Bagaimana kalau Kompasiana mati? Jaga, jangan sampai mati!
Boleh jadi semua kematian akan berpangkal pada Tuhan YME, Allah SWT. Iya kalau itu makhluk bernyawa, makhluk hidup. Tuhan yang mengadakan, Tuhan pula yang meniadakan. Tetapi kalau Kompasiana?Â
Kehidupannya ya tergantung pada para pengelolanya, para penulisnya, para pembacanya. Selagi para pemangku ini bersepakat untuk tetap menghidupkan Kompasiana, ya Kompasiana akan tetap ada.
Sudah banyak para penulis jebolan Kompasiana yang kalau kata orang Sunda sudah "moyan", terkenal dan hidup dari menulis. Dari menulis, turunannya bisa apa saja. Silakan sebutkan sendiri...
Ini adalah era narasi, era bercerita, sebuah ujud kebudayaan literasi tutur yang sebenarnya sudah melekat sejak orangtua kita bercerita tentang fabel, kisah-kisah heroik, kisah para pemberani, kisah para nabi.Â
Cerita bisa menenggalamkan berita kalau kemasannya itu-itu saja, kaku dan tidak ada inovasi, tidak ada terobosan. Padahal yang harus dicoba, buatlah berita faktual seolah-olah penulisnya (wartawan) bercerita kepada pembacanya, menyampaikan laporannya.Â
Berceritalah tentang pemikiran dan opini, sehingga pembaca tidak seperti membaca laporan yang kaku dan tidak menarik, minim drama, minim karakter, minim konflik. Padahal, dalam sebuah tulisan unsur-unsur penting dalam sebuah narasi seperti plot, karakter, konflik, drama dan resolusi harus ada.Â
Barangkali ini yang dilupakan para wartawan arus utama mengapa tanpa disadarinya pembaca beralih ke tulisan-tulisan warga yang lebih hidup. Nah, di sinilah kesempatan itu harus diambil dan itu ada di tangan para Kompasianer!
Mengapa pembaca sekarang yang sebagian besar netizen (warganet) lebih menyukai tulisan para buzzer, influencer atau key opinion leader? Karena unsur story telling-nya itu.Â
Dalam satu titik, wartawan dari media arus utama, bahkan media besar sekalipun, akan cemburu dengan kekuatan yang dimiliki warga biasa ini. Mereka kedodoran. Alih-alih membuat laporan investigatif yang memikat pembaca, malah sibuk bernarasi untuk memberangus para penulis warga pengisi konten media sosial di Internet itu.
Ini kesalahan yang luar biasa fatalnya dari sebuah institusi media arus utama, seolah-olah dunia menulis adalah urusan mereka semata, hak istimewa yang tidak boleh orang lain melakukannya. Mereka lupa tentang dunia literasi yang sudah berubah.
Kesempatan ini harus tetap diambil Kompasianer sebaik-baiknya dengan segala kekuatan dan kelebihannya.
Salam....
Tasikmalaya, 10 Oktober 2019
***