Jakarta, 15 Oktober 2025 -- Empat puluh hari setelah Mahkamah Konstitusi mengetok palu larangan rangkap jabatan untuk wakil menteri, Kabinet Merah Putih masih ramai-ramai melanggar. Feri Amsari, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, menegaskan: putusan MK 128/PUU-XXIII/2025 itu sudah hidup sejak 28 Agustus lalu, bukan janji dua tahun lagi. "Kalau masih ada wakil menteri yang duduk manis sebagai komisaris BUMN hari ini, itu artinya hukum sedang diinjak-injak di depan mata," katanya kepada Kompasiana, Rabu pagi.
Putusan final itu menyatakan wakil menteri dilarang merangkap sebagai pejabat negara lain, komisaris/direksi BUMN, maupun pimpinan lembaga yang dibayar APBN/APBD. Namun data Transparency International Indonesia memperlihatkan 33 dari 55 wakil menteri masih tercatat rangkap, bahkan tiga di antaranya baru saja menerima surat pengangkatan komisaris setelah palu MK berbunyi. "Ini bukan cuma soal administratif, tapi soal konflik kepentingan struktural yang bisa melahirkan korupsi," tegas Feri.
Ia menolak alasan "tenggat dua tahun" yang sering dikemukakan Sekretariat Kabinet. "Pasal 24C UUD 1945 menyebut putusan MK final dan mengikat. Dua tahun adalah batas maksimum penyesuaian teknis, bukan kartu libur bagi pelanggaran," ujarnya. Ditegaskannya, pelaksanaan bisa dimulai besok pagi: cukup dengan Presiden mencabut surat keputusan pelantikan komisaris yang bermasalah lalu mengumumkan lewat satu Perpres penyesuaian.
Konsekuensi menunda, lanjut Feri, jauh dari sekadar citra buruk. Kinerja BUMN bisa molor karena kebijakan yang muncul bukan dari visi bisnis, tapi tekanan politik balas jasa. "Bayangkan wakil menteri ESDM yang juga komisaris di perusahaan tambang milik negara. Saat ia menandatangani kebijakan harga energi, otomatis ia menentukan laba perusahaan tempat ia menerima gaji tambahan. Itu konflik kepentingan terang-benderang," paparnya.
KPK sudah mengirim surat ke Presiden meminta evaluasi serentak; Ombudsman menyiapkan sidang publik minggu depan. Namun hingga artikel ini diturunkan, Istana belum memberikan jawaban tertulis. Sementara di ruang sidang paripurna DPR, fraksi-fraksi mulai mengumpulkan tanda tangan untuk interpelasi mendesak. "Kalau pemerintah tidak segera tunduk, kami siapkan gugatan pembatalan pelantikan ke PTUN," ujar anggota Komisi II dari fraksi oposisi yang enggan disebut namanya.
Feri Amsari berpesan pada publik: jangan lengah. "Hukum bukan hanya milik jaksa atau hakim. Setiap warga bisa mengawal. Tanyakan pada wakil menteri kementerian Anda: apakah ia masih jadi komisaris? Kalau iya, tagih surat pengunduran diri besok juga. Demokrasi kita diukur dari keberanian menegakkan aturan saat yang penuh godaan ini."
Pukul 15.30 WIB tadi, kamera handphone pengunjung Kompleks Istana menangkap Wakil Menteri BUMN masuk melalui pintu barat. Di jaketnya tampak lencana nama perusahaan pelat merah---salah satu BUMN besar yang baru memperoleh proyek listrik 35 ribu MW. Apakah besok dia masih akan duduk di kursi komisaris? Nampaknya publik harus terus bertanya, karena jawabnya menentukan apakah hukum masih setara untuk semua, atau hanya untuk yang tidak berkuasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI