Mohon tunggu...
Niki Ws
Niki Ws Mohon Tunggu... profesional -

Bachelor Of Psychology, Graphic Designer, Simbology and Blogger

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pacaran: Seni Menikmati Estetika Wanita

4 Juni 2013   18:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:32 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pacaran: Seni Menikmati Estetika Wanita

Romansa bangkai (pacaran), jijik tapi digemari,

Busuk,  namun  dihirup sedalam inti bumi,

Cinta mulia ternodai oleh keruhnya nafsu diri,

Tak lagi sebening embun pagi.

(Romansa Bangkai, Nikki Qomurisa)

Saat menjelang UN SMP, tepatnya pada tahun 2005 (penulis masih duduk dibangku SMP kelas IX), seorang siswi yang dapat dikategorikan sebagai siswi yang berprestasi (karena dialah yang akan menjadi juara umum sekolah) dan dikenal sebagai siswi yang sopan dan beradab,telah tertangkap basah melakukan perilaku tercelabersama pacarnya, yang akhirnya ia harus menanggung rasa malu, dan pindah sekolah, seketika itu nama keluarganya yang sebelumnya ‘harum’karena telah mencetak anak-anak yang pintar, kini telah hancur dan di cap gagal oleh masyarakat sekitar.”

“Saat menjelang UN SMA pada tahun 2008 (penulis masih duduk dibangku SMA kelas XII), seorang siswi harus berhenti sekolah dan dnyatakan gagal mengikuti UN, karena didapati telah hamil selama 4 bulan, hal itu diketahui orang tuanya setelah ia hamil, dan ternyata sebelumnya ia telah melakukan perilaku terceladi sebuah rumah kontrakan milik orang tua pacarnya, dan akhirnya mereka melanjutkan pernikahan dalam kondisi pasangan wanita sedang hamil atau lebih dikenal nikah hamil”

“Pada tahun 2007 (penulis masih duduk dibangku SMA kelas XI) seorang siswi yang juga atlit yang berprestasi, terpaksa memutuskan untuk berhenti ditengah jalan, karena didapati telah hamil diluar nikah selama 4 bulan, hal ini diketahui oleh pelarih atlitnya yang mencurigakan dengan perubahan perutnya yang semakin hari semakin membesar”

Diatas adalah sekelumit cerita nyata yang menyayat hati, menggambarkan bobroknya kondisi remaja saat ini yang benar-benar telah terjadi di tengah-tengah masyarakat, dan bisa dipastikan masih banyak lagi yang belum terungkap atau tidak diketahui oleh masyarakat. Jika dilihat secara seksama, kesemua bencana moral yang terjadi berawal dari satu sumber, yaitu perilaku pacaran.

Saat ini, Istilah pacaran sama sekali tidak asing ditelinga kita, bahkan anak-anak SD pun sudah bisa mengucapkan kata “pacaran”, istilah itumereka pelajari lewatlingkungan sosial disekitar, bisa jadilewat sinetron-sinetron sampah yang menjadi lahan komersial para stasiunperaup keuntungan, atau memang mereka berada padakeluarga yang membolehkan bahkan menganjurkan perilaku pacaran. Secara sederhana, istilah pacaran yang berkembang di masyarakat,dapat dipahami sebagai interaksi yang intens antara dua orang (lawan jenis dan bukan mahram) yang menyatakan perasaan ketertarikan, dan berlanjut pada kontak secara psikologis danfisik, tanpa ada ikatan yang sah.

Berdasarkan pengamatan penulis, tujuan pacaran sangat beragam, mulai yang “katanya” untuk persiapan pernikahan, sebagai motivasi diri, belajar mengenal dan memahami pasangan, hingga untuk kesenangan belaka atau iseng-iseng saja. Berikut ulasan dari tujuan pacaran yang telah disebutkan sebelumnya:

1.Persiapan pernikahan: berpacaran dengan tujuan ini memang tampak memiliki sisi positifnya, tetapi sebenarnya tidak logis. Biasanya pacaran yang katanya untuk “persiapan pernikahan” dilakukan jauh-jauh sebelumnya, contohnya berpacaran untuk persiapan pernikahan yang dilakukan ketika masih duduk dibangku kuliah, dengan rentang waktu yang lama, sangat tidak menjamin akan terjadinya kelangsungan hubunganyang lancar, apalagi antara mereka belum memiliki ikatan yang menuntut tanggung jawab antara kedua pihak, hingga akhirnya berujung pada sikap khianat oleh pasangan, atau bahkan sebaliknya terjadinya “kecelakaan” yang berujung terjadinya nikah hamil, dan hal tersebut telah terjadi di masyarakat, baik di daerah perkotaan maupun desa.

Pelaku pacaran mungkin akan beralasan bahwa mereka sudah dewasa dan mampu menjaga diri, hal itu mungkin benar dan hanya berlaku ketika ia mengatakan saat itu, tetapi tidak menjamin untuk hari esok dan selanjutnya, karena pacaran bukanlah sekedar berjalan bersama, berbicara dan sms mesra di tiap waktu, lebih dari itu, cukup cerita nyata diatas menjadi bukti tentang perilaku pacaran yang sebenarnya. Hal yang semula kita anggap mustahil terjadi, maka dalam berpacaran adalah tidak ada kata tidak mungkin untukterjadi.

2.Motivasi diri: berpacaran dengan tujuan untuk memotivasi diri biasanya dilakukan oleh orang-orang yang terpelajar dan bahkan “agamis”, sepintas tampak memiliki muatan sisi positif dan logis, tetapi tetap saja hedonis.Alasan yang diajukan adalah untuk memotivasi diri, misalnya untuk meningkatkan nilai akademis, jadi dengan pacaran bisa mendapatkan teman diskusi atau teman belajar, dan yang terjadi pada kalangan “agamis” mereka menjadikan pacaran sebagai lahan “dakwah” katanya,dengan berpacaran bisa mengingatkan satu sama lainnya dalam hal agama.

Tujuan pacaran untuk memotivasi diri adalah sangat aneh dan mengundang pertanyaan-pertanyaan yang mematahkan alasan mereka sendiri. Jika memang pacarandijadikan untuk motivasi diri, lantas bagaimana pula jika akhirnya hubungan mereka retak dan putus, karena sama sekali tidak ada jaminan hubungan mereka tetap akur, apalagi pacaran tidak menuntut pertanggungjawaban, dan jika ada yang katanya mengikat janji atau menuntut pertanggungjawaban, itu hanya sekedar kamuflase cinta agar tampak setia, padahal sejatinya hanya bualan belaka.

Ketika hubungan mereka putus, baik secara langsung atau tidak pasti akan berdampak pada psikologis, pelaku pacaran akan dirundung kesedihan atas kehilangan kepercayaan oleh pasangan mereka, seperti halnya orang yang memiliki sesuatu yang dicintai, maka dia mesti melepaskan dan merelaknnya pergi, apalagi jika sebelumnya mereka sudah saling mempercayai dan saling setia, maka dampak psikologis yang ditimbulkan mampu mempengaruhi hidupnya, paling tidak ia akan merasa hampa, gelisah, resah, sedih, kecewa, sakit hati bahkan sebagian darinya ada yang depresi, dan mencoba untuk bunuh diri. Pelaku pacaran butuh waktu untuk bangkit dari keterpurukan, dan mereka akan kembali mencari pasangan atau pacar, sehingga banyak dari pelaku pacaran terjebak dalam pusaran pacaran (pembahasan pusaran pacaran akan dibahas nanti)

Saat pelaku pacaran berada dalam periode putus, ada dua bentuk dari pola pengambilan keputusan setelah menyatakan putus:

a.Bangkit kembali atau Move on :setelah terpuruknya oleh kegagalan hubungan yang mereka bina, maka mereka akan berusaha untuk bangkit kembali (move on) dan biasanya pelaku pacaran akan terus berada dalam Pusaran Pacaran. Mereka akan berusaha mencari pengganti, dan akan merasa gelisah dan resah ketika mereka menyandang status single atau jomblo.

Gambar diatas merupakan penjelasan dari pola perilaku pacaran, atau penulis menyebutnya sebagai pusaran pacaran, dalam contoh diatas penulis memberi contoh jika seorang wanita (warna merah) menjalin hubungan atau berpacaran dengan pasangannya (warna ungu) sebanyak lima kali, terlihat pola interaksi yang terjalin, yaitu mereka –pelaku pacaran— akan terus berpacaran sampai menemukan pasangan hidupnya atau menikah, dalam proses pacaran biasanya mereka akan mengalami periode putus-jalin, yaitu periode yang terjadi pada pelaku pacaran untuk menemukan pasangan hingga mereka memutuskan untuk menjadi pasangan hidup, sehingga orang yang berpacaran akan terus terjebak dalam pusaran pacaran. Adapun pola putus-jalin, adalah mereka akan berpacaran, kemudian putus, dan berpacaran (dengan pasangan lain) selanjutnya putus, kemudian berpacaran lagi (dengan pasangan lainnya) dan kembali putus, begitu seterusnya dan terhenti pada pasangan yang dinilai cocok.

Pelaku pacaran tidak semua dan selamanya terjebak dalam pusaran pacaran, ada diantara mereka “keluar” dari pusaran pacaran, walau terkadang akan kembali untuk berpacaran lagi. Ada dua alasan mereka “keluar” dari pusaran pacaran, yaitu:

1.Komitmen: keputusan untuk tidak berpacaran karena perubahan pemahaman, dapat disebabkan karena semakin matangnya pemahaman tentang dampak negatif dari pacaran, pacaran dinilai merugikan dan hanya mendatangkan mudharat, perubahan pemahaman biasanya terjadi karena pelaku pacaran tersentuh langsung oleh pemahaman-pemahaman agama tentang dampak buruk pacaran, dan mereka akan rutin mengikuti kajian-kajian yang bermanfaat untuk menambah wawasan seputar agama. Keputusan untuk tidak berpacaran atas dasar komitmen akan berlangsung lama, karena keputusan tersebut berasal dari kesadaran hati nurani, dan senantiasa diteguhkan oleh pemahaman agama yang semakin membaik.

2.Kesempatan: berbeda halnya dengan memutuskan untuk tidak pacaran atas dasar komitmen, keputusan untuk tidak berpacaran karena kesempatan hanya bersifat sementara, awalnya pelaku pacaran bisa mengatakan bahwa dirinya tidak akan berpacaran, dan melakukan penyangkalan terhadap keinginannya bahwa pacaran itu merugikan, pernyataan seperti itu hanyalah untuk menutupi rasa kekecewaannya terhadap mantan pasangannya, sekaligus untuk membahagiakan diri sendiri agar mampu bangkit dari keterpurakan, tetapi seiring berjalannya waktu, keinginan untuk berpacaran akan segera kembali, dan ditambah pula dengan kesadaran dan pemahaman yang minim, maka besar kemungkinan akan berpacaran lagi.

b.Merajut kembali dan CLBK: berbeda dengan yang pertama, bangkit kembali yang cenderung untuk melupakan pasangan dan menata hubungan yang baru dengan pasangan baru, sedangakan merajut kembali, adalah proses kembalinya hubungan mereka seperti semula. Membangun kembali hubungan yang telah runtuh akan berdampak pada rentannya untuk retak kembali hubungan yang mereka bina, karena besar kemungkinan salah satu pihak akan mengungkit-ungkit peristiwa pahit yang pernah mereka alami, dan akhirnya mereka berada pada tahap hubungan yang zig zag, yaitu hubungan yang mudah tersulutkonflik, dan berakhir dengan putus hubungan total.

Dari gambaran pola pengambilan keputusan pasca putus hubungan, tampak sangat jelas, bahwa pacaran hanya sebuah kebohongan besar yang di agung-agungkan lewat cinta berhiaskankesetiaan palsu, dan akan berakhir dengan sia-sia tanpa membuahkan manfaat, malahan hanya menuai mudharat.

3.Belajar memahami pasangan: alasan dengan tujuan ini, hampir setiap yang berpacaran beralasan sama, pacaran dinilai sangat efektif sebagai ajang melatih diri untuk memahami kepribadian lawan jenis, dengan harapan ketika sudah menjalin hubungan pernikahan mereka tidak lagi canggung. Dengan alasan tersebut, sangat tidak heran, jika pacaran tidak sekedar berinteraksi mesra lewat alat komunikasi dan media sosial, tetapi telah merambah ke kontak fisik, mulai berjalan berdua, makan berdua, saling berpegangan tangan, dan bahkan perilaku terlarang lainnya.

Jika ditelusuri, alasan diatas adalah sangat mengada-ada dan hanya untuk melegalitas perilaku pacaran, sejatinya hubungan yang mereka rajut dipenuhi kepalsuan. Selama pacaran yang terjadi kedua pasangan akan menampakkan perilaku yang bertentangan dengan kenyataan dan penuh kepura-puraan. Kepura-puraan itu akan merekasaling mengetahui ketika telah mengalami “putus” yaitu berakhirnya hubungan yang mereka jalin. Tak sedikit pelaku pacaran yang awalnya menjalin hubungan penuh kasih sayang seakan tak ingin terpisah sedetik pun, berbagai ungkapan cinta bertahtakan ketulusan siang malam digubahkan, kedewasaan dan sikap penuh pengertian menjadi penghias agar tampak bertanggung jawab atas hubungan mereka, tetapi ternyata dan ternyata sejuta topeng dusta mereka tampakkan, semuanya semu danberakhirdengan penuh duka, prahara dan luka tak terkira,kebencian hingga penyesalan yang tiada akhirlah akan mereka rasakan, terutama dirasakan oleh wanita.

4.Iseng-iseng atau sebatas “mainan”: tak jarang perilaku pacaran dilakukan atas dasar iseng-iseng atau hanya sebatas “mainan” antara lawan jenis. Pacaran dengan tujuan ini biasa dilakukan oleh para remaja yana labil atau anak-anak ABG. Keputusan untuk berpacaran di dukung oleh lingkungan sosial, dorongan untuk konformitas dalam peer group atau teman sebayamemberi tekanan pada individu, yang memaksakan individu tersebut untuk berperilaku sama dengan teman-temannya. Jika tidak atau enggan mengikuti, maka remaja tersebut akan mendapat sanksi sosial berupa olok-olokan, ejekan dan sejenisnya, kesemua itu akan berdampak pada psikologis remaja, dapat berupa perasaan keterasingan dan kesedihan.

Memang secara sepintas, tujuan dari pacaran terlihat ada sisi positifnya, tetapi jika dipahami dan ditelaah secara mendalam, ternyata semuanya sama, yaitu bersumber dari pemuasaan hasrat primitif. Mudharat dari perilaku pacaran telah tampak nyata di masyarakat, kurangnya wawasan agama oleh orangtua memberi kontribusi terjadinya perilaku menyimpang anaknya, sikap permisif dengan alasan anaknya sudah dewasa adalah sama sekali tidak tepat, karena kedewasaan tidak dapat diukur oleh usia, tetapi kedewasaan merujuk pada matangnya pola pikir dalam bertindak, mampu membedakan baik dan buruk, dan kenyataanya yang terjadi di masyarakat melakukan tindakan amoral banyak dilakukan oleh orang tua. Ironisnya, saat ini perilaku pacaran telah “dilegalitas” oleh kalangan akademisi sekuler, dengan mempertuhankan teori-teori barat yang bebas budaya dan mengesampingkan nilai-nilai religius yang didukung dengan riset-riset manipulatif, mereka terapkan di indonesia yang sarat dengan adat yang menjunjung harkat, martabat dan drajat manusia. Akhirnya muncul lah istilah yang kontradiktif sekaligus paradoks secara definitif, yakni istilah pacaran sehat.

Apapun alasannya, pacaran tetaplah pacaran, yaitu perilaku yang bermuara dari hasrat primitf, tujuannya untuk memuaskan kesenangan yang pernah terpuaskan, sehingga bukanlah hal keliru jika Pacaran diartikan sebagai seni menikmati estetika wanita oleh para durjana, karena wanitalah yang akan merasakan derita semesta,estetikanya tercabik-cabik bahkan kemuliaandan pesona jiwanyatercalar sia-sia,hingga rupawan jelitamenjadi hina tak berdaya.

Melalui pacaran wanita tak ubahnya dijadikanbarang uji coba,para pria bebasmemilih dan di buang semena-mena. Sikap tanggung jawab dan kedewasaan dalam pacaran hanyalah tipu daya para pria memikat hati wanita untuk merampas kehormatannya. Pacaran menjadikan martabat wanita tak lagi berharga, Seperti barang dagangan gratis, rela untuk di iris dan dicicipi manisnya sampai habis, kemudian dibiarkan sendiri menangis, sungguh tragis.

Wanita mesti sadar bahwa dirinya sangat berharga, berharga tak terkira lebih dari berlian dan permata, karena wanita adalah makhlukmulia, bahkan kelak surga berada di telapak kakinya. Wanita mesti jaga marwah, jangan mudah tegoda oleh rayuan sampah, walau sekilas memang tampak indah, yakinlah semua itu berakhir tiada berkah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun