Mohon tunggu...
Dodi Mawardi
Dodi Mawardi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Penulis kreatif sudah menghasilkan puluhan buku, antara lain Belajar Goblok dari Bob Sadino dan Belajar Uji Nyali dari Benny Moerdani. Selain aktif menulis, juga sebagai dosen, pendidik, dan pembicara bidang penulisan, serta komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Tiga Jam Seru Di Sungai Perbatasan RI – Malaysia

18 Oktober 2014   13:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:35 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Catatan Perjalanan 2)

Kring… HP saya berbunyi. Mata sudah terlelap. Pikiran melayang diantara alam alfa dan beta. Suara HP masih terdengar. Ketika diangkat, terdengar suara Bupati Malinau Dr. Yansen TP., MSi.

“Pak Dodi sudah tidur?” ujarnya ringan, menebak kondisi saya. Jam menunjukkan 10.40 wib. Saya memang tidur lebih cepat malam ini, karena besoknya jam 3 pagi harus sudah ke bandara, mengejar pesawat yang berangkat jam 5 pagi.

“Belum, Pak!” jawabku spontan. Memang belum tidur karena masih bisa mendengar suara dering HP. “Siap-siap Pak, karena besok berangkat pagi-pagi,” lanjutku sambil turun dari tempat tidur, karena khawatir mengganggu istri tercinta yang sudah lebih dulu terlelap.

“Kalau besok dari Tarakan naik speedboat, mau tidak?” tanya pak Bupati.

Hmmm… speedboat. Menarik juga. Sebelumnya kan naik pesawat terbang dari Tarakan ke Malinau. Mungkin akan lebih berwarna kalau perjalanan ratusan kilometer itu ditempuh melalui jalur air. Bukankah nenek moyangku seorang pelaut? Hehe… jarang-jarang mengikuti jejak nenek moyang, dengan menyusuri sungai di Kalimantan.

“Mau pak…” saya menjawab dengan penuh semangat.

“Baik kalau begitu, saya siapkan speedboat untuk jemput bapak besok. Selamat tidur!” sambung pak Bupati mengakhiri percakapan.

****

Perjalanan dari Bandara Soekarno – Hatta menuju Tarakan membutuhkan waktu 2 jam 25 menit, seperti yang diucapkan oleh pramugari Lion Air saat hendak terbang. Benar saja, jam 9 pagi waktu Tarakan, pesawat mendarat (take off terlambat 30 menit). Cuaca dalam kondisi basah. Hujan. Ya, hujan yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang Indonesia, turun di Tarakan. Beberapa saat sebelum mendarat, pesawat menerabas puluhan awan pekat dan tebal. Guncangan beberapa kali terasa.

Penjemput di Bandara Juwata mengatakan, speedboat masih dalam perjalanan. Mungkin satu sampai dua jam lagi baru tiba.

“Bapak berapa orang?” tanya Haji Sukri, petugas yang biasa membantu tamu pemda Malinau di Tarakan.

“Sendirian…”

“Sendirian?” tanyanya heran. Keningnya berkerut. Matanya sedikit membelalak. Kulit legamnya menambah lengkap mimik kaget bapak setengah baya ini.

“Ya, sendirian. Kenapa pak?”

“Speedboat itu kapasitasnya 20 orang pak. Bapak sendirian…”

*****

Jam 12.40 speedboat baru memulai perjalanan dari pelabuhan Tarakan. Pelabuhan ini lumayan ramai juga. Banyak orang lalu lalang di sana, turun dan naik dari speedboat, berbagai ukuran. Paling besar mungkin mampu menampung sampai 30 penumpang. Sedangkan yang terkecil, berisi sekitar 10 orang penumpang. Di sisi lain, sejumlah perahu besar mengangkut barang. Mulai dari barang dagangan kelontong dan kebutuhan sehari-hari, sampai kendaraan bermotor roda dua dan roda empat. Tujuannya beragam mulai dari arah Nunukan, Tanjung Selor, Tana Tidung sampai ke Malinau.

Menurut nakhoda, waktu tempuh Tarakan – Malinau sekitar 3 jam.

“Kalau dikejar waktu, bisa dua setengah jam,” ujar Fredman, nakhoda yang PNS pemda Malinau. Ia sudah 8 tahun mengemudikan speedboat milik pemda.

“Speedboat ini sudah tua, tapi kondisinya masih baik,” tambahnya tanpa saya tanya.

Perjalanan 3 jam itupun dimulai. Dan nyaris semuanya sesuai dengan bayangan keasyikan dan keseruan yang saya harapkan. Asyik dan seru.

Saya awalnya duduk di dalam kabin. Tempat duduknya empuk. Ketika pertama masuk, saya juga tertarik dengan AC-nya. Tapi selama perjalanan, AC tersebut tidak pernah dinyalakan. Jadilah AC alam yang ternyata terasa lebih menyegarkan. Asli. Sepertiga perjalanan, saya pindah ke samping kemudi dan ngobrol dengan nakhoda. Beberapa saat kemudian, saya pindah lagi ke geladak bagian belakang. Wah… ternyata di belakanglah surga perjalanan menggunakan speedboat. Duduk di dinding speedboad bagian belakang menghadap ke depan. Tidak ada atap di geladak, melainkan hanya terpal yang setengahnya masih terbuka. Angin menerpa dari segala arah. Tapi mata bisa leluasa dan puas menikmati pemandangan seru sepanjang perjalanan.

******

Jalur air Tarakan – Malinau dan sebaliknya, menggunakan aliran sungai Sesayap. Baru dengar nama sungai ini? Sama, saya juga. Yang lebih familiar adalah Mahakam, Kapuas, Barito, atau Kahayan. Sedangkan ini namanya sama dengan bagian dari seekor burung, yaitu sayap. Entahlah apakah maknanya sama. Saya belum sempat menyelidikinya. Yang pasti, sungai ini lebaaaaaar sekali. Sulit menemukan sungai selebar ini di pulau Jawa. Mau tahu berapa lebarnya? Lebih dari 3 kali lapangan sepakbola. Bener. Lebar sekali. Bahkan di daerah yang berbatasan dengan laut, sampai jarak beberapa kilometer, lebarnya mungkin sekitar 1 km. Makin ke dalam makin menyempit. Tapi sesempit sempitnya Sesayap yaitu di wilayah Malinau, lebarnya masih lebih dari 100 meter!

Speedboat bisa melaju amat kencang, di atas air keruh yang menjadi pemandangan sepanjang perjalanan. Kecepatannya saya taksir selalu di atas 80km/jam. Saya jadi teringat balapan speedboat, yang dua bersaudara atlet Indonesia baru saja menjadi juara dunia di Amerika Serikat. Ayisk sekali ngebut di atas air. Suara cipratannya khas. Bahkan benturan air sungai dengan dasar speedboat juga memberikan sensasi mengasyikan. “bletuk… bletuk...” Mirip suara lantai mobil yang terkena batu di jalanan semi aspal. Ketika pertama kali mendengarnya, timbul rasa khawatir. “Jangan-jangan bisa bocor nih kapal kalau terkena benturan terus seperti itu…”

Kondektur speedboad, mas Abidin, beberapa kali berdiri di geladak belakang dekat mesin. Terpaan angin menghajar tubuhnya. Tapi karena sudah terbiasa, dia tampak santai saja. Padahal, kalau terempas ke air, mungkin berbahaya. Airnya yang keruh, dan dipenuhi dengan berbagai macam benda serta kayu di beberapa wilayah. Meski arusnya tidak deras dan tak berbatu, terjatuh ke sungai Sesayap, pastilah bukan pilihan yang menyenangkan, hehe…

“Bapak mau duduk di sini?” katanya membuyarkan lamunanku terjatuh ke sungai.

“Hehehe… terima kasih,” jawabku sambil menggelengkan kepala, membayangkan bahaya yang mengancam jika berada di tempat Abidin berdiri.

*******

Di sepanjang sungai, kanan kiri dipenuhi dengan pohon. Rimbun. Hijau. Penuh. Tak ada sejengkal tanah pun yang tidak ditumbuhi pohon.

“Itu pohon Nipah…” kata nakhoda pendek, menjawab pertanyaan saya.

“Daunnya biasa menjadi atap rumah…” sambungnya.

Sebagian besar bibir-bibir sungai Sesayap, ditumbuhi oleh Nipah. Di bagian hilir, memang lebih banyak bakau. Tapi makin ke hulu, Nipahlah yang mendominasi. Nipah ini adalah bahan baku bangunan warga di Kalimantan Utara. Tampaknya, bahan baku yang satu ini akan sulit habis. Tuhan sepertinya menanami terus tanah Kalimantan dengan Nipah.

“Nah, itu pohon Madu pak,” kali ini Abidin yang menunjukkan sebatang pohon besar, tinggi lurus menjulang, melebihi pohon lain di sekitarnya. Kenapa pula dinamakan pohon madu? Apakah dia mengeluarkan madu? Atau rasa buahnya semanis madu? Atau kayunya yang manis seperti madu?

“Pohon itu tempat lebah-lebah bersarang pak…”

Di bagian atas pohon itu, terdapat beberapa cabang dan dahan. Nah di sela-sela perbatasan batang dan  dahan itulah, lebah membangun rumahnya. Warga sekitar sudah tahu dengan kebiasaan lebah tersebut dan memanennya pada saat tertentu. Jadilah, pohon tinggi itu disebut sebagai pohon madu. Nama resminya adalah pohon manggris. Bukan manggis, lho.

Kayu adalah produk alami asli Kalimantan. Sepanjang mata memandang dari udara, Kalimantan adalah hutan. Hijau. Meski setiap tahun selalu berkurang karena penebangan dan pembakaran, hutan Kalimantan masih tetap luas. Bahkan salah satu kawasannya yaitu Taman Nasional Mentarang di Malinau, dinobatkan sebagai paru-paru dunia. Wajar, karena hutan Kalimantan menghasilkan oksigen yang banyak sekali. Hmm segar.

“Kenapa speedboatnya tiba-tiba melambat?” saya keheranan ketika di sebuah tikungan, nakhoda melambatkan speedboat seketika. Tubuh saya agak terhuyung ke depan. Untung bukan ke belakang, karena di belakang saya adalah mesin speedboat dan air sungai.

“Banyak kayu pak di depan,” ujat Abidin memberi penjelasan. Dia sudah terbiasa menghadapi kondisi seperti itu. Tampak deretan batang-batang kayu yang sudah terpotong-potong melayang di sungai. Jika nakhoda tidak hati-hati, bisa saja menabrak kayu-kayu tersebut dan berakibat fatal terhadap speedboat. Sejumlah kecelakaan pernah terjadi karena hal tersebut.

********

Hampir 2 jam berada di atas sungai Sesayap. Air masih keruh. Lebar sungai tetap menakjubkan. Di beberapa lokasi, tampak rumah penduduk. Hanya satu dua saja. Jarang. Menurut nakhoda, jalur sungai dari Tarakan – Malinau akan melewati dua kabupaten lain yaitu Bulungan dan Tana Tidung. Yang tampak di pinggir sungai adalah Tana Tidung. Ada keramaian di sebelah kiri sungai, setelah dua jam perjalanan. Tampak bangunan-bangunan tinggi, tidak jauh dari pinggir sungai.

“Itu pelabuhannya…” kata Abidin sambil menunjuk sebuah tempat yang… sepi. Jangan bayangkan pelabuhan seperti Tanjung Perak Surabaya, atau Tanjung Priok Jakarta. Jangan pula bayangkan pelabuhan yang lebih kecil seperti di Bagansiapiapi. Pelabuhan di Tana Tidung kecil dan sepi. Hanya ada beberapa kapal kecil, perahu dan speedboat. Jauh lebih kecil dibanding pelabuhan Tarakan, tempat saya memulai perjalanan. Tampaknya pemerintahan Jokowi, harus datang ke Kalimantan Utara dan menyaksikan potensi transportasi sungai di sini.

