Mohon tunggu...
Peter Johan Djangoen
Peter Johan Djangoen Mohon Tunggu... wiraswasta -

Menulis, memotret dan berkreasi dalam media adalah bagian dari waktu hidup saya. Melamun adalah sebuah proses dari meraih cita-cita yang sederhana: untuk hidup dan tetap menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemilu 2014 dan Momentum Saya untuk Bermimpi

5 Juli 2014   08:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:24 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ijinkan sebelumnya saya berbagi pikiran dan perasaan saya sebagai warga negara biasa melalui forum Kompasiana ini, terkait peristiwa bersejarah Pemilu 2014 yang begitu luar biasa menyedot energi masyarakat Indonesia. Tulisan ini pun diturunkan setelah saya berpikir, apakah sesungguhnya pesta demokrasi yang dimaksud oleh banyak perkataan orang belakang ini.

Tahun lalu, Gubernur aktif Jakarta, Joko Widodo masih menyangkal sikapnya terhadap pergerakan survei popularitas calon Presiden. Saya pribadi pun, bersama perbincangan dengan beberapa teman, saudara dan tetangga, masih menduga Jokowi tak akan maju jadi calon Presiden. Faktor Megawati sebagai ibu partai masih begitu besar, belum lagi kubu politik dengan Gerindra yang telah dibangun cukup lama. Saya ingat, beberapa kali obrolan menyinggung perandaian, Jokowi maju Capres di 2019 atau 2024 setelah institusionalisasi sukses dilakukan Prabowo bersama Megawati dan Gerindra.

Betapa tidak, sebagai warga Jakarta, saya menyaksikan (dan kadang ikut menjadi pelaku) perilaku tak etis dari masyarakat yang begitu massif dan brutal. Mulai dari persoalan kerumitan perebutan lahan parkir yang berakhir kekerasan; Rupiah yang telah menggantikan rasa kekeluargaan dan kebersamaan; hingga persoalan kesadaran berlalu-lintas. Sepele dan kecil, tapi dirasakan hampir setiap hari. Kalau dikalkulasi bertahun-tahun, saya yakin pengalaman keseharian ini akan menumpulkan otak dan mematikan rasa.

Prabowo adalah jawabannya, kira-kira begitu pergunjingan saat itu. Dengan kecenderungan pendekatan state-nya, Prabowo akan mendudukkan banyak persoalan pada tempatnya. Semacam mengurai satu demi satu persoalan agar tidak terus-terusan kusut. Hukum akan diinstitusikan dengan profesional; ekonomi akan digerakkan layaknya Cina "memeras rakyatnya demi masa depan yang gemilang" (yang saat ini telah mulai menemukan kegemilangannya itu); budaya akan diberikan panggung-panggung dan sorot lampunya, tentunya budaya yang punya akar dengan ke-Indonesia-an; dan yang terpenting, politik akan ditundukkan dengan keras agar tidak terus-menerus menjadi lapis masyarakat yang 'untouchable'.

Plus, dukungan Megawati akan membawa kembali nuansa Demokrasi Terpimpin Soekarno paska dibubarkannya Konstituante. Saya berpikir, ini saat Indonesia akan merintis kembali kekuatannya, seperti ketika Komando Trikora 1961-1962 begitu tertanam di jiwa patriotik setiap warga negara. Mungkin harus sedikit dipoles dengan program Garda Nasional yang tertuangkan secara sistematis agar jiwa patriotik itu kembali ke sanubari setiap insan. Begitu pikir saya saat itu.

Tapi, semua berubah secara drastis ketika Jokowi resmi diajukan menjadi capres dari koalisi PDIP dan beberapa partai. Pertarungan antar Jokowi dan Prabowo sesungguhnya tak ada yang berbeda dalam obrolan ideologi; yang berbeda kemudian pendekatannya. Prabowo dengan retrospeksi kenegaraan dan institusionalisasinya, sementara Jokowi memberikan warna baru tentang bangunan masyarakat sipil dan keterlibatan sosial dari setiap individu. Mana yang benar? Saya pikir keduanya ideal, hanya konteksnya yang harus dilihat. Karena toh, kepemimpinan berfungsi mewarnai konteks kemasyarakatannya: agar dapat membawa perubahan dan kemajuan.

Fenomena Jokowi pun tak hanya dirasakan segenap relawannya (yang akan ditunjukkan pada Konser Salam 2 Jari di Gelora Bung Karno, sehari setelah tulisan ini dibuat). Jokowi dan pertarungan sengitnya dengan Prabowo membawa kisah baru dalam sejarah kampanye Pemilu Indonesia: kampanye hitam yang diargumenkan sebagai kampanye fitnah dan tak berdasar. Ini model kampanye terbuka yang sama sekali baru di Indonesia, sebuah model yang selama ini hanya dikenal dalam berita Pemilihan Presiden AS. Apakah benar atau tidak artikel milik Made Supriatma berjudul "Hantu Lee Atwater di Indonesia", silahkan masing-masing berargumen. Saya sendiri memilih percaya, dengan pemahaman dan akses data-informasi yang bisa saya dapatkan.

Saya kemudian teringat sebuah buku berjudul "Nusa Jawa Silang Budaya", dimana pada satu bagian menekankan politik pecah belah Belanda melalui potensi konflik yang ada di masyarakat. Tak beda memang, kampanye hitam yang dilakukan juga memanfaatkan potensi konflik horisontal: SARA, dan bahkan trauma sejarah tentang komunisme.

Saya mencoba merenungkan semua. Apakah masyarakat sipil kita benar-benar siap seandainya Jokowi menjadi tampuk kepemimpinan nasional? Pendekatannya sangat baik dan mengena, persis seperti kisah Soekarno yang sengaja mematikan mobilnya agar rakyat ikut mendorong mobil RI-1 dan menjadi bagian dari konsep kepemimpinan nasional. Jokowi menyentuh begitu banyak jiwa yang selama ini tak mau berurusan dengan politik. Jokowi merevolusi kesadaran politik dan partisipasi publik yang selama ini dimatikan orde baru secara sistemik. Tapi sekali lagi saya bertanya-tanya, benarkah bangunan masyarakat sipil kita benar-benar siap menerima wahyu perubahan ini?

Di tengah-tengah potensi konflik yang begitu tinggi dan sarat intoleransi...

Dalam situasi dimana kata "militer" masih dipenuhi traumatik...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun