Mohon tunggu...
Pebri Sagala
Pebri Sagala Mohon Tunggu... Penulis Lepas

Hobi membaca buku membuat saya mencoba untuk menuliskan ide-ide yang ada.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Balik Kampung

6 Oktober 2025   16:30 Diperbarui: 6 Oktober 2025   16:27 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi dibuat dengan AI berdasarkan narasi cerita

Raka tiba ketika matahari condong ke barat, menyayat punggung sawah dengan garis-garis emas. Bus antarkota menurunkannya di mulut desa Tegalireng, di depan warung biru yang dulu menjual es lilin. Warungnya masih ada, tapi pemiliknya sudah berganti. Nun jauh, di alun-alun kecil, spanduk merah-putih terbentang: DIRGAHAYU RI KE-80. Tahun delapan puluh. Waktu, pikir Raka, suka berlari dengan sepatu kempes: bunyinya pelan, tapi tahu-tahu kau jauh tertinggal.

"Mas Raka?" suara perempuan memecah lamun. Sari, rambutnya disanggul seadanya, menatap dengan senyum yang membuat matanya mengecil.

"Eh, Sari! Kau jadi bidan beneran, ya?"

"Sudah dua tahun. Kamu pulang liputan?"

Raka mengangkat ransel. "Liputan, iya. Sekalian... ya, lihat-lihat."

Sari menatap spanduk di kejauhan, lalu kembali ke Raka. "Kamu masih ingat, kan, tujuhbelasan yang..."

"Yang Deni jatuh dari panjat pinang," potong Raka. Nama itu seperti pasir di gigi. "Iya. Aku ingat."

Deni, sepupu Raka. Dua belas tahun lalu. Mereka ikut memeriahkan acara: Deni memanjat, Raka memotret dengan kamera butut. Puncak tawa berubah jerit saat batang licin itu memantulkan tubuh Deni ke tanah. Orang bilang itu apes. Orang lain bilang itu "imbal".

Sari menepuk pelan lengan Raka. "Maaf, aku cuma... ya, kau pasti punya alasan pulang pas tujuhbelasan lagi."

"Aku ingin menulis tentang tradisi ini," kata Raka. "Tentang ramai-ramai yang sebenarnya menambal sesuatu."

Mereka menyusuri jalan tanah yang kini disemen tipis. Anak-anak mengejar sepeda hias, remaja menata panggung. Dari kejauhan, terdengar suara toa: "Panitia mengundang Ketua RT untuk briefing jam enam sore!". Di bawah trembesi besar, lelaki tua bersarung duduk bersender pada akar yang menusuk tanah seperti jari gemuk. Mak Tumi. Ia mengunyah sirih, bibirnya merah, matanya memantulkan sore.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun