Mohon tunggu...
Pemas Sepriawan
Pemas Sepriawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga

Avonturir langit yang gagal move on

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Laki-Laki Nggak Boleh Menangis, Bukti Feminisme Menyudutkan Kaum Laki-Laki

21 Januari 2024   13:42 Diperbarui: 21 Januari 2024   18:48 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kesetaraan gender sudah menjadi isu turun temurun, sebab dianggap belum dapat teratasi secara efektif, terutama mengenai keadilan gender bagi perempuan. Kita lahir di dunia dengan ketidakadilan terhadap kaum laki-laki atas standarisasi yang terkesan mengada-ada, misalnya cara berpakaian harus maskulin. Seorang laki-laki juga tak leluasa dalam meluapkan kesedihan, karena akan dicap lemah, dan kurang jantan. Situasi ini tak berlaku bagi perempuan yang dibebaskan untuk menuangkan perasaan batinnya. Bahkan saat perempuan memakai celana akan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Hasilnya sangat berbeda ketika ada laki-laki memakai rok.

Keabu-abuan ini terjadi disebabkan oleh feminisme. Paham feminisme digadang-gadang sebagai gebrakan untuk menyetarakan kedudukan kaum perempuan dan menggoyahkan dominasi laki-laki dalam dinamika sosial. Gerakan ini kian meluas diiringi semakin meningkatnya kesadaran kaum perempuan akan "penindasan" yang mereka alami. Para perempuan menuntut keadilan dalam bidang politik, ekonomi, dan pendidikan demi mencapai kesetaraan gender.

Bertolak dari pengalaman yang sudah-sudah, secara tak sadar kaum laki-laki tertindas atas merdekanya gerakan feminisme. Bahkan sebelum feminisme digembor-gemborkan. Sejak kecil, laki-laki selalu dididik menjadi pribadi tahan banting, tangguh, dan tak boleh cengeng. Sangat berbanding terbalik dengan perempuan, yang dibebaskan untuk mengekspresikan perasaannya sepenuh-penuhnya. Stigma ini sudah dikonsumsi sejak dulu oleh banyak kalangan masyarakat buah hasil semakin tegasnya eksistensi feminisme.

Bertolak dari situasi sosial masa kini, banyak kaum perempuan yang sudah diberikan tempat untuk mengisi ruang-ruang kosong mengiringi laki-laki dalam bidang politik, ekonomi, dan pendidikan. Di Indonesia sendiri, telah disediakan setidaknya 30 persen kursi jabatan khusus para perempuan yang ingin mengeksplorasi dunia politik.

Rasanya kerap kali gerakan laki-laki dibatasi atas kesusilaan dalam gender, dibanding perempuan. Perempuan yang memakai bawahan celana dapat diterima serta dinormalisasi, namun ketika laki-laki memakai rok akan langsung menerima stigma negatif. Fenomena sederhana ini menunjukkan ketidakadilan secara kecil-kecilan yang dialami kaum laki-laki.

Lantas salahkah gerakan feminisme?

Salahkah bantahan kaum laki-laki?

Laki-laki dan perempuan memiliki peran penting dalam keseimbangan ekosistem kehidupan di segala aspek. Diperlukan campur tangan keduanya untuk membangun suatu kesatuan yang sempurna.

Feminisme menjadi persoalan tak berujung jika terus diusung hingga keakarnya. Alih-alih terselesaikan, ini hanya akan menimbulkan persepsi tumpang-tindih. Gerakan feminisme seperti penyiksaan batin secara tidak langsung bagi kaum laki-laki. Para laki-laki dituntut memenuhi ekspektasi perempuan atas situasi sosial yang tidak sejalan dengan ideologinya. Sebab, itu diperlukan kesadaran tiap individu, kebebasan hak yang sama, demi mencapai keadilan baik dalam aspek gender maupun lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun