Mohon tunggu...
Pemi Rinda Sari
Pemi Rinda Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa Hukum Universitas Jambi

Hukum Dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Militer Di Tengah Pemerintahan

13 Oktober 2025   19:18 Diperbarui: 13 Oktober 2025   19:18 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(foto timbangan hukum dan topi militer berlatarbelakang bangunan pemerintahan)

Pergeseran halus dalam struktur kekuasaan sedang berlangsung, ketika militer semakin leluasa menjangkau ruang sipil lewat regulasi yang mengizinkan prajurit aktif menempati jabatan pemerintahan. Sejak reformasi 1998, garis pemisah antara sipil dan militer diupayakan ditegakkan supaya supremasi sipil tetap terjaga: militer bukan aktor politik, melainkan instrumen pertahanan di bawah kendali otoritas sipil. Namun, revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang disahkan pada 2025 membuka pintu bagi praktik yang sebelumnya dilarang, bahkan berisiko kembali ke pola lama "dwifungsi" militer yang melekat pada rezim Orde Baru.

Dalam UU TNI versi lama (UU Nomor 34 Tahun 2004) jelas dinyatakan bahwa prajurit aktif hanya boleh menduduki jabatan sipil jika telah mengundurkan diri atau pensiun (Pasal 47 ayat 1) dan hanya ada pengecualian terbatas di beberapa lembaga tertentu seperti kementerian pertahanan, lembaga intelijen, dan lembaga koordinator keamanan (Pasal 47 ayat 2). Hal ini merupakan bentuk proteksi terhadap prinsip bahwa jabatan sipil yang berkaitan dengan kebijakan publik harus diisi oleh warga sipil, agar kontrol demokratis dan akuntabilitas tetap terjaga.

Namun revisi UU TNI 2025 memodifikasi klausul tersebut dan memperluas daftar jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif melalui ketentuan limitatif yang dinyatakan oleh DPR sebagai "pembatasan", bukan pelebaran yang tak terkendali. Dalam sidang uji materi, DPR menyebut bahwa Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU TNI 2025 dirancang untuk membatasi ruang gerak prajurit aktif, dengan hanya 14 instansi pusat yang dapat diisi oleh personel militer aktif, asalkan sesuai latar belakang keahlian militer dan bersifat strategis.Meskipun DPR dan pemerintah menyatakan bahwa revisi ini tetap menghormati supremasi sipil, sejumlah kalangan kritis melihat celah normatif yang membahayakan. Dalam revisi ini bisa menjadi pintu gerbang bagi "kembalinya dwifungsi" TNI dalam politik dan pemerintahan, karena batasan dalam undang-undang masih terbuka untuk interpretasi luas, dan mekanisme transparansi serta pengawasan belum dikuatkan. Praktik pengangkatan perwira aktif ke jabatan sipil di luar konteks pertahanan dan keamanan, seperti Sekretaris Kabinet, pun telah memicu polemik hukum dan politik.

Narasi pendukung revisi menyebut bahwa keamanan negara saat ini menghadapi ancaman multidimensional (termasuk siber, terorisme, narkotika) yang memerlukan sinergi antar lembaga, sehingga kehadiran personel militer di lembaga sipil strategis dianggap wajar. Namun argumen itu berisiko menjadi justifikasi overreach militer ke ranah sipil. Karena ketika militer diberi laluan ke birokrasi sipil, peran sipil sebagai pengatur kebijakan bisa tergerus, dan institusi sipil demokratis seperti kementerian, lembaga pengawas, parlemen berpotensi terperangkap dalam subordinasi terhadap struktur militer tersembunyi.

Dalam realitasnya, garis sempit antara kekuasaan sipil dan militer bisa mengabur. Jika militer memiliki akses ke jabatan sipil strategis tanpa mekanisme kontrol yang kuat, keputusan kebijakan nasional yang seharusnya berada di tangan politisi sipil bisa dipengaruhi oleh logika militer. Hal ini dapat melemahkan netralitas lembaga sipil, mereduksi ruang kritik publik, dan menimbulkan ketidakseimbangan kekuatan dalam sistem pemerintahan.

Oleh karena itu, perlindungan terhadap supremasi sipil tidak boleh hanya sebatas aturan yang tertulis tanpa tindakan nyata. Negara harus memastikan bahwa mekanisme pengawasan sipil (melalui DPR, MA, KPK, Ombudsman, masyarakat sipil) aktif dan kredibel, serta semua penempatan militer ke jabatan sipil bersifat transparan, berbasis kebutuhan objektif, dan tunduk pada audit publik. Regulasi pelaksana dan pedoman teknis diperlukan untuk memperjelas batasan dan syarat agar militer tidak "mencampuri" politik sipil secara terselubung. Reformasi budaya institusional militer juga penting agar kekuatan profesional dan kariernya tidak melekat pada agenda politik, tetapi tertuju pada tugas pertahanan negara semata.

Ketika militer mulai menyentuh ruang sipil tanpa kontrol, demokrasi tidak hancur dalam satu langkah besar, melainkan terkikis perlahan. Supremasi sipil bukan sekadar simbol konstitusional, melainkan jaring pengaman bagi hak warga negara, akuntabilitas publik, dan keseimbangan kekuasaan di negara demokrasi. Jika garis pemisah antara sipil dan militer semakin kabur, seluruh fondasi demokrasi bisa goyah dalam diam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun