Oleh: Ihsan Iskandar S.Sos M.E
Negara kita menghadapi ujian integritas kebijakan lingkungan. Di satu sisi, pemerintah mengklaim komitmennya terhadap konservasi, dengan memperkuat status Raja Ampat sebagai kawasan konservasi laut kelas dunia. Namun di sisi lain, negara juga memberi ruang legal bagi aktivitas pertambangan nikel, termasuk mempertahankan izin usaha pertambangan (IUP) milik anak usaha BUMN, PT Gag Nikel, di Pulau Gag. Inilah paradoks yang mencolok dan menyisakan pertanyaan kritis: apakah kita benar-benar serius menjaga ekosistem atau sekadar mempertontonkan konservasi sebagai etalase politik?
Konservasi yang Dikompromikan
Jejaring Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Raja Ampat telah diakui sebagai salah satu sistem perlindungan laut paling luas dan kolaboratif di Asia Tenggara. Dengan status sebagai Taman Wisata Perairan, wilayah ini secara hukum harus dijaga dari aktivitas berisiko tinggi, apalagi yang sifatnya eksploitasi besar-besaran.
Namun realitanya, konsesi tambang tetap diberikan, bahkan dipertahankan, dengan alasan "aset negara" dan "komitmen lingkungan" dari perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa konservasi di Indonesia kerap tunduk pada kepentingan ekonomi makro, terutama jika pelakunya adalah entitas negara sendiri.
Sinyal yang Membingungkan
Pencabutan empat IUP tambang nikel di Raja Ampat pada Juni 2025 sempat diapresiasi sebagai langkah progresif. Namun keputusan untuk tetap mempertahankan IUP milik PT Gag Nikel membuat sinyal kebijakan menjadi membingungkan. Apakah negara ingin menunjukkan bahwa tambang hanya buruk jika dilakukan oleh swasta, sementara tambang oleh BUMN bisa dimaklumi?
Jika demikian, maka ada standar ganda yang berbahaya. Kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan perlindungan lingkungan bisa luntur, apalagi jika pertimbangan utamanya adalah status ekonomi dan politik, bukan urgensi ekologis.
Politik Konservasi yang Kosmetik
Paradoks ini menunjukkan bahwa kebijakan konservasi masih bersifat kosmetik---dijadikan alat promosi diplomasi internasional atau pariwisata, tetapi tidak sungguh-sungguh diterapkan dalam tata kelola sumber daya alam. Konservasi yang sejati bukan hanya membentuk zonasi atau menetapkan status hukum, melainkan menegakkan batas yang tegas terhadap segala bentuk eksploitasi yang mengancam daya dukung lingkungan.