Sebuah hipotesis dalam psikologi mengatakan frustration leads to aggression, rasa frustrasi menuntun kepada perilaku agresif. Perilaku ini dibahas dalam artikel Gregory Bateson yang diterbitkan pada tahun 1941[2].Â
Gregory Bateson mengamati hipotesis agresi-frustrasi dalam sudut pandang budaya. Menurutnya, budaya secara implisit terlibat dalam hipotesis itu sendiri, karena berkaitan dengan perilaku manusia yang selalu dibentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan, baik sosial maupun budaya.
Melihat fenomena laku masyarakat tersebut membawa penulis pada analisis mengapa itu terjadi dan apa hal yang melatarbelakangi itu semua. Ada dua hal yang menurut hemat saya sangat berpengaruh yaitu pola pikir masyarakat dan arus informasi. Dua hal ini saling berkaitan erat.Â
Bila kita perhatikan semua hal yang kita lakukan baik ucapan, tindakan, kebiasaan, dan sikap kita merupakan hasil dari pola pikir yang sudah terbentuk dalam diri kita. Edward de Bono dalam buku New Think: The Use of Lateral Thinking[3] mengatakan bahwa pola pikir adalah akumulasi informasi yang masuk ke dalam pikiran dan informasi ini membentuk kerangka berpikir dengan sendirinya.Â
Salah satu unsur penting pembentukan pola pikir adalah informasi. Informasi tersebut bisa didapat lewat nasihat orang tua, guru, orang lain atau pemikiran dari tokoh agama dengan kadar paparan masing-masing orang berbeda tergantung lingkungan ia berada. Proses pembentukan pola pikir terbentuk sejak masih dalam kandungan sampai akhir umur kita.
Demikian pula sebab kerukunan dan kekacauan yang terjadi selama pilkada, terdapat andil besar pola pikir masyarakat. Pertanyaannya, pola pikir masyarakat macam apa sih yang seharusnya dibangun?Â
Untuk menjawabnya perlu analisis yang lebih mendalam, sebab ada banyak aspek yang akan disinggung salah tiganya yaitu aspek pendidikan, kesadaran, dan konstruksi sosial masyarakat.Â
Namun langkah pertama yang menurut saya cukup prefentif adalah membangun kesadaran dengan penciptaan wacana anti hoax dan pencerahan kepada masyarakat untuk terus saling menghargai serta menghormati antar sesama. Kalimat terakhir ini terdengar klise dan utopis di telinga saya. Hehe
 Ade Mahniar- Mahasiswa Pascasarjana UNY
 ---
[1] setara-institute.org