14135886781620606102
14135886781620606102

Saya mulai menyaksikan sejumlah kapal besar yang mengangkut batu bara. Tidak banyak. Hanya 3 kapal batubara yang sedang berjalan menuju Tarakan. Jumlah batu bara yang diangkut cukup banyak, yang dapat kita lihat dengan mata telanjang. Jelas dan nyata. Jangan bayangkan kapal tangker pengangkut barang. Kapal-kapal pengangkut batu bara ini berupa dua buah kapal berbeda bentuk. Pertama kapal penariknya berukuran panjang sekitar 40 meter. Di belakangnya terdapat kapal bak terbuka. Betul-betul terbuka. Sekilas seperti papan raksasa, yang di atasnya ditumpuk batu bara begitu saja. Dari jauh, batu-batu hitam itu tampak seperti gunungan-gunungan mini. Saya tidak dapat menebak dengan pasti berapa jumlah batu bara itu. Tapi kalau dibandingkan mungkin lebih dari muatan 100 truk besar.

Di sejumlah titik, saya juga melihat beko-beko kuning yang sedang memotong atau mengangkat kayu. Lokasinya persis di bantaran sungai. Di belakang beko itu terdapat tumpukan kayu dan jalur terbuka menuju hutan. Tampak tumpukan kayu yang cukup tinggi, mengambang di atas sungai Sesayap. Jumlahnya mungkin ribuan gelondongan batang kayu. Mungkin sebagian hasil olahan kayu inilah yang tercecer terbawa arus di sepanjang sungai Sesayap. Potongan kayu itulah yang mewajibkan mata nakhoda speedboat lebih awas. Setir kemudi speedboat berkali-kali harus diputar ke kanan dan ke kiri, dengan cepat. Sebagai penumpang, saya asyik-asyik saja menikmati momen tersebut.

**********

“10 menit lagi sampai di Malinau, pak!” kata Abidin tepat di kuping saya. Dia harus berteriak, karena suara mesin speedboat cukup keras. Kami harus bersaing dengannya setiap kali berdialog. Suara speedboat membuat kami lebih banyak diam, menikmati pemandangan baru buat saya, tapi mungkin menjadi pemandangan yang membosankan buat Abidin.

“Mana pelabuhannya?” ujar saya dalam hati. Apakah seperti Pelabuhan Tana Tidung yang tadi saya lihat sebelumnya. Kecil dan sepi. Atau lebih ramai. Malinau adalah sebuah kabupaten dengan luas wilayah yang jauh lebih besar dibanding Tana Tidur. Ketika beberapa bulan lalu berkunjung ke kota perbatasan ini, saya belum sempat berkeliling ke pelabuhannya.

“Nah, itu pelabuhannya, pak…” kata Abidin sambil menunjuk sebuah bangunan kecil berwarna biru, yang terletak di sisi kiri Sesayap. Di bagian yang menempel ke sungai, terdapat tangga dan jalur naik, menyambungkan speedboat yang bersandar dengan gedung pelabuhan. Bentuk pelabuhan itu seperti rumah sederhana saja. Sangat sederhana. Bagi Anda yang tinggal di Jawa, mungkin bisa sambil membayangkan bangunan kecil stasiun kereta api di beberapa titik jalur Bogor – Sukabumi.

Selamat datang di Malinau!

Begitu saya bergumam sendiri di dalam hati. Cukup di dalam hati, karena tidak ada penyambutan apapun (dalam bentuk tulisan) ketika saya beranjak dari speedboat menuju daratan Malinau. Itu sudah cukup. Dan pengalaman hampir 3 jam di sungai Sesayap, memberikan kesan mendalam ke dalam jiwa ini. Sungai Sesayap sudah tersedia sebagai jalur transportasi yang murah dan menyenangkan. Sayang belum dimanfaatkan secara maksimal. Jalur Malinau – Tarakan dan sebaliknya, baru dilayani oleh segelintir speedboat. Padahal, Malinau sedang bergeliat. Kabupaten yang berulang tahun yang ke-15 ini, terus melakukan pembangunan di bawah komando Dr. Yansen TP, sang bupati penggagas Gerakan Desa Membangun. Geliat yang makin menggelora dari wilayah perbatasan Indonesia - Malaysia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun