Kembali ke pengelolaan ASN tadi yah. Kalau ada pemotongan anggaran, atau efisiensi anggaran, kira-kira anggaran untuk pengembangan modal insani, alias human capital, alias ASN ini berapa di urutan ke berapa prioritas pemotongan anggaran?
Sampai sini mulai kelihatankan yah, kalau birokrat kita, alias ASN, sering diperlakukan bukan sebagai modal, tapi sebagai aset yang nilainya dianggap terus menurun alias depresiasi. Bahkan lebih parah, dianggap sebagai beban organisasi (kemarin ada yang menyampaikan kalau guru itu beban negara loh yah, ups). Jadi bukannya di-upgrade, malah dihemat-hemat. Lucunya lagi, kalau ada pejabat kasih pidato tentang SDM atau ASN, isinya pasti manis, "Pengembangan SDM adalah prioritas kami, karena ASN itu adalah modal utama pembangunan!"
Ya ga pa pa, kita dengerin sambil minum kopi pidatonya.
Kompetensi yang Jomplang: "Ada yang Tahu, Banyak yang Ketinggalan"
Sekarang kita diskusikan tentang kompetensi ASN yah. Kita buat analogi saja biar mudah memahaminya. Jadi, kompetensi ASN itu antara satu sama lainnya bisa mirip nasi uduk sama mie instan. Dua-duanya karbohidrat sih, tapi rasa dan teksturnya beda jauh. Yuk kita lihat beberapa fakta yang bikin mikir, sambil tetap menikmati kopi tadi yah!
Kita buka data dan fakta yang pertama, yaitu tentang peta kompetensi tingkat administrator dan jabatan pimpinan tinggi. Bayangkan, dari ribuan pegawai, hanya sedikit yang jago banget. Di level administrator, cuma sekitar 7,04 % yang punya kompetensi dan potensi tinggi. Sedangkan mayoritas ada di level "kompetensi sedang" sekitar 32,28 %. Nah yang paling membuat kita harus berfikir lagi, di level JPT Pratama (pejabat pimpinan tinggi), cuma 4,17 % yang hebat banget. Sisanya? Ya masih perlu ditingkatkan kompetensinya. Ibarat anak yang sekolah sambil main game, ada yang jago matematika dan bahasa, tapi mayoritas masih cuma bisa main game doang, hehe.
Nah, ada juga data dari BKN yang bilang: kesenjangan (gap) kompetensi paling tinggi ada di pengambilan keputusan (86,67 %), orientasi hasil (86,34 %), dan pengembangan diri/orang lain (82,38 %). Artinya, banyak pejabat masih kesulitan bikin keputusan cepat dan mengajak orang berkembang bareng. Ibarat tukang ojek online yang GPS-nya error, disuruh antar ke suatu tempat malah muter-muter ga jelas, bikin penumpangnya bete.
Data BKN dari per Desember 2023 juga bilang kalau ASN jumlahnya besar banget: total 4,46 juta (tengahnya PNS, sebagian lagi PPPK). Bayangkan tuh, kalau pelatihannya cuma pakai metode tatap muka (klasikal), mentok deh di anggaran dan tempat. Banyak ASN jadi nggak kebagian pelatihan yang penting buat mereka. Padahal UU ASN (UU No. 20/2023) sudah jelas bilang, setiap ASN wajib belajar terus supaya relevan dengan kerjaannya. Ibarat pesta es krim di taman, cuma sebagian kecil yang kebagian, sementara banyak yang cuma ngeliatin dari pagar.
Masih banyak instansi yang belum serius bikin analisis kebutuhan pelatihan (training needs analysis). Jadinya tiap tahun kadang pelatihannya sama aja, tanpa disesuaikan kebutuhan pegawai. Contohnya di Kemendagri: data beberapa tahun yang lalu menyebutkan realisasi pelatihan minimal 20 jam per orang per tahun cuma bisa mencapai 25,5 % targetnya. Ibarat kamu punya sepeda baru, tapi tiap hari kamu mau naik tapi bannya lupa dipompa, ya kasihan sepedanya.
Di banyak daerah, pelatihan dan kompetensi ASN rendah sekali. Pelatihan tidak berkelanjutan, tidak sesuai kebutuhan daerah, dan kadang instansi lokal nggak punya dana atau perhatian yang cukup. Ibarat ada dua taman bermain: yang satu lengkap ayunan dan perosotan, yang satu cuma lapangan kosong dan rumput tinggi, padahal anak-anak sama-sama butuh main.
Penutup ala Baby