Mohon tunggu...
Christian Rahmat
Christian Rahmat Mohon Tunggu... Freelancer - Memoria Passionis

Pembelajaran telah tersedia bagi siapa saja yang bisa membaca. Keajaiban ada di mana-mana. (Carl Sagan)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Rindu Kembali Normal

25 Maret 2020   19:35 Diperbarui: 25 Maret 2020   20:03 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana tidak, walaupun sudah diinstruksikan untuk "mengurung diri", menjauhi kerumunan, dan membatasi interaksi fisik (physical distancing) sementara waktu guna mencegah penularan virus, masih ada saja orang yang berkeras melakukan kegiatan di luar rumah, pergi ke kerumunan, atau bahkan menciptakan kerumunan.

Mulai dari anak sekolahan yang "diliburkan" tapi malah pergi jalan-jalan ke mall, hingga pemuka agama yang dengan dalil agamanya menyerukan agar kegiatan keagamaan/peribadatan tetap dilaksanakan seperti biasa. Sungguh, orang-orang semacam ini agaknya sudah bebal sejak dalam pikiran.  

Kebijakan untuk mengisolasi diri dan membatasi pergerakan ini memang tidak bisa dipahami secara kaku, apalagi secara sepihak yang kemudian mengakibatkan sesama masyarakat saling menghakimi. Namun, saya kira, kita cukup cerdas untuk menilai alasan-alasan menentang kebijakan tersebut, mana yang bisa diterima nalar dan mana yang tidak.

Saya sendiri pun dibuat dilema oleh instruksi ini. Beberapa waktu yang lalu serta beberapa waktu ke depan, saya bersama teman-teman saya harus melakukan kegiatan praktik peradilan semu sebagai syarat untuk menyelesaikan studi kami di fakultas hukum.

Di satu sisi, kami dihantui rasa takut ketika berkegiatan di luar rumah. Di sisi lain, kami juga takut ketinggalan melaksanakan praktik. Hal ini karena tidak adanya instruksi yang tegas dan jelas untuk, misalnya, benar-benar menunda semua pelaksanaan kegiatan praktik tersebut.

Bahkan, urusan-urusan administrasi untuk melaksanakan praktik ini pun dilakukan secara fisik/manual. Alhasil, dalam suasana paranoid corona, para mahasiswa harus berdesakan demi mengurus kuliahnya.

Saya sempat mengatakan pada beberapa teman, kenapa urusan administrasi ini tidak dilakukan secara online saja. Tinggal scan berkas, lalu kirim ke alamat surel kampus. Apa lacur, keluhan tinggal keluhan, harapan tinggal harapan.

Hal yang hampir sama juga terjadi pada banyak orang (kecil). Tapi yang ini bukan sekadar dilema, melainkan lebih mengarah ke sentimen kelas. Sebut saja para petani, nelayan, penarik becak, pedagang kecil, serta "orang kecil" lainnya.

Tidak beraktivitas seperti biasanya sama artinya dengan hilangnya pendapatan mereka. Hilangnya pendapatan mereka sama artinya dengan terancamnya keberlangsungan hidup mereka. Lantas, hidup terancam karena virus dengan terancam tidak makan, apa bedanya bagi mereka. Naas memang, work from home tidak berlaku bagi mereka.

Di lain sisi, kesenjangan yang begitu kontras antara "orang berada" dengan "orang kecil" terlihat di mana-mana. Orang berada yang memborong dan menimbun segala persediaan, dari pangan hingga masker, hand sanitizer, dan obat-obatan, membuat harga melambung tinggi, sehingga orang dengan kemampuan pas-pasan tidak lagi sanggup beli.

Situasi ini tentunya diperparah oleh pedagang yang hanya berorientasi profit namun tidak punya kepekaan sosial serta kurangnya pengawasan dari pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun