Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Id Ketua DPR

13 November 2010   10:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:39 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MUSIBAH terdahsyat itu mungkin saja bukan tsunami, mungkin pula bukan gempa, mungkin bukan mati, karena efek dari semua itu masih dapat dilihat, konkret. Namun, bilamana musibah karena kata-kata, dengan bentuknya yang abstrak, susah dilihat dan diraba, ke mana dalih hendak dicari, ke mana obat hendak diramu? Karenanya, musibah terdahsyat itu sebenarnya ada dalam diri, di hati, yakni oleh sebab lidah. Pepatah mengatakan, “Musabab mulut bulu basah, musabab lidah badan binasa.”

Hal ini setidaknya dirasakan rakyat Mentawai akibat imbas dari komentar Ketua DPR RI, Marzuki Alie.Kata-kata Ketua DPR yang sangat ‘tajam’ tersebut telah melukai banyak hati. Luka oleh semburan ucap Marzuki bukan hanya dirasakan oleh masyarakat Mentawai atau kerabatnya, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya komentar umpatan buat Marzuki dari berbagai jejaring sosial semisal twitter. Dipastikan pula, luka tersebut tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Indonesia, tetapi juga oleh segenap manusia berhati di seluruh penjuru dunia.

Komentar miring, kurang puas, kritik hingga berbentuk hujatan bukan hanya terjadi di jejaring sosial dengan ungkapan-ungkapan singkat. Ungkapan itu juga sampai ke bentuk artikel lepas di blog-blog pribadi dan umum. Muncul pula sebuah opini dari Indra J. Piliang (Kompas, 01/11/2010) yang sempat menggugah Marzuki untuk menulis. Sayangnya, tulisan Marzuki yang dimuat kompas (04/11/2010) tidak lebih dari pembelaan dirinya sebagai seorang Ketua DPR RI.

Marzkuki, melalui tulisannya, lebih mengedepankan personalnya sebagai Ketua DPR yang terhormat. Kesannya, ia enggan menerima kritikan. “Niat baik saya tidak dimengerti karena tidak tertampung dalam pernyataan yang pendek dan dalam waktu singkat,” demikian kutipan pemikiran Marzuki. Kalimat ini jelas mengafirmasi statemen dia sebelumnya yang mengatakan bahwa “Salah sendiri korban tsunami Mentawai tinggal di pulau itu.”

ID, Ego, Superego

Apa yang diungkapkan oleh Marzuki, baik statemen maupun opini, adalah penampilan kepribadian dari seorang Marzuki Alie. “Mulut Anda harimau Anda,” begitu kata bijak. Ungkapan seseorang mencerminkan karakter pribadinya sebagai sosok.

Mengutip apa yang dijelaskan oleh Sigmund Freud dalam Teori Psikoanalitik, kepribadian manusia itu terbagi menjadi tiga tingkat. Tingkatan teratas disebut dengan superego, selanjutnya tingkatan ego, dan terendah sekali adalah id. Pada tataran id inilah sifat manusia yang ditamsilkannya serupa sifat hewan, sebab lebih mengedepankan kesenangan semata. Pada elemen ini pula, manusia cenderung dalam kecemasan dan ketegangan.

Jika saja kecemasan masyarakat Tanah Air umumnya yang mendengar/membaca komentar Marzuki dapat digolongkan sebagai sifat id manusia, bagaimana pula dengan Marzuki sendiri yang tidak memahami kondisi keindonesiaan sebagai sebuah wilayah kepulauan?

Sebagai wakil rakyat, mestinya ia tidak serta merta mengeluarkan pernyataan yang menyakiti rakyat. Bencana baru saja terjadi. Seharusnya, yang diberikan adalah solusi, bukan penghakiman kepada korban dengan menyudutkannya. Apalagi, selama ini pemerintah maupun DPR memang belum memberikan solusi pindah kepada masyarakat Mentawai.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin wakil rakyat berani mengatakan bencana tsunami risiko masyatakat yang tinggal di daerah kepulauan, sedangkan mereka (pemerintah) tidak pernah menunjukkan daerah daratan yang dapat digunakan sebagai tempat tinggal masyarakat tersebut?

Oleh karena itu, statemen yang dikeluarkan oleh Marzuki tidak lebih sekadar unjuk dirinya sebagai ketua DPR. Hal ini pulalah yang ditegaskannya kembali dalam tulisan balasan pada opini kompas terhadap Piliang. Manakala alasannya saat memberikan komentar tidak memiliki banyak ruang meluahkan isi hati, mengapa tidak ia lakukan dengan detail pada tulisan balasan tersebut? Bukankah dirinya memiliki peluang lebih panjang menutur kata pada rubrik opini sebuah media?

Tak salah jika tulisan balasan Marzuki membuat semakin kurang simpatik banyak orang pada dirinya. Tulisan tersebut juga tidak memberikan solusi, melainkan sekadar membela diri. Lagi-lagi, inilah di antara tipikal yang dimaksudkan oleh Freud sebagai elemen id tersebut.

Terlepas dari itu, tentunya semua rakyat Indonesia masih berharap pada Marzuki untuk berpihak pada rakyat. Bagi orang yang dapat musibah semestinya dihibur terlebih dahulu, bukan dihujat. Karenanya, hal terwajar dan terbaik yang mesti dilakukan Ketua DPR itu adalah minta maaf pada masyarakat Mentawai dan rakyat Indonesia umumnya. Jika ini sudah dilakukan, rakyat pun harus memaafkannya.

Herman RN, Magister Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia Unsyiah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun