Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bukan Saatnya Senjakala Kami

5 Januari 2016   18:40 Diperbarui: 11 Januari 2016   17:28 2110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi - koran (Kompas)"][/caption]Setiap kali membaca artikel mengenai senjakala media cetak, saya berusaha menahan diri untuk tidak sensi. Bagaimana mungkin saya bisa menuruti kata hati dan tanda pagar #jangansensi yang menjadi ciri khas saya di media sosial Facebook kalau senjakala media cetak terkait dengan nasib saya sendiri. Benar, nasib saya selaku orang media cetak alias koran.

Sekarang mendengar kata-kata "senjakala" saja (tanpa embel-embel "media" apalagi "media cetak"), sensi saya berubah menjadi tensi tinggi. Saya maunya marah, sebel kepada para analis seperti Mas Hilman Fajrian ini, yang seakan-akan menjadikan koran di mana saya bekerja, sebagai objek kupasan. Kasarnya, seolah-olah koran di mana saya bekerja dijadikan pesakitan, disisik dan ditelisik dari berbagai sisi. Tetapi tatkala Pak Bre Redana, senior saya mengungkapkan perasaannya dengan pertanyaan menohok "Inikah Senjakala Kami?" di Harian Kompas edisi Minggu, kemarahan saya urungkan, tensi saya turunkan.

Bagaimanapun, Pak Bre adalah senior dan saya sangat menghormatinya. Tidak pantaslah saya memperbincangkannya. Sementara kepada Mas Hilman, meskipun tulisannya terasa sebagai menyiram luka terbuka dengan jeruk nipis, toh saya harus berterima kasih atas kesediaannya berbagi pemikiran. Saya anggap Mas Hilman sebagai anggota Ombudsman gratisan bagi koran di mana saya bekerja, yang "status"-nya saya samakan dengan Daniel Dhakidae, Ashadi Siregar, Faisal Basri, Nurul Agustina, dan Ignatius Haryanto sebagai anggota Ombudsman yang sesungguhnya. Bedanya, para anggota Ombudsman yang saya sebutkan barusan dibayar untuk bekerja secara fisik dalam memberi masukan dan kritik, sementara Hilman Fajrian bekerja di "awan", di jagat maya dengan menuliskan masukannya di blog sosial.

Perlu saya singgung salah seorang anggota Ombudsman, yaitu Ignatius Haryanto, yang disebut-sebut Pak Bre dalam tulisan "Senjakala Media"-nya. Sebagai angota Ombudsman, Mas Har, demikian saya biasa memanggilnya, didapuk untuk menyiapkan paparan singkat mengenai masa depan koran, termasuk Harian Kompas, tentunya. Karena saya termasuk jurnalis yang selalu hadir dan jarang melewatkan diskusi forum Ombudsman dengan petinggi koran, saya menyimak betul paparan Mas Har dengan judul "Senjakala Suratkabar di Indonesia?"

Rupanya, kata kunci "senjakala" inilah yang kemudian dijadikan judul artikel yang gemanya memantul sampai menembus dinding Internet dan sosial media itu. Banyak yang sudah membahas konten tulisan Pak Bre itu dan saya tidak berminat membahasnya lagi di sini. Hanya saja kalau boleh saya sedikit memberi bocoran, artikel itu hadir atas pertanyaan Pak Bre sendiri kepada Mas Har. "Bicara soal senjakala, saya ingin tahu persisnya kapan koran kita ini mati?" tanya Pak Bre lugas tanpa tedeng aling-aling. Tentu saja yang dimaksud "koran kita" tidak lain Harian Kompas, tempat saya dan Pak Bre bekerja.

Dalam rapat dan diskusi antarwartawan, dialektika sengit semacam yang dilemparkan Pak Bre sudah terlalu biasa, tidak terlalu mengejutkan. Malah saya melihat dan merasakan, para anggota Ombudsman itulah yang "terkejut" mendengar pertanyaan Pak Bre. Beberapa tidak siap dengan jawaban pasti atas pertanyaan "kapan persisnya" Kompas mati yang dilempar Pak Bre dengan ringan tanpa beban, sebagaimana kesehariannya. Pak Daniel misalnya menjawab sambil berkelakar, "Ya tentu suatu waktu bakal mati, tetapi mungkin jauh setelah You pensiun!"

Bahkan, Ignatius Haryanto sendiri sebagai pemateri tidak mampu menjawabnya secara pasti. Bagi saya ini biasa saja, tidak terlalu mengejutkan. Yang mengejutkan justru ketika Pak Bre menulis "Inikah Senjakala Kami?" di Kompas beberapa hari kemudian. Mas Har memang membuka paparannya dengan menyebut koran dan majalah yang tutup seperti Sinar Harapan, Majalah Detik, Jakarta Globe, Harian Bola, dan belasan majalah di Group Gramedia, disusul dengan pertanyaan dialektik, "Apakah ini akhir dari peradaban surat kabar cetak saat ini?"

Jujur, saya menikmati paparan Ignatius Haryanto yang meskipun terasa menyakitkan, tetapi banyak memberi masukan dengan membandingkan apa yang terjadi di Indonesia dengan di dunia luar, khususnya Amerika Serikat sebagai "kiblat" jurnalisme. Masukan yang bagi saya terasa "make sense" kalau diterima dengan lapang dada dan berbesar hati. Sejumlah faktor yang membuat tiras koran tergerus antara lain juga disampaikan, antara lain akibat perkembangan teknologi digital, pertumbuhan ekonomi yang melambat, kebiasaan membaca yang beralih ke smartphone, dan punahnya harapan akibat tidak terbentuknya generasi muda pembaca masa depan.

Bagi saya yang paling menarik adalah saat Igantius Haryanto mempertanyakan nasib media cetak di Amerika Serikat sebagai pembanding dengan "nasib" koran di Indonesia. Rujukannya antara lain buku karya Leonard Downie Jr dan Michael Schudson berjudul "Reconstruction of American Journalism", CJR (2009). "Apa yang kita bisa pelajari dari pengalaman Amerika?" tanyanya kepada hadirin yang sebagian besar jurnalis Kompas.

Ignatius Haryanto kemudian memaparkan beberapa petikan Rekonstruksi yang terdapat dalam buku itu tersebut, yang kemudian saya kutip lengkap agar memberi gambaran sesungguhnya yang terjadi dalam dunia persuratkabaran.

Rekonstruksi (1), dari situasi saat ini apa yang hilang, apa yang terjadi pada jurnalisme dalam situasi sekarang, dan yang lebih penting; apa yang harus dilakukan dalam lanskap yang baru ini untuk mempertahankan atau memelihara pemberitaan yang independen, orisinal dan kredibel?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun