Mohon tunggu...
Kawe Shamudra
Kawe Shamudra Mohon Tunggu... wiraswasta -

seorang peladang yang di sela-sela kesibukannya mengolah lahan selalu menyempatkan menulis catatan harian. Saat ini sedang menulis buku "Silurah Desa Tua".

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Manusia Harimau dalam Sinetron

20 Desember 2014   06:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:54 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

BUAS dan ingin selalu menang di hadapan yang lain. Begitulah gambaran karakter yang melekat pada sosok harimau. Karakter tersebut kinimenjadi idiom yang disuguhkan ke hadapan publik lewat layar kaca. Setidaknya diwakili dua sinetron berjudul “Manusia Harimau” (SCTV) dan “7 Manusia Harimau” (RCTI). Sinetron tersebut menampilkan tokoh-tokoh mistis berjiwa binatang.Dalam “7 Manusia Harimau”, tokoh Gumara digambarkan sebagai guru sakti yang mengajar pada SMA di desa Kumayan yang kental dengan budaya mistis.

Penonton disuguhi sensasi dan khayalan. Namanya tokoh sakti, mereka bisa berbuat apa saja. Tingkah-polahnya sanggup menjungkirbalikkan keadaan, bahkan melampaui hal-halyang mustahil. Gumara menghadapi kelompokharimau jadi-jadian pimpinan Datuk Lebai Karat. Suasana tambah tegang setelah Gumara diperebutkan dua muridnya (Pitaloka dan Karina) yang sama-sama mengharapkan cintanya.

Sebagai media hiburan, sinetron kadang menyimpan sindiran yang bisa membantu para pemirsa untuk bercermin dan memahami realitas sosial dengan munculnya manusia berkarakter kejam dan buas. Masyarakat sering dibuat terperangah oleh tingkah manusia buas yang gemar mencabik, menerkam dan lebih kejam dari harimau.

Gambaran mengenai harimau masih kuat mengakar dalam tradisi lisan masyarakat. Mitos harimau muncul dalam dongeng lisan karena adanya kepercayaan sebagian masyarakat bahwa leluhur manusia berasal dari harimau.Di sejumlah daerah, hidup kepercayaan adanya manusia harimau dengan berbagai sebutan, misalnya Inyiak(Sumatera Barat), Cindaku (Kerinci), Setuo (Bengkulu), Opung (Batak), Setuo (Bengkulu), Opung (Batak), Kyai (Jawa).

Peter Boomgaard, dalam bukunya Frontiers of Fear, Tigers and People in the Malay, 1600-1950 (2001), mengatakan bahwa keyakinan harimau sebagai leluhur manusia membuat mereka pantang untuk membunuhnya.

Dalam tradisi Minangkabau, harimau merupakan inti dari seni beladiri silatyang langsung diajarkan oleh harimau. Inyiak angguik yang memiliki ilmu ini adalah orangtua dari Datuk Edwel. Dahulu, silat ini umumnya diajarkan di bawah kolong rumah panggung pada malam hari selepas salat Isya. Datuk Edwel, yang termasuk keturunan bangsawan Minangkabau, disebut memiliki ilmu telepati yang dapat berkomunikasi dengan harimau. Intinya adalah rasa saling menjaga. Konon jika masyarakat menjaga hutan dengan baik, maka harimau akan menjaga kampung dari serangan hewan liar.  (kunjungi http://www.lenteratimur.com/sayupnya-raung-harimau-sumatera/)

Paradoks

Idiom harimau mengandung paradoks. Satu sisi digambarkan sebagai sosok hero, pemberani dan tangkas. Binatang ini sering dijadikan simbol kehebatan. Namun di sisi lain dinisbatkan sebagai simbol kekejaman dan ketakaburan. Sebagai predator utama dalam mata rantai makanan, hampir semua buruannya tak ada yang pernah lolos karena kemampuan indera penglihatan dan pendengaran harimau amat tajam.

Faktanya, manusia jahat bisa lebih kejam dari harimau. Beragam kasus kriminalitas nyaris terdengar setiap saat. Ada orang tua tega membunuh anak kandungnya sendiri atau sebaliknya.Muncul juga fenomena mutilasi, selesai membunuh kemudian mencincang mayatnya hingga berkeping-keping. Nyawa manusia seperti tak ada harganya. Ironisnya, sistem hukum yang ada seolah tak sanggup membendung derasnya arus kriminalitas. Cemburu dan sakit hati sering menjadi alasan untuk membunuh danmelukai.

Manusia berwatak harimau tidak hanya buas menerkam, tetapi jugaserakah dan gemar memangsa hak sesama.Membunuh tidak hanya bermakna fisik (menghilangkan nyawa) tetapi berkembang ke ranah yang lebih luas, yakni menghilangkan kesempatan masyarakat untuk hidup sejahtera. Terjadi perampasan hak oleh pihak yang kuat terhadap yang lemah. Distribusi kesejahteraan tidak merata. Kesenjangan hidup semakin lebar dan kian banyak warga negara yang terpinggirkan karena kayaan dan sumber-sumber kesejahteraan dijarah sedemikian rupa.

Penjahat bermunculan dengan berbagai kedok, bahkan tidak jarang berani menggunakan simbol-simbol kesucian untuk mengelabuhi mangsanya. Kita semakin sulit membedakan kulit harimau dengan kulit manusia lantaran kemunafikan telah menjelma menjadi pakaian harian yang dibanggakan. Dalam ranah politik kita dikejutkan oleh fenomena saling cakar antar elemen bangsa. Panggung demokrasi telah dicederai oleh kebuasan sejumlahelit yang tidak siap menerima kekalahan. Jika harimau membanggakan cakar dan taringnya, maka manusia berwatak harimau kerap membanggakan kedudukannya untuk menikam pihak lain.

Kodrat harimau sebagai makhluk penakluk telah terdopsi dalam masyarakat. Tatanan kehidupan sosial menjadi kacau akibat hilangnya sikap saling melindungi. Hidup tidak lagi dihiasi dengan kebersamaan dan keramah-tamahan, tetapi berubah menjadi ajang persaingan sengit memperebutkan kepentingan individualistik. Tidak peduli halal-haram maupun etis-tidak etis. Benar-salah atau baik-buruk telah menjadi sesuatu yang bias karenatelah disubjektifkan menurut kemauan hawa nafsu. Cita-cita hidup damai di tengah-tengah keberagaman hanya menjadi utopia akibat menipisnya toleransi dan empati terhadap sesama. Kegersangan spiritual membuat manusia gelap mata dan tidak sanggup mengendalikan pikiran jahat.

Masyarakat sangat merindukan hadirnya kehidupan damai dan terbebas dari segala bentuk ketegangan.Hal itu dapat terwujud jika mentalitas harimau dibuang jauh-jauh dari kehidupan dan diganti dengan jiwa mulia sebagai manusia sejati. Biarlah karakter manusia setengah harimau hanya ada dalam mitos dan sinetron.

Paradoks

Idiom harimau mengandung paradoks. Satu sisi digambarkan sebagai sosok hero, pemberani dan tangkas. Binatang ini sering dijadikan simbol kehebatan. Namun di sisi lain dinisbatkan sebagai simbol kekejaman dan ketakaburan. Sebagai predator utama dalam mata rantai makanan, hampir semua buruannya tak ada yang pernah lolos karena kemampuan indera penglihatan dan pendengaran harimau amat tajam.

Faktanya, manusia jahat bisa lebih kejam dari harimau. Beragam kasus kriminalitas nyaris terdengar setiap saat. Ada orang tua tega membunuh anak kandungnya sendiri atau sebaliknya.Muncul juga fenomena mutilasi, selesai membunuh kemudian mencincang mayatnya hingga berkeping-keping. Nyawa manusia seperti tak ada harganya. Ironisnya, sistem hukum yang ada seolah tak sanggup membendung derasnya arus kriminalitas. Cemburu dan sakit hati sering menjadi alasan untuk membunuh danmelukai.

Manusia berwatak harimau tidak hanya buas menerkam, tetapi jugaserakah dan gemar memangsa hak sesama.Membunuh tidak hanya bermakna fisik (menghilangkan nyawa) tetapi berkembang ke ranah yang lebih luas, yakni menghilangkan kesempatan masyarakat untuk hidup sejahtera. Terjadi perampasan hak oleh pihak yang kuat terhadap yang lemah. Distribusi kesejahteraan tidak merata. Kesenjangan hidup semakin lebar dan kian banyak warga negara yang terpinggirkan karena kayaan dan sumber-sumber kesejahteraan dijarah sedemikian rupa.

Penjahat bermunculan dengan berbagai kedok, bahkan tidak jarang berani menggunakan simbol-simbol kesucian untuk mengelabuhi mangsanya. Kita semakin sulit membedakan kulit harimau dengan kulit manusia lantaran kemunafikan telah menjelma menjadi pakaian harian yang dibanggakan. Dalam ranah politik kita dikejutkan oleh fenomena saling cakar antar elemen bangsa. Panggung demokrasi telah dicederai oleh kebuasan sejumlahelit yang tidak siap menerima kekalahan. Jika harimau membanggakan cakar dan taringnya, maka manusia berwatak harimau kerap membanggakan kedudukannya untuk menikam pihak lain.

Kodrat harimau sebagai makhluk penakluk telah terdopsi dalam masyarakat. Tatanan kehidupan sosial menjadi kacau akibat hilangnya sikap saling melindungi. Hidup tidak lagi dihiasi dengan kebersamaan dan keramah-tamahan, tetapi berubah menjadi ajang persaingan sengit memperebutkan kepentingan individualistik. Tidak peduli halal-haram maupun etis-tidak etis. Benar-salah atau baik-buruk telah menjadi sesuatu yang bias karenatelah disubjektifkan menurut kemauan hawa nafsu. Cita-cita hidup damai di tengah-tengah keberagaman hanya menjadi utopia akibat menipisnya toleransi dan empati terhadap sesama. Kegersangan spiritual membuat manusia gelap mata dan tidak sanggup mengendalikan pikiran jahat.

Masyarakat sangat merindukan hadirnya kehidupan damai dan terbebas dari segala bentuk ketegangan.Hal itu dapat terwujud jika mentalitas harimau dibuang jauh-jauh dari kehidupan dan diganti dengan jiwa mulia sebagai manusia sejati. Biarlah karakter manusia setengah harimau hanya ada dalam mitos dan sinetron.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun