Mohon tunggu...
Dodi Mawardi
Dodi Mawardi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Penulis kreatif sudah menghasilkan puluhan buku, antara lain Belajar Goblok dari Bob Sadino dan Belajar Uji Nyali dari Benny Moerdani. Selain aktif menulis, juga sebagai dosen, pendidik, dan pembicara bidang penulisan, serta komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tolak Raskin, Sukses dengan Program Rasda

30 Maret 2020   10:08 Diperbarui: 30 Maret 2020   10:08 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Kodam Mulawarman

Pemerintah pusat menjalankan program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin) sejak 1998. Awalnya nama program tersebut adalah Operasi Pasar Khusus (OPK). Sejak 2002, program itu kemudian berganti nama menjadi Raskin. Program Raskin bertujuan untuk penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial di bidang pangan berupa bantuan beras bersubsidi kepada rumah tangga berpendapatan rendah (rumah tangga miskin dan rentan). Pemerintah Kabupaten Malinau di bawah kepemimpinan Bupati Dr. Yansen TP., menolak program Beras Miskin (Raskin) tersebut.

Pada tahun 2015, Menteri Sosial mengubah nama Raskin menjadi Rastra (Beras Sejahtera). Perubahan ini bertujuan untuk mengubah paradigma. Menurut pemerintah pusat, bantuan subsidi beras ini diharapkan mampu mengubah keluarga miskin menjadi keluarga sejahtera. Malinau tetap menolak meski kemudian nama program itu berubah. Menurut Bupati Malinau, esensi program itu tetap sama, meski nama berubah.

Pemkab Malinau berpandangan berbeda tentang program Raskin atau Rastra. Raskin itu pada pelaksanaannya sudah seperti melecehkan orang miskin. Berikut ini alasan kenapa Raskin atau Rastra tak diterima di Malinau:

1.         Kualitas buruk.

Kualitas Raskin ketika pertama kali diperkenalkan dulu memang buruk. Jauh di bawah kualitas beras normal. Apalagi kalau dibandingkan dengan kualitas beras terbaik. Jauh sekali. Kadang karena kualitas buruknya tersebut, banyak warga miskin yang menolak. Atau kalau pun menerima, mereka tidak mengkonsumsinya tapi menjadikannya sebagai pakan ternak. Miris.

2.         Biaya distribusi tinggi.

Luas wilayah Malinau itu lebih dari 55 kali luas DKI Jakarta. Bayangkan betapa luasnya. Akses transportasi masih minim. Sudah tentu, biaya distribusi Raskin sangat tinggi. Pemerintah daerah Malinau sudah mengkalkulasi dan program Raskin tidak sesuai dengan kalkulasi tersebut.

3.         Harga tidak sesuai kualitas.

Harga dan biaya Raskin jauh lebih tinggi dibanding yang seharusnya, dan tidak sesuai dengan kualitasnya. Jika program Raskin di Malinau dipaksakan, maka hasilnya akan sangat buruk.

4.         Warga miskin di pelosok.

Sebagian besar penduduk Malinau menempati desa-desa terpencil, tersebar di wilayah yang sangat luas. Di wilayah mereka sendiri sudah ada beras yang lebih layak konsumsi. Jika diberdayakan, maka produksi beras di wilayah itu akan mampu memenuhi kebutuhan beras mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun