Mohon tunggu...
Tommy Patrio Sorongan
Tommy Patrio Sorongan Mohon Tunggu... Penulis - Bocah Kaliabang Dukuh Bekasi

Bukan ahli macem-macem... menulis hanya untuk mempertanyakan sesuatu yang dilihat dan dirasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tukang Bangunan dan Rasa Lelah yang Dibayar dengan 150 Ribu

8 Juli 2020   10:47 Diperbarui: 10 Juli 2020   22:58 3137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sistem harian memiliki kelebihan, yaitu tukang harus bekerja terus tanpa ada kesempatan menganggur. Untuk mengefisienkan pekerjaan tukang, Anda harus menyiapkan terlebih dahulu material serta gambar teknik yang menerangkan apa saja yang perlu diganti, dirobohkan dan dibangun. (www.shutterstock.com)

Tidak sampai 2 jam semua teratasi. Bayarannya? 500 Euro! Bagaimana, mantap bukan? Di sana, untuk benerin atap saja biayanya hampir 9 juta Rupiah. Dari 500 ini si pekerja mendapatkan kurang lebih 200.

Kaget melihat tagihan sebesar itu saya mulai bertanya pada teman saya apa itu harga yang wajar. Dia menjawab, "Yeah its actually a fair price" yang berarti itu harga yang wajar. 

Ia menambahkan bahwa pekerjaan pertukangan di Eropa itu selalu mendapatkan gaji yang sangat tinggi, mengapa? Karena hanya sedikit orang yang mau kerja begitu, bayangkan kita harus booking jauh-jauh hari untuk bisa memperolehnya. 

Hal ini dikarenakan orang Eropa memandang pekerjaan pertukangan itu sebagai pekerjaan yang dekat dengan kematian. Selain itu, pekerjaan tukang juga membutuhkan semacam sertifikasi yang isinya bahwa para tukang tersebut mampu bekerja dengan mengutamakan aspek keselamatan dalam bekerja.

Harusnya dari titik ini kita patut bertanya-tanya. Di zaman 4.0 ini tidak mungkin semuanya kita alihkan ke industri kreatif, kita tetap perlu tukang sampai kapanpun. 

Ini hanya persoalan bagaimana kita menilai pekerjaan mereka yang bekerja bertaruh nyawa. Apa memang nyawa di Indonesia "murah harganya" tidak seperti di Eropa? Jadi sampai kapan para tukang ini kita marginalkan?

Bagi saya ini merupakan masalah cara pandang kita terhadap suatu pekerjaan. Masyarakat kita kurang dalam menilai pekerjaan-pekerjaan yang notabenenya menyandang kata tukang di dalamnya. Kita lebih mengapresiasi tinggi seorang manager atau direktur. Well, boleh-boleh saja. 

Manager dan Direktur juga bekerja atas keahlian yang mereka miliki dan kita wajib menilai itu dengan upah yang tinggi. Tapi ingat, di sisi lain para pekerja Blue Collar ini sehari-hari bekerja menantang maut dan itu seharusnya kita nilai juga dengan apreasiasi yang tinggi.

Anyway, gara-gara memikirkan ini hari ini saya putuskan untuk membuat syukuran kecil dengan para tukang. Tujuannya bukan pada saya, tetapi untuk para tukang itu yang selama ini bekerja dengan luar biasa dan mau bertaruh nyawa dan badan untuk keberhasilan pekerjaanya. 

Tidak hanya itu, saya akan membagikan beberapa baju saya yang masih bagus untuk mereka. Memang tidak seberapa mungkin, tetapi itu mungkin boleh menjadi titik balik saya untuk memperhatikan mereka lebih dalam lagi. Semoga Anda-Anda yang melihat tulisan ini juga mau untuk berlaku demikian.

Akhirnya saya ingin merujuk pada satu frasa yang sukai "Yang Penting Halal". Tukang merupakan pekerjaan yang mulia, sama mulianya dengan direktur, manager, pedangang grosir, atau pejabat. Kontribusi mereka sangatlah besar bagi kemajuan bangsa ke depan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun