Tidak bisa ditutup-tutupi lagi korban terdampak pandemi covid-19 terus bertambah. Mereka yang semula ekonominya kalang kabut, semakin terpuruk. Demikian juga yang penghasilannya pas-pasan, jadi anjlok tidak tentu arah.
Pekerja sektor informal, semacam pedagang kaki lima dan buruh serabutan jelas langsung down menghadapi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Mereka tidak punya pendapatan lagi. Siap-siap keluarga mereka menanggung penderitaan.
Hal yang sama dihadapi para pekerja yang selama ini punya pendapatan tetap tiap bulannya. Orang-orang yang bekerja di pabrik atau karyawan yang ngantor di perusahaan swasta, jauh hari sudah dihadapkan pada rasa cemas. Sebagian dirumahkan, sisanya langsung di-PHK (pemutusan hubungan kerja).
Mereka yang masih bekerja, bukannya langsung bahagia. Kegelisahan tetap menimpa mereka. Betapa tidak, banyak karyawan gara-gara wabah virus corona melanda, hanya terima gaji setengah harga. Alasan perusahaan yang menyebutkan produktivitas terhenti, mau tidak mau harus diterima.
Ironisnya, pada Bulan Ramadan ini, hembusan informasi tidak adanya tunjangan hari raya (THR) makin kencang saja didengar. Padahal, dana THR sangat diharapkan untuk menanggulangi masalah yang terjadi saat ini. Kabar lain, THR ditunda sampai sekian bulan ke depan, itu juga kalau perusahaan kembali normal.
Tidak menutup mata
Sebenarnya pemerintah dari pusat hingga daerah, bukannya menutup mata dengan kondisi yang terjadi. Ada upaya penanganan yang dilakukan. Di antaranya dengan menyalurkan dana bantuan sosial (bansos). Tapi bagaimana efektivitas program tersebut di lapangan? Betulkah mampu meringankan penderitaan warga yang terdampak PSBB?
Baik pemerintah pusat mapun pemerintah daerah, memang terus mendistribusikan bansos ke sejumlah warga yang dianggap berhak menerima. Ada klaim dari pemerintah, bahwa bansos yang disalurkan sesuai sasaran dan bisa menyambung kehidupan warga yang terdampak PSBB.
Bahkan untuk menjangkau semua korban, bantuan itu dibentuk dalam berbagai varian. Tidak sekadar bantuan sosial bagi terdampak covid19. Tapi ada juga bantuan yang disalurkan lewat program Bantuan Presiden (Banpres), Bantuan dari Kementerian Sosial (Kemensos), bantuan provinsi, bantuan daerah, Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, bantuan dana desa, bantuan Kartu Pra Kerja dll.
Sayangnya, macam-macam bantuan itu, tidak bisa diturunkan kepada masyarakat yang membutuhkan secara bersamaan. Waktu penyalurannya berbeda-beda. Dari situlah letak permasalah baru jadi muncul. Sementara masyarakat yang merasakan penderitaan di waktu yang bersamaan, sedangkan bantuan yang datang pilih-pilih dulu nama penerimanya.
Akibat bantuan yang datang "dicicil" penyalurannya, akhirnya di lapangan terjadi gejolak. Tidak bisa dihindari lagi munculnya kecemburuan sesama korban terdampak PSBB. Kondisi itu sangat berbahaya jika dibiarkan, karena bisa berkembang adanya friksi.
Kegaduhan di media sosial
Kegaduhan mulai muncul di sejumlah daerah. Ambil contoh di Jawa Barat. Walau Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil (Kang Emil) memastikan bantuan sosial untuk korban terdampak covid-19, 99 persen sukses disalurkan, namun di lapangan masih banyak masyarakat yang kecewa. Tidak sedikit juga korban yang akhirnya mencemooh program Pemprov Jabar itu.
Di media sosial pun berseliweran video yang menggambarkan aksi penolakan bantuan sosial dari gubernur. Di Bandung ada warga penerima bantuan sosial justru mengembalikan paket sembako dan uang tunai. Alasannya, mereka tidak enak hati dengan warga lainnya yang tidak kebagian bantuan.
Daripada mereka menjadi sasaran kecemburuan, akhirnya bantuan tersebut dikembalikan kepada petugas Kantor Pos yang mengantarkannya. Beredar juga sebuah video yang menggambarkan sejumlah kepala desa, yang dengan tegas menolak bantuan gubernur, dengan alasan jumlahnya tidak sesuai dengan apa yang mereka ajukan.
Pemprov Jabar sendiri mengakui ada warga yang mengembalikan bantuan sosial terdampak covid-19. Namun itu tidak seberapa jumlahnya. Tercatat ada 900 kepala keluarga yang mengembalikan bantuan, sementara jumlah yang telah menerima mencapai 12.000 kepala keluarga.
Betul kalau melihat angka, jumlah 12.000 kepala keluarga yang menerima bantuan, termasuk cukup banyak. Tapi akan tidak wajar jika melihat kenyataan di lapangan, saat satu Rukun Warga (RW) mengajukan 50 kepala keluarga untuk mendapat dana bansos, cuma satu kepala keluarga saja yang direalisasikan.

Di kalangan masyarakat sendiri muncul gerakan swadaya untuk peduli sesama. Ada inisiatif dari sejumlah warga yang mampu melakukan urunan membantu keluarga yang kini dalam posisi ketidakberdayaan.
Namun gerakan itu pasti ada batasnya. Karena secara teoritis, warga yang mampu pun, ekonominya mulai goyah akibat pandemi covid19 berkepanjangan.
Jadi kapan bantuan dari pemerintah akan turun lagi? Bukankah pemerintah juga bertanggung jawab atas kehidupan warganya? (Anwar Effendi)***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI