Pak Tono mengadaptasi model ini ke konteks lokal. Pantai menjadi laboratorium. Nelayan menjadi narasumber. Teknologi digital menjadi jembatan masa depan. Ia tahu, jika hanya memberi teori, muridnya akan lupa. Tapi jika memberi pengalaman, refleksi, dan kesempatan mencipta, murid akan mengingat seumur hidup.
Pantai sebagai Kelas, Nelayan sebagai Guru
Suatu pagi, siswa kelas IX berjalan beriringan menuju pantai. Mereka membawa buku catatan, beberapa dengan HP sederhana di tangan. Guru membagi peran: ada yang menjadi pengamat, pewawancara, pendokumentasi, dan pencatat.
Anak-anak mengamati kondisi pantai. Ada sampah plastik berserakan, ada ombak yang meninggalkan garis abrasi di pasir, ada perahu nelayan yang baru bersandar.
Mereka mewawancarai nelayan:
- Mengapa hasil tangkapan semakin berkurang?
- Apa dampak sampah plastik terhadap jaring dan ikan?
- Bagaimana mereka melihat masa depan anak-anak di pesisir?
Jawaban nelayan sederhana, tetapi penuh makna. “Kalau pantai kotor, ikan juga lari. Kalau abrasi makin parah, rumah kami bisa habis.” Siswa mencatat dengan serius. Bagi mereka, nelayan bukan hanya orang tua atau tetangga, tetapi juga guru kehidupan.
Refleksi di Kelas: Dari Pengalaman ke Pemahaman
Kembali ke sekolah, mereka berdiskusi dalam kelompok. Guru memfasilitasi dengan Mentimeter. Setiap kelompok menuliskan masalah utama yang mereka lihat: sampah plastik, abrasi, dan ekonomi keluarga nelayan.
Pertanyaan muncul:
- “Bagaimana teori pembangunan berkelanjutan menjelaskan ini?”
- “Apa kaitan abrasi dengan perubahan iklim?”
- “Bagaimana teknologi bisa membantu?”