Pada 16 April 2025, Rusia melancarkan serangan terkoordinasi ke berbagai fasilitas militer dan industri strategis yang terkait dengan produksi dan operasional drone Ukraina. Fokus utama serangan ini adalah fasilitas produksi drone di Shuya, Oblast Ivanovo---yang juga merupakan markas Brigade Rudal ke-112 Rusia---meskipun beberapa sumber menyebutkan target sebenarnya adalah pabrik drone Ukraina di Pokrovsk dan Kursk. Sasaran mencakup pabrik drone, gudang amunisi, serta landasan udara yang digunakan untuk mengoperasikan drone jarak jauh seperti PD-2 dan Liutyi 410. Dalam serangan ini, Rusia menggunakan berbagai senjata canggih, termasuk rudal balistik Iskander-M dengan hulu ledak cluster, drone kamikaze Shahed, dan serangan elektronik untuk melumpuhkan komunikasi drone musuh. Selain itu, sistem pertahanan udara Rusia seperti S-400 dan Pantsir-S1 turut dikerahkan untuk menembak jatuh drone Ukraina. Secara keseluruhan, Kementerian Pertahanan Rusia melaporkan adanya 143 titik serangan yang tersebar di wilayah militer, industri, serta infrastruktur energi di Sumy dan Dnipropetrovsk.
Rusia mengklaim telah menghancurkan lebih dari 42.000 drone Ukraina sejak awal invasi, termasuk 1.879 unit hanya dalam 30 hari terakhir menjelang April 2025. Serangan besar pada 16 April disebut merusak lebih dari 3.000 drone---termasuk tipe jarak jauh seperti PD-2 dan Neptune---serta menghancurkan fasilitas produksi utama di Shuya. Selain itu, Moskow mengklaim telah menembak jatuh 57 pesawat, 212 helikopter, dan melumpuhkan lebih dari 1.500 sistem artileri Ukraina sejak 2022. Namun, klaim-klaim ini dipertanyakan oleh berbagai pihak, termasuk analis NATO, yang menilai angka tersebut kemungkinan besar dilebih-lebihkan. Media independen seperti Kyiv Independent dan Reuters juga menyoroti kurangnya bukti verifikatif atas banyak klaim tersebut; contohnya, ledakan di Engels Air Base pada Maret 2025 hanya terkonfirmasi melalui video amatir di media sosial, tanpa kejelasan dampak sebenarnya.
Sebagai respons atas serangan Rusia, Ukraina mempercepat produksi drone secara mandiri, dengan 96% unit kini dibuat di dalam negeri oleh lebih dari 200 perusahaan swasta dan militer. Pada 2025, Ukraina menargetkan produksi 30.000 drone jarak jauh dan 3.000 rudal balistik. Salah satu andalan mereka adalah drone FPV murah, seperti DJI Mavic 3 yang dimodifikasi untuk membawa bom kecil, yang terbukti efektif dan bertanggung jawab atas 60% penghancuran tank Rusia, termasuk jenis T-90M senilai USD 4,5 juta per unit. Untuk mendukung produksi ini, Ukraina mengalokasikan anggaran sebesar USD 2,6 miliar (sekitar Rp42 triliun), yang sebagian besar diperoleh melalui crowdfunding publik dan penjualan simbol budaya nasional, seperti trofi Eurovision. Selain itu, kolaborasi strategis dengan perusahaan seperti SpaceX melalui jaringan Starlink, serta mitra Amerika seperti AeroVironment, telah memperkuat sistem komunikasi dan daya tahan operasional drone di medan perang.
Drone FPV terbukti sangat efektif di medan perang karena kombinasi biaya rendah dan kapabilitas tinggi. Dengan harga hanya sekitar USD 500--1.000 per unit, drone ini jauh lebih murah dibandingkan tank Rusia yang bernilai USD 3--5 juta atau sistem artileri berat, namun mampu memberikan presisi tinggi dalam menyerang titik lemah kendaraan lapis baja dan mengarahkan tembakan artileri secara akurat. Efektivitasnya telah memaksa Rusia membatasi pergerakan pasukannya dan mengalihkan hingga 30% anggaran militernya untuk sistem pertahanan anti-drone. Dampaknya pun berskala strategis; hingga April 2025, serangan drone Ukraina telah mengurangi kapasitas penyulingan minyak Rusia sebesar 12%, secara langsung mengganggu salah satu sumber utama pendapatan ekspor energi Moskow.
Dalam konteks militer dan geopolitik yang kian kompleks, Ukraina semakin mengandalkan teknologi drone untuk menyeimbangkan kekuatan di tengah keterbatasan pasukan konvensional. Meski 70% persenjataan masih disuplai oleh NATO, Ukraina sengaja memproduksi drone secara lokal guna mengurangi ketergantungan pada bantuan luar. Sebaliknya, Rusia mengimpor drone Shahed dari Iran dan meningkatkan produksi Orlan-10, namun terhambat oleh sanksi internasional. Menurut data SIPRI periode 2020--2024, Ukraina tercatat sebagai importir senjata terbesar dunia, dengan 85% suplai berasal dari Amerika Serikat dan Eropa. Untuk jangka panjang, Kyiv fokus membangun industri pertahanan dalam negeri, khususnya dalam pengembangan drone dan rudal jelajah. Di sisi diplomatik, penggunaan drone juga menjadi instrumen tekanan dalam negosiasi antara AS dan Rusia. AS dilaporkan mengusulkan pembekuan garis depan dan pengakuan sementara atas wilayah pendudukan Rusia, namun Ukraina menolak keras. Sementara itu, Kremlin bersikukuh bahwa perdamaian hanya mungkin tercapai jika Ukraina menjalani "denazifikasi" dan demiliterisasi total, sebuah syarat yang juga ditolak mentah-mentah oleh Kyiv.
Verifikasi atas klaim militer dalam konflik Rusia-Ukraina sering kali menghadapi tantangan serius, dengan narasi yang saling bertolak belakang. Kementerian Pertahanan Rusia kerap dituduh membesar-besarkan data, seperti klaim penghancuran 132 drone Ukraina pada Maret 2025 yang tidak pernah diverifikasi secara independen. Di sisi lain, Ukraina menolak laporan kerugian besar dan justru menekankan keberhasilan serangan balasan, termasuk penghancuran fasilitas strategis seperti pabrik mesiu Sverdlov di wilayah Rusia. Media internasional seperti Al Jazeera dan Institute for the Study of War (ISW) mencatat adanya pelanggaran gencatan senjata dari kedua pihak, memperlihatkan bahwa konflik masih jauh dari kendali. Sementara itu, Kyiv Independent bahkan melaporkan dugaan penggunaan senjata kimia oleh Rusia melalui drone, yang jika terbukti, akan menjadi pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional.
Serangan Rusia terhadap pabrik drone Ukraina pada 16 April 2025 menandai peningkatan intensitas perang drone, yang semakin menggeser pola pertempuran konvensional. Meskipun klaim Moskow bahwa 42.293 drone Ukraina telah hancur patut dipertanyakan, serangan ini tetap berdampak besar---baik secara ekonomi maupun psikologis. Di satu sisi, Ukraina berupaya mengimbangi kerugian dengan mempercepat produksi drone murah dan memperkuat kolaborasi teknologi. Di sisi lain, Rusia terus mempertahankan tekanan melalui serangan presisi dan manuver diplomatik. Konflik ini bukan hanya menentukan nasib kedua negara, tetapi juga menjadi ajang uji coba perang modern berbasis teknologi asimetris, di mana drone berbiaya rendah mampu melumpuhkan alutsista mahal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI