Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis, Editor Video, Graphic Designer

SRI WINTALA ACHMAD, pernah belajar di Fak. Filsafat UGM Yogyakarta. Karya-karya sastranya dipublikasikan di Kompas, Republika, Suara Karya, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Lampung Pos, Trans Sumatera, Bangka Pos, Solo Pos, Surabaya Pos, Banjarmasin Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Bernas, Masa Kini, Yogya Pos, Merapi, Fajar Sumatera, Amanah (Malaysia), Aksara International Journal of Indonesian Literature (Australia), Suara Muhammadiyah, Adiluhung, Trapsila, Bakti, Praba, Gong, Artista, Mata Jendela, Jaya Baya, Djaka Lodang, Penyebar Semangat, Mekarsari, Pagagan, Sempulur, Swaratama, Karas, dll. Antologi sastra dan esai kolektifnya: Pelangi (Karta Pustaka/Rasialima, 1988); Nirmana (Wirofens Group, 1990); Alif-Lam-Mim (Teater Eska/SAS, 1990); Zamrud Katulistiwa (Balai Bahasa Yogyakarta/Taman Budaya Yogyakarta, 1997); Sastra Kepulauan (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan, 1999); Pasar Kembang (Komunitas Sastra Indonesia, 2000); Embun Tajali (FKY 2000); Lirik Lereng Merapi (Dewan Kesenian Sleman, 2000); Bilah Belati di Depan Cermin (Dewan Kesenian Sleman, 2002); Di Batas Jogja (FKY, 2002); Code (FKY, 2005); Musik Puisi Nasional (LKiS, 2006); Malioboro (Balai Bahasa Yogyakarta, 2008); Perempuan Bermulut Api (Balai Bahasa Yogyakarta, 2010); Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Mingguan Minggu Pagi Yogyakarta, 2010); Pasewakan (2011), Kembali Jogja Membaca Sastra (Rumah Budaya Tembi, 2011); Suluk Mataram (Great Publisher, 2011); Jejak Sajak (Jambi, 2012); Dari Sragen Memandang Indonesia (Dewan Kesenian Sragen, 2012); Sauk Seloko – Pertemuan Penyair Nusantara VI (Dewan Kesenian Jambi, 2012); Indonesia di Titik 13 (Dewan Kesenian Pekalongan, 2013); Spring Fiesta [Pesta Musim Semi] (Indonesian & English Poetry Grup & Araska Publisher, 2013); Tifa Nusantara I (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2013); Sesotya Prabangkara ing Langit Ngayogya (Yogyakarta, 2014); Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil Jakarta, 2014); Rantau Cinta, Rantau Sejarah (Jurnal Sajak, 2014); Tifa Nusantara II (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2015); Pesta Rakyat Sleman (Digna Pustaka dan Lingkar Budaya Sleman, 2015); Jalan Remang Kesaksian (LPSK/Rumah Budaya Tembi, 2015); Jejak Tak Berpasar (Komunitas Sastra Indonesia/Yayasan Laksita, 2015); Memandang Bekasi (Dewan Kesenian Bekasi/Dinas Parbudpora Kabupaten Bekasi, 2015); Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Ije Lela Tifa Nusantara 3 (Marabahan, 2016); Klungkung Tanah Tua, Tanah Cinta (Klungkung Bali, 2016); Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016); Seratus Puisi Qurani (2016); Kopi Penyair Dunia (2016); Pesan Damai untuk Seluruh Manusia (PCIUN Maroko, 2017); Kota Terbayang (Taman Budaya Yogyakarta, 2017); Puisi Tentang Bogor (2017); Puisi Tentang Masjid (2017); Dari Partai Demokrat untuk Indonesia (2017); Senja Jati Gede (2017); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Dari Cempuring ke Sunan Panggung (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Kembang Glepang (2018); Sesapa Mesra Selinting Cinta – Temu Penyair Nusantara XI (Kudus, 2019); Terus Berkarya di Usia Senja, Brengkesan 72 Tahun Ahmad Tohari (2020); Nalika Rembulan Bunder (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2020); Nunggak Semi Dunia Iman Budhi Santosa (2021), naskah lakon terjemahan Dahuru ing Negeri Semut (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2021); Sejuta Puisi untuk Jakarta (2022), dan Kembang Glepang 3 (2023). Novel, fiksi sejarah, cerita rakyat, cerita wayang: Centhini: Malam Ketika Hujan (Diva Press Yogyakarta, 2011); Dharma Cinta (Laksana, 2011); Jaman Gemblung (Diva Press Yogyakarta, 2011); Sabdapalon (Araska, 2011); Dharma Gandul: Sabda Pamungkas dari Guru Sabdajati (Araska, 2012); Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda Asinjang Rikma (Araska, 2012); Kiamat: Petaka di Negeri Madyantara (In AzNa Books, 2012); Centhini: Kupu-Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung (Araska, 2012); Serial Crita Rakyat Dahuru ing Praja Wilwatikta (Majalah Djaka Lodang, 2022); Serial Crita Rakyat Pletheke Surya Wilwatikta (Majalah Jayabaya, 2022-2023); dan Serial Crita Rakyat Sigare Bumi Wilwatikta (Majalah Penyebar Semangat, 2023); dan Serial Crita Wayang Kresna Duta (Majalah Jayabaya, 2024). Buku-buku lainnya yang sudah terbit: Membuka Gerbang Dunia Anak (Annora Media, 2009); Suyudana Lengser Keprabon (In AzNa Books, 2011); Kisah Jagad Pakeliran Jawa (Araska, 2011); Wisdom Van Java (In AzNa Books, 2012); Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi (Araska, 2013); Sejarah Kejayaan Singhasari & Kitab Para Datu (Araska, 2013); Babad Tanah Jawa (Araska, 2014); Sejarah Raja-Raja Jawa (Araska, 2014); Satriya Piningit (Araska, 2014); Geger Bumi Mataram (Araska, 2014); Geger Bumi Majapahit (Araska, 2014); Ensklopedia Kearifan Jawa (Araska, 2014); Sejarah Perang di Bumi Jawa (Araska, 2014); Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Raja-Raja Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Karakter Tokoh-Tokoh Wayang (Araska, 2014); Wanita dalam Khasanah Pewayangan (Araska, 2015); Aja Dumeh: Buku Pintar Kearifan Orang Jawa (Araska, 2015); Panduan Praktis Menjadi Penulis Andal: Karya Ilmiah, Artikel, Resensi, Apresiasi & Kritik Seni, Naskah Lakon, Puisi, Cerpen, dan Novel (Araska, 2015); Buku Induk Bahasa dan Sastra Indonesia (Araska, 2015); Mahir Peribahasa Indonesia (Araska, 2015); Buku Induk EYD (Araska, 2015); Politik dalam Sejarah Kerajaan Jawa (Araska, 2016); Babad Tanah Jawa: dari Watugunung yang Menikahi Ibunya hingga Geger PeChinan (Araska, 2016); Petuah-Petuah Leluhur Jawa (Araska, 2016); Babad Giyanti: Palihan Nagari dan Perjanjian Salatiga (Araska, 2016); 13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa (Araska, 2016); Sejarah Kerajaan-Kerajaan Besar di Nusantara (Araska, 2016); Menulis Kreatif itu Gampang (Araska, 2016); Sejarah Pemberontakan Kerajaan di Jawa (Araska, 2017); Filsafat Jawa (Araska, 2017); Sejarah dan Asal-Usul Orang Jawa (Araska, 2017); Sejarah Raja-Raja Jawa dari Kalingga hingga Mataram Islam (Araska, 2017); Sejarah Istri-Istri Raja Jawa (Araska, 2017); Sejarah Islam di Tanah Jawa (Araska, 2017); Kisah Horror Ketemu Genderuwo (Araska, 2017); Sang Jenderal: Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Cinta Jenderal Soedirman (Araska, 2017); Sejarah Perang Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2017); Etika Jawa (Araska, 2018); Filsafat Kepemimpinan Jawa (Araska, 2018); Kronik Perang Saudara dalam Sejarah Kerajaan di Jawa 1292-1767 (Araska, 2018); Sejarah Runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit (Araska, 2018); Hitam Putih Mahapatih Gajah Mada (Araska, 2018); Sultan Agung: Menelusuri Jejak-Jejak Kekuasaan Mataram (Araska, 2019); Sejarah Kejayaan Singhasari Antara Mitos, Fakta, Pesona, dan Sisi Kelamnya (Araska, 2019); Untung Surapati: Pemberontakan Seorang Budak (Araska, 2019); Ratu Kalinyamat (Araska, 2019); Hitam Putih Majapahit (Araska, 2019); Gajah Mada Kisah Cinta dan Kisah Penakluk-Penaklukannya (Araska, 2019); Perang Bubat (Araska, 2020); Babad Diponegoro: Kisah Sejarah, Silsilah & Pemikiran Sufistik Pangeran Diponegoro (Araska, 2023), Etika Jawa: Prinsip Hidup dan Pedoman Hidup Orang Jawa (Araska, 2023), Falsafah Kepemimpinan Jawa: Menyelami Kearifan dan Filosofi Kepemimpinan dalam Budaya Jawa (Araska, 2024), Perang Suksesi Jawa: Melacak Konflik dan Intrik para Pangeran Darah Biru dalam Pergeseran Kekuasaan Di Keraton Jawa (Araska, 2024), dan Horror Tanah Jawa Tumbal Genderuwo (Araska, 2024). Bersama Indra Tranggono dan R. Toto Sugiharto, menulis buku Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #15 (Taman Budaya Yogyakarta, 2016), Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #16 (Taman Budaya Yogyakarta, 2017). Prestasi yang diraih dalam dunia kepenulisan: Nominasi Lomba Cipta Puisi Esai tingkat nasional (2014), Juara II Lomba Cipta Cerpen Sanggar Sastra Bukit Bintang Yogyakarta (2018), Nominasi Lomba Cipta Puisi Nasinal “Sejuta Puisi untuk Jakarta” (2022), dan Juara III Lomba Cipta Puisi Multimedia “Keris,” Dinas Kebudayaan Yogyakarta (2023). Nama kepenyairannya dicatat dalam: Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, Penerbit Kompas, 2001), dan Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Hasan Aspahani, Rida K Liamsi, dan Sutardji Calzoum Bachri, Yayasan Hari Puisi, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017), Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018), dan Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #18 (Taman Budaya Yogyakarta, 2021). Selain menulis buku, sering menjadi juri lomba baca dan cipta karya sastra di lingkungan sekolah, juri lomba teater dan pantomim, serta dipercaya sebagai nara sumber dalam pelatihan cipta karya sastra untuk siswa dan guru. Sekarang mengelola Paguyuban Sholawat Jawa Langen Ambiya dan Sanggar Lierasi Laras Aksara (Selaksa) Yogyakarta. Yogyakarta. Tinggal di Gejawan Kulon 02/034, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta. WA: 0856-0007-1262.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Agama di Tanah Jawa sejak Kalingga hingga Mataram Islam

21 Agustus 2024   20:04 Diperbarui: 21 Agustus 2024   20:10 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://qalbu-islam.blogspot.com

Merunut pendapat para sejarawan bahwa kerajaan di Jawa mulai ditemukan pada abad ke-7. Selain Kalingga yang dipimpin Kartikeyashinga dan berlanjut Ratu Jay Shima, adalah kerajaan di bawah kepemimpinan Sailendra dan Santanu.

Pasca Kalingga, muncullah kerajaan-kerajaan besar di Jawa, yakni: Medang periode Jawa Tengah, Medang periode Jawa Timur, Kahuripan, Kadiri dan Janggala, Singhasari, Majapahit, Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang, Kesultanan Mataram Islam, Kasunanan Kartasura, Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta.

Muncul, berkembang, dan surutnya kerajaan sangat menentukan pekembangan dan surutnya agama. Sebagai misal, surutnya kepercayaan-kepercayaan lama sesudah muncul dan mulai berkembangnya agama Hinddu dan Buddha pada era Kalingga. Surutnya agama Hindu dan Buddha yang menandai mulai berkembangnya Islam dikarenakan Majapahit berhasil ditaklukkan oleh Demak Bintara. Dari sini bisa disimpulkan bahwa masa kejayaan dan surutnya agama ditentukan oleh politik dari suatu kerajaan yang tengah berkuasa.

Berkembangnya Islam di tanah Jawa yang tidak dapat dilepaskan dengan Majelis Dakwah Walisanga tidak semulus prosesnya. Semasa pemerintahan Raden Patah, timbul ajaran Islam dari Syekh Siti Jenar yang menurut persepsi Majelis Dakwah Walisanga sebagai ajaran sesat. Akibatnya Siti Jenar beserta pengikutnya yakni Syekh Malang Sumirang dan Kebo Kenanga disingkirkan dari kancah politik Demak.

Islam terus mengalami perkembangan sejak Demnak hingga sekarang, sungguhpun agama Kristen yang dibawa para misionaris Eropa disebarkan di lingkup masyarakat Jawa. Namun perkembangan Islam niscaya dibarengi munculnya tiga golongan masyarakat Jawa, yang menurut Clifford Geertz, terdiri dari masyarakat piyayi, santri, dan abangan.

Dari ketiga golongan masyarakat di muka menentukan perkembangan Islam di tanah Jawa. Di mana, masyarakat piyayi senantiasa menjaga kemurnian ajaran Islam; masyarakat santri di dalam memeluk Islam bersifat ortodoks dan masih peduli dengan adat dan tradisi; serta masyarakat abangan yang memeluk Islam dengan mensinkretasikan dengan kepercayaan lama. Kelompok abangan ini dikenal dengan kaum Kejawen atau pemeluk Agama Jawa.  Selanjutnya kita telisik sejarah agama di tanah Jawa yang dimulai sejak Kalingga hingga Mataram Islam (Mataram Baru).

Masa Kalingga  

Terdapat sumber yang menyebutkan bahwa tonggak perkembangan agama Hindu yang dibawa para pedagang India (teori Krom) di tanah Jawa dimulai sejak awal abad ke-4 M. Catatan ini dikukuhkan kebenarannya melalui Prasasti Tuk Mas di lereng Gunug Merbabu. Prasasti yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta dan berangka tahun 650 Masehi tersebut menyebutkan tentang pujian pada Sungai Gangga serta berisi atribut Dewa Tri Murti seperti trisula, kendi, kapak, cakra, dan bunga teratai. Dengan demikian, pemujaan pada Dewa Tri Murti telah muncul di Jawa Tengah di era pemerintahan Kartikeyasingha, raja Kalingga (648-674).

Selain agama Hindu, agama Buddha yang dibawa oleh Sailendra dari Sriwijaya ke tanah Jawa mulai mengalami perkembangan pada era pemerintahan Kartikeyasingha. Pendapat ini berdasarkan Berita Cina yang menyebutkan kedatangan pendeta Buddha bernama Hwi-ning di Kalingga (644 Masehi). Maksud kedatangan Hwi-ning untuk menerjemahkan salah satu kitab suci agama Buddha Hinayana yang berbahasa Sanskerta ke dalam Bahasa Cina. Usaha penerjemahan itu dibantu oleh Janabadra.

Sampai masa pemerintahan Ratu Jay Shima (674-695), agama Hindu dan Buddha tetap berdampingan dan pemeluknya memiliki toleransi yang tinggi. Hal ini dikarenakan Ratu Jay Shima memiliki perhatian sama terhadap perkembangan Hindu dan Buddha. Berkat kearifannya tersebut, Ratu Jay Shima dikenal sebagai Di Yang,yang artinya tempat bertemunya kedua agama.

Masa Medang Periode Jawa Tengah

Kerajaan Medang merupakan warisan Sanna kepada Sanjaya yang merupakan keponakannya. Di bawah kekuasaan Sanjaya yang merupakan putra Sannaha, cucu Parwati, atau cicit Ratu Jay Shima dan Kartikeyasingha. Di masa pemerintahan Sanjaya yang notebene beragama Hindu, maka agama tersebut mendapatkan perhatian utama. Pendapat ini berdasarkan dua hal, yakni: pertama, masa pemerintahan Sanjaya berbasis agama Hindu (Prasasti Canggal).

Kedua, munculnya peristiwa pemberontakan Rakai Panangkaran Dyah Pancapana terhadap kekuasaan Sanjaya. Suatu pemberontakan yang bermotivasi untuk mengembangkan agama Buddha di wilayah Medang. Bukti-bukti Rakai Panangkaran Dyah Pancapana mengembangkan agama Buddha semasa menjadi raja Medang (760-775) yakni membangun empat candi Budha, yakni: Candi Kalasan (Tarabhavanam), Candi Sari, Candi Sewu (Manjusrighra), dan Candi Lumbung; dan satu vihara di Bukit Baka yang dikenal dengan Abhayagirivihara.  

Perkembangan agama Buddha mencapai kejayaan semasa Medang di bawah kekuasaan Samaratungga atau Samaragrawira (792-835). Di masa pemerintahan Samaratungga, dibangunlah Candi Sambharabhudara, Jinalaya, atau Borobudur. Suatu candi buddha terbesar di tanah Jawa atau bahkan nusantara, dan menjadi salah satu dari tujuh keelokan dunia.

Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan Mpu Manuku yang mendampingi Pramodhawardhani (putri Samaratungga), agama Hindu kembali bangkit. Kebangkitan Hindu ini ditandai dengan dibangunnya Siwaghra (Candi Prambanan) yang dimaksudkan untuk menandingi Candi Borobudur. Sungguhpun terdapat teori bahwa Candi Prambanan tidak sepenuhnya bercorak Hindu karena memiliki stupa (ciri candi Buddha).

Di masa kekuasaan Rakai Watukura Dyah Balitung (899-910) yang memerintah Medang pasca pemerintahan Rakai Watuhumalang Mpu Teguh (896- 899) atau sesudah berhasil menumpas pemberontakan Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Rakai Limu Dyah Dewendra, agama Buddha kembali mendapatkan perhatian. Fakta ini ditunjukkan ketika Dyah Balitung memberikan anugerah kepada masyarakat Desa Poh yang mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silungkung (Prasasti Poh, 17 Juli 905).

Pasca pemerintahan Dyah Balitung, perhatian terhadap agama Hindu dan Buddha dari raja memudar. Mengingat Medang tidak pernah surut dari perebutan kekuasaan hingga meletusnya Gunung Merapi pada tahun 928. Akibat letusan Merapi yang mengubur Candi Borobudur dan menelan korban raja Dyah Wawa; sejarah Medang periode Jawa Tengah berakhir. Sebagai gantinya adalah Medang periode Jawa Timur di bawah kekuasaan Mpu Sindok dari dinasti Isana.

Masa Medang Periode Jawa Timur

Sejak peristiwa meletusnya Gunung Merapi, pusat pemerintahan Medang dipindahkan oleh Mpu Sindok dari Bhumi Mataram ke Tamwlang (diperkirakan sekarang Desa Tambelang, Jombang). Sewaktu menjadi raja dengan ibukota di Tamwlang, Mpu Sindok mendirikan bangunan suci atas permintaan Dang Atu Pu Sahitya dari Desa Kulawara pada bulan rawana tanggal 15 uklapaksa tahun 851 aka atau 24 Juli 929 Masehi (Prasasti Turyan).

Selain pada Dang Atu Pu Sahitya, Mpu Sindok memenuhi permintaan Rakai Hujung Mpu Madhura untuk menjadikan sawah di Desa Gulunggulung sebagai sima swatantra karena merupakan tempat bangunan suci Mahaprasada di Himad.  Mpu Sindok pula mememenuhi permintaan Rakai Hujung Mpu Madhura untuk menjadikan Desa Jrujru di Linggasutan sebagai sima swatantra karena telah merawat bangunan suci Sang Sala di Himad.

Pada tahun 929, Mpu Sindok memindahkan ibukota Medang dari Tamwlang ke Watugaluh. Menurut para sejarawan, Mpu Sindok menganut Hindu. Sungguhpun demikian, Mpu Sindok sangat menjaga toleransi terhadap penganut agama lain. Sebagai bukti, Mpu Sindok memberikan penghargaan Desa Wanjang sebagai sima swatantra kepada seorang pujangga bernama Sri Sambhara Suryawarana yang menulis kitab Buddha aliran Tantrayana, bertajuk Sang Hyang Kamahayanikan. Suatu karya sastra berisi 129 ayat dan digubah dalam bentuk prosa di mana bagian belakangnya menyebut seorang raja Jawa, yaitu Mpu Sindok (929-947).

Semasa pemerintahan Sri Isana Tunggawijaya, kehidupan agama Hindu dan Buddha berkembang tanpa perselisihan. Sebagaimana Mpu Sindok ayahnya beragama Hindu, Sri Isana Tunggawijaya pula memerhatikan perkembangan agama Buddha. Hal ini dibuktikan melalui Prasasti Gedangan yang menyatakan bahwa agama Buddha di masa pemerintahan Sri Isana Tunggawijaya mengalami perkembangan signifikan. Selain itu, Sri Isana Tunggawijaya memberikan anugerah pada para pendeta Buddha di Bodhinimba.

Masa Kahuripan

Pasca runtuhnya Medang periode Jawa Timur, timbullah Kerajaan Kahuripan di bawah kekuasaan Airlangga. Di masa pemerintahan Airlangga, bukan hanya kesusastraan yang mendapat perhatiannya, namun pula agama. Tidak heran kalau Airlangga diangkat sebagai pelindung Hindu Siwa dan Buddha.

Tidak ada penjelasan tentang seberapa jauh perhatian Airlangga terhadap Hindu dan Buddha. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa sesudah Airlangga turun tahta untuk menjadi pertapa bergelar bergelar Resi Airlangga Jatiningrat (Serat Calon Arang), Resi Gentayu (Babad Tanah Jawa), atau Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Citraning Bhuwana (Prasasti Gandhakuti, 1042); Kahuripan dibagi menjadi 2 wilayah melalui Resi Bharada. Adapun kedua wilayah tersebut adalah Janggala yang beribukota di Kahuripan yang diwariskan pada Mapanji Garasakan, serta Kadiri dengan ibukota Dhaha yang diwariskan pada Sri Samarawijaya.

Masa Kadiri

Munculnya Janggala dan Kadiri dikarenakan pembagian wilayah Kahuripan yang dilakukan oleh Airlangga. Dalam perkembangannya, sejarah Janggala tidak sepopuler Kadiri. Mengingat Janggala mengalami masa surut sesudah mendapat serangan dari raja-raja Kadiri. Hingga masa pemerintahan Mapanji Jayabhaya di Kadiri, Janggala benar-benar mengalami kehancurannya.

Bila merunut sejarah lahirnya Kakawin Kresnayana karya Mpu Triguna di masa pemerintahan Sri Jayawarsa; Kakawin Bharatayuda karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gathotkaca Sraya karya Mpu Panuluh di era pemerintahan Mapanji Jayabhaya (1135-1159); dan Kakawin Smaradhahana karya Mpu Dharmaja di masa pemerintahan Sri Kameswara yang bernapaskan Hindu; maka bisa diperkirakan bahwa Hindu mengalami perkembangan di masa Kadiri.

Perkiraan tersebut menjadi benar ketika raja Sri Kertajaya (1182-1222) memuja Siwa. Sehingga Sri Kertajaya, raja yang dikenal congkak tersebut berhasil ditaklukkam oleh Ken Arok. Putra Ken Ndok yang sewaktu melakukan penyerangan ke Kadiri bergelar Bhatara Guru (nama lain dari Siwa).

Sungguhpun Sri Kertajaya memuja Siwa, namun di masa pemerintahannya, agama Buddha berkembang di Kadiri. Fakta ini ditunjukkan bahwa Sri Kertajaya bukan hanya disembah oleh para pendeta Hindu, namun pula oleh para pendeta Buddha. Akan tetapi para pendeta yang membelot pada Sri Kertajaya dikarenakan kesombongannya tersebut berubah mendukung Ken Arok untuk memberontak terhadap Kadiri pada tahun 1222.

 

Masa Singhasari

Semasa pemerintahan Ken Arok (Sri Ranggah Rajasa) di Singasari dari tahun 1222 hingga 1227, Agama Hinddu mendapatkan perhatian. Namun sesudah Ken Arok tewas di tangan seorang Pengalasan (suruhan Anusapati) dari Desa Batil, kehidupan agama di Singhasari tidak banyak diberitakan. Menurut Serat Pararaton, pasca pemerintahan Ken Arok hingga Apanji Tohjaya, Singhasari dilanda perang saudara karena dendam. 

Diperkirakan di masa pemerintahan Ranggawuni (1248-1254) yang sanggup mengantarkan Singhasari pada puncak kejayaan, agama Hindu mulai mendapatkan perhatian. Mengingat raja yang memiliki nama lain Wisnuwardhana yang mengacu pada salah satu dewa dalam agama Hinddu yakni Wisnu.

Pasca pemerintahan Ranggawuni, Kertanagara menjabat sebagai raja Singhasari (1252-1292). Selama menjabat sebagai raja Singhasari, Kertanagara menyatukan agama Hindu aliran Siwa dengan agama Buddha aliran Tantrayana. Karenanya dalam Serat Pararton, Kertanagara dikenal dengan Bhatara Siwa Buda. Sementara dalam Kakawain Nagarakretagama, Kertanagara yang menyatukan kedua agama itu mendapatkan gelar Sri Jnanabajreswara.

Masa Majapahit

Runtuhnya Singhasari dengan ibukota Dhaha di bawah kepemimpinan Jayakatwang (mantan adipati Gelanggelang) akibat serangan pasukan Tartar menandai timbulnya Kerajaan Majapahit. Suatu kerajaan Hindu yang didirikan oleh Dyah Wijaya dengan pusat pemerintahan di Majakerta.

Sejak Majapahit menjadi negara terkuat di Nusantara semasa pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350) hingga pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), Islam mulai masuk di tanah Jawa melalui jalur pesisir utara. 

Di masa pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi, Islam yang dibawa Syekh Jumadil Qubra tersebut mulai memasuki wilayah Majakerta (Majapahit). Namun versi lain menyebutkan, Islam mulai memasuki wilayah Majapahit pada era pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389).

Di saat terjadi Perang Paregreg antara Wikramawardhana (Majapahit Barat) dan Bhre Wirabhumi (Majapahit Timur), Laksamana Cheng-ho yang merupakan duta dari Kaisar Yong-le tersebut datang ke Majapahit. Pada saat itu, Cheng-ho turut melakukan syiar Islam di tanah Jawa. Bukti-bukti syiar Islam Cheng-ho berupa Kelenteng Sam-po-kong (Gedung Batu) dan Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam-po-kong yang berada di Semarang.

Di dalam menyebarkan agama Islam di Jawa, Cheng-ho mendapat bantuan dari Syekh Qura (Syekh Hasanudin) dan Syekh Nurjati. Syekh Qura kemudian tinggal di Karawang dan menyebarkan ajaran Islam di sana. Sementara, Syekh Nurjati menyebarkan agama Islam di wilayah Cirebon.

Berpijak dari fakta di mana Cheng-ho pernah melakukan syiar Islam di tanah Jawa, maka amat naif bila terdapat asumsi bahwa pengembangan Islam di tanah Jawa hanya dilakukan oleh Majelis Dakwah Walisanga. Suatu majelis yang terbentuk sesudah Islam mulai disebarluaskan pengaruhnya di Majapahit.  

Semasa pemerintahan Bhre Kertabhumi (1474-1486), Raden Patah diminta oleh Sunan Ampel gurunya untuk membuka Hutan Glagahwangi sebagai pedukuhan (1475). Tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 1478, Glagahwangi yang semakin ramai itu diresmikan oleh Raden Patah sebagai kerajaan Islam yang dikenal dengan Kesultanan Demak Bintara.

Upaya Raden Patah dan Majelis Dakwah Walisanga untuk mengembangkan Islam di Jawa Timur tidak kondusif, ketika kekuasaan Bhre Wirabhumi di Majapahit berhasil digulingkan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (putra Singhawikramawardhana) pada tahun 1486. Berpijak dari fakta inilah, Raden Patah melakukan penyerangan terhadap Girindrawardhana (saudara iparnya) yang menjadi raja Majapahit dengan ibukota Dhaha.

Sungguhpun membawa korban jiwa yakni gugurnya Sunan Ngudung, namun serangan Raden Patah yang ditujukan untuk memerlancar pengaruh Islam di Jawa Timur membawa hasil gemilang. Girindrawardhana dapat ditaklukkan. Terlebih ketika Sultan Tranggana menjadi raja Demak yang berhasil menaklukkan Kadipaten Majapahit pada tahun 1527, Islam mulai mengalami kejayaan baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur.

Karena serangan terakhir dari Demak bermaksud menyebarkan pengaruh Islam di Jawa Timur, maka pengikut penguasa Kadipaten Majapahit yang setia dengan agama lamanya baik Hindu maupun Buddha meninggalkan negerinya. Beberapa sumber mengatakan, mereka yang beragama Hindu mengungsi ke Bali. Terdapat sumber lain yang mengatakan, mereka berlari ke Gunungkidul, Yogyakarta.

Masa Demak

Islam mulai mengalami perkembangan sesudah jatuhnya pemerintahan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya di Majapahit karena serangan Demak. Terlebih waktu itu, Raden Patah menjadi salah satu anggota Majelis Dakwah Walisanga Periode Keempat (1466-1513).

Sunggupun menjadi raja terbesar di Jawa dan memiliki kekuasaan penuh untuk mengembangkan agama Islam, namun Raden Patah memiliki toleran yang tinggi terhadap agama Hindu dan Buddha. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa pengembangan Islam di masa Raden Patah dilakukan dengan cara damai. Sebagaimana isi Perjanjian Gunung Tidar antara Kiai Semar dengan Syekh Subakir yakni di dalam menyebarkan agama Islam bagi masyarakat Jawa tanpa melakukan pemaksaan.

Meskipun tercatat bahwa Raden Patah memiliki toleransi terhadap agama Hindu dan Buddha semasa menjabat sebagai raja di Demak, namun muncul konflik agama di lingkungan anggota Majelis Dakwah Walisanga. Di mana Syekh Siti Jenar yang menjadi anggota Majelis Dakwah Walisanga periode kelima dianggap sebagai penyebar agama sesat. Akibatnya Syekh Siti Jenar dikeluarkan dari Majelis Dakwah Walisanga dan mendapatkan hukuman mati.

Bukan hanya Syekh Siti Jenar saja yang mendapatkan hukuman mati, namun pula para pengikutnya. Para pengikut tersebut adalah Syekh Malang Sumirang dan Kebo Kenangan (Ki Ageng Pengging II). Oleh Majelis Dakwah Walisanga dan Raden Patah, Malang Sumirang mendapat hukuman mati dengan cara dibakar. Karena tidak mati, Syekh Malang Sumirang dibebaskan dan diusir dari Demak. Sementara, Kebo Kenanga dihukum mati.

Semasa pemerintahan Sultan Tranggana, Demak melakukan penyerangan terhadap kadipaten Majapahit yang didukung oleh Portugis. Akibat serangan Demak, penguasa Majapahit melarikan diri. Demikian para pengikut setianya yang menganut agama Hinddu melarikan diri ke Bali. Sebagian pengikut penguasa Majapahit tersebut melahirkan diri ke Gunungkidul, Yogyakarta.

Semenjak runtuhnya Majapahit (1527), agama Hinddu dan Buddha seperti kehilangan gemannya. Sementara, Islam yang disebarkan pengaruhnya oleh Majelis Dakwah Walisanga dan mendapatkan dukungan dari Demak yakni sejak pemerintahan Raden Patah, Patiunus, Sultan Tranggana, hingga Sunan Prawata semakin luas pengaruhnya di tanah Jawa.

Masa Pajang 

Seudah Kesultanan Demak yang dikuasai Arya Penangsang (1459) mengalami keruntuhan, Pajang berdiri di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya. Di era pemerintahannya, agama islam dikembangkan oleh Mejelis Dakwah Walisanga Periode Kedelapan (1592-1650).

Menjelang akhir pemerinthan, Sultan Hadiwijaya berselisih dengan Panembahan Senapati (raja Mataram Islam). Dalam perang antara Pajang versus Mataram, Sultan Hadiwijaya mengalami kekalahan. Tidak lama kemudian, Sultan Hadiwijaya mangkat. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, Arya Pangiri yang merupakan putra Sunan Prawata diangkat oleh Panembahan Kudus sebagai raja Pajang. Fakta ini yang memicu perang antara Pangeran Banawa (putra Sultan Hadiwijaya) yang didukung Panembahan Senapata versus Arya Pangiri.

Selama perang saudara di Pajang yang berakhir pada kekalahan Arya Pangiri hingga dipulangkan ke Demak, kerja Majelis Dakwah Walisanga periode kesembilan (1650-1750) di dalam mensyiarkan Islam di tanah Jawa mengalami sedikit hambatan.

Masa Mataram Islam

Surutnya Kesultanan Pajang sewaktu di bawah kekuasaan Pangeran Banawa menandai munculnya Mataram Islam di bawah pemerintahan Panembahan Senapati. Sebelum menjadi raja, Panembahan Senapati berselisih dengan Sultan Hadiwijaya. Menurut Babad Tanah Jawa ketika berperang melawan prajurit Pajang yang sangat banyak jumlahnya, Panembahan Senapati meminta bantuan Kangjeng Ratu Kidul. Sehingga pasukan Pajang bisa mundur dari medan laga sesudah diporakporandakan oleh Ratu Kidul melalui amuk angin bercampur hujan deras yang cukup besar.

Bila mengacu pada Babad Tanah Jawa, maka Islam di masa pemerintahan Panembahan Senapati di Mataram mengalami sinkretisasi dengan aliran kuna dalam kepercayaan Jawa yakni dinamisme. Suatau kepercayaan tentang kekuatan gaib di suatu tempat yang dapat menentukan keberhasilan manusia di dalam merealisasikan tujuannya. Dalam hal ini adalah Ratu Kidul, penguasa laut selatan, yang dimintai bantuannya oleh Panembahan Senapati untuk menaklukkan Pajang.

Di masa pemerintahan Sultan Agung yang memiliki komitmen untuk mengembangkan kebudayaan Jawa, maka Islam mengalami sinkretisasi dengan paham kejawen. Fakta bahwa Sultan Agung melakukan sinkretisasi Islam dengan Kejawen ditunjukkan melalui pemaduan Kalender Hijriyah dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya memersatuan rakyat Mataram. Perhatian Sultan Agung terhadap budaya Jawa pula dibuktikan melalui naskah Sastra Gendhing yang sarat dengan ajaran Jawa.

Di masa pemerintahan Raden Mas Sayidin (Sri Susuhunan Amangkurat Agung), perkembangan agama Islam dan Kejawen tidak lagi mendapat perhatian. Mengingat Raden Mas Sayidin lebih memerhatikan bidang politik ketimbang bida religi atau kepercayaan. Hingga pada tahun 1677, Kesultanan Mataram yang beribukota di Plered mengalami kehancuran kerena pemberontakan Trunajaya. (Sri Wintala Achmad).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun