkan proses refleksi, dan mendorong pembelajaran yang aktif, kolaboratif, serta berbasis teknologi. Dengan adanya Learning Management System (LMS), Knowledge Management System (KMS), dan berbagai media digital, teknologi kini menjadi enabler pembelajaran, bukan sekadar kanal informasi.
Transformasi ini menuntut perubahan peran ASN dari peserta pelatihan pasif menjadi pembelajar aktif. ASN harus memiliki motivasi intrinsik untuk terus tumbuh dan belajar, bukan karena disuruh atau diwajibkan. Budaya pembelajaran yang sehat bukan hanya mendorong ASN untuk tahu lebih banyak, tapi juga memunculkan rasa malu jika pengetahuannya hari ini masih sama dengan kemarin. Dalam organisasi pembelajar, stagnasi pengetahuan adalah bentuk diam-diam dari ketertinggalan.
Perubahan ini juga mengharuskan instansi pemerintah untuk bertransformasi dari "penyelenggara pelatihan" menjadi "fasilitator pembelajaran". Fokusnya bukan lagi sekadar menyelenggarakan pelatihan yang berbasis kalender dan anggaran, tetapi memfasilitasi proses belajar ASN secara terstruktur, kontekstual, dan berkelanjutan. Bahkan, pelatihan terintegrasi dengan pekerjaan dapat dilaksanakan tanpa biaya tambahan, selama ada komitmen dari pimpinan dan semua pihak dalam organisasi, serta dukungan budaya pembelajaran dan pekerjaan yang mendukung.
Sebagaimana ditekankan dalam Peraturan LAN No. 6 Tahun 2023 yang membahas tentang ASN Corporate University, sistem pembelajaran terintegrasi tidak boleh lagi berjalan terpisah dari praktik kerja dan sistem manajemen kinerja. Pembelajaran harus menjadi bagian dari pekerjaan itu sendiri, bukan sesuatu yang dilakukan di luar pekerjaan. Dengan memahami bahwa pembelajaran bukan lagi sekadar pelatihan, maka kita dapat mulai merancang sistem pembelajaran ASN yang fleksibel, adil, dan bermakna. Di situlah langkah pertama untuk membangun ASN yang benar-benar kompeten, bukan hanya karena banyak sertifikat, tapi karena mampu bekerja lebih baik.
Referensi:
Sudewo, P. A., & Budiaji, R. (2025). Membumi, Bangun, dan Budayakan Pembelajaran Terintegrasi dan Kolaboratif di Tempat Kerja: Strategi Implementasi Pengembangan Kompetensi ASN Terintegrasi dengan Pekerjaan. Deepublish.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI