#Jangan Dibaca Kalau Terpaksa…
Tulisan ini terinspirasi dari kegiatan kemarin (13/7) dalam acara “School of Writing” yang digawangi oleh Gus Bayu Tara Wijaya di Kedai Sinau LKP2M bersama Gus Fauzi, Gus Angga dan segelintir anak LKP2M angkatan PRA XIII yang masih setia dan haus akan keilmuan. Pergumulan ini mengupas tuntas mengenai apa, bagaimana, mengapa, dan apapun yang berbincang mengenai kepenulisan. Di sini saya menyimpulkan sebuah benang merah dari tausiyah-tausiyah asyik seputar hal tersebut dan sebenarnya apa yang menarik sih dari dunia tulis-menulis?
Poin penting adalah bahwa menulis adalah suatu hal yang mulia, dan kunci utamanya adalah ngawur dan Pe-De saja. Tentu juga hal ini terlepas pada dogma sara. Karena sejatinya dengan menulis akan mampu mengabadikan gagasan dan meningkatkan derajat keilmuan. Tidak dapat dipungkiri juga sebenarnya semua orang itu bisa menulis walaupun yang perlu menjadi catatan adalah “tidak semua” orang bisa menjadi seorang penulis (baca: penulis produktif). Meski dalam konteks ini jangan sekali-kali menjadikan “penulis” sebagai sebuah profesi.
Menilik dari ungkapan Imam Ghazali yaitu “Jika kamu bukan anak raja, jika kamu bukan anak ulama besar, maka jadilah kamu seorang penulis”. Ungkapan ini sekiranya cukup memberi inspirasi sekaligus radiasi semangat untuk menggerakkan pena, menggoreskan tinta, dan menuangkan ide-ide yang tidak harus terstruktur ataupun harus terikat dengan rambu-rambu kepenulisan, agar budaya hitam di atas putih di negeri ini masih bisa dilestarikan.
Meninjau kembali pada judul dari tulisan ini, yang sebenarnya menjadi kata bijak bagi saya pribadi ketika dulu masih aktif bergelut di dunia jurnalistik. Kata “Aku Menulis Maka Aku Ada” sebenarnya saya modifikasi dari kata-kata pusaka Rene Descartes, seorang filsuf dan matematikawan aliran rasionalisme berdarah Prancis, yakni “Cogito Ergo Sum” yang ternyata juga dipakai sebagai jargon LKP2M, yang berarti “aku berpikir maka aku ada”. Maka, saya ganti saja biar pas dan bisa mencerahkan. Namun setelah saya cek, ternyata bahasan ini sudah banyak tertulis di blog-blog maupun website. Hal ini tidak ada unsur kesengajaan sekali pun dan tidak ada salahnya juga saya coba sajikan berdasarkan pemikiran saya sendiri.
Hemat saya, dari kita berfikir dan diikat dengan sebuah tulisan maka konklusinya juga akan sama. Dengan kata lain, menulis merupakan sebagai cara bereksistensi yang pada akhirnya akan diakui eksistensinya dan dalam taraf tertentu, seorang menulis dalam rangka membangun identitasnya untuk mengetahui personal branding yang ada pada diri seseorang.
Sebagai renungan sejenak, selama kita hidup di dunia yang hanya sekitar 60-an tahun ini apa yang akan kita berikan kepada dunia? Apa yang kita hasilkan, dan akan kita tinggalkan sehingga dunia akan mengenal kita? Jawabannya adalah dengan menulis lah, maka dunia akan mengenal kita.
Buktinya saja, siapa yang tidak kenal Imam Ghazali dengan kitab tasawufnya Ihya’ Ulummuddin, Ibnu Malik dengan karya monumentalnya berupa kitab Alfiyyah Ibnu Malik, JK. Rowling dengan novel fantastisnya “Harry Potter”, Habiburrahman El-Shirazy dengan novel-novelnya yang menggugah hati, ataupun puisi yang paling populer “Aku” karangan Chairil Anwar, dan masih banyak lagi penulis-penulis di dunia ini yang terkenal dan masih terkenang namanya meskipun raganya sudah tiada. Berkat bersikerasnya serta kemauan kuat yang didasari dengan kecintaan itulah yang mampu mewujudkan hasil perenungannya dalam bentuk karya nyata, apapun itu bentuknya.
Akan tetapi, kita harus ingat bahwa ternyata tidak mudah mewujudkan mimpi untuk menjadi penulis. Perlu proses yang sangat “profesional” untuk mewujudkan semua itu. Persoalan yang kerap dihadapi penulis pemula seperti halnya kita adalah rasa takut akan “tidak bisa” dan terkukung dengan pemikiran-pemikiran negatif lainnya. Persoalan ini seringkali menjadi kerikil tajam yang dapat mematahkan semangat dan akan menggugurkan cita untuk mengukir negeri ini dengan buah pena. Indikasi persoalan ini muncul lantaran kurangnya kepedulian dan budaya membaca pada generasi saat ini. Sebab, dengan membaca maka pikiran akan terasa dan menulispun jadi lebih mudah. Selian itu tidak adanya sikap untuk memaksa sehingga terbiasa dan pada akhirnya “bisa” untuk selalu menuliskan apa yang menjadi pemikirannya. Hal seperti inilah yang perlu dibenahi dan menjadi PR kita semua untuk segera diselesaikan.
Oleh karenanya boleh dibilang, di Indonesia sendiri belum cukup banyak jumlah penulis produktif dibandingkan dengan jumlah penduduk yang menurut Sensus Penduduk sebanyak 245 juta jiwa untuk tahun 2012 ini. Padahal telah banyak berdiri komunitas-komunitas yang membentuk jejaring penulis dengan harapan mampu menjadi cikal bakal negeri Indonesia berlimpah jumlah penulisnya. Negasinya, upaya itu masih belum bisa terwujud secara maksimal. Kadang juga seorang ingin menulis, dengan harapan agar mendapatkan honor dari tulisannya tersebut. Tapi, kecilnya honor maupun royalty yang didapatnya dari tulisan di Indonesia tidaklah seberapa. Hal ini tentu berbeda sekali dengan para penulis di luar negeri yang bisa hidup “mapan” hanya dari menulis.
Namun, yang terpenting sebenarnya adalah kita berfikir bagaimana tulisan kita bisa sebaik mungkin, kalau bisa sampai best seller sekali pun. Untuk terkait masalah fee itu suatu hal yang dalam bahasa penulis buku “Rahasia Mempercepat Kepastian Sukses” (Penerbit QultumMedia, 2012) adalah automatically effect. Maksudnya adalah jika tulisan kita bagus, maka secara tidak langsung suatu hal materiil akan mudah didapat dengan sendirinya. Bahkan pasti ada penerbit yang menawarkan diri untuk mengeksekusi tulisan kita. Jadi, hanya terfokuslah berusaha dan terus berusaha meningkatkan kualiatas dari tulisan kita.
Setelah sekian itu sudah dapat dilalui dengan tetap yakin dengan memperkuat tekad, semangat dan kesabaran, maka sungguh adalah sesuatu yang sangat membanggakan bila melihat negeri ini terwujud tumbuh generasi penulis yang produktif dan tentu tetap menjaga kualitas tulisannya. Akhir kata, mari saatnya pena berbicara, buat sejarah dengan berkarya dan tinggalkan jejak dengan menulis. []
NB : “Tolong Kalau Sudah Dibaca Dikembalikan pada Tempatnya”
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI