[caption id="attachment_384349" align="aligncenter" width="460" caption="detik.com"][/caption]
Yusril Ihza Mahendra bukan orang sembarangan. Selaku ahli hukum, dia bukan anak kemarin sore. Bukan pula ahli hukum jago kandang yang hanya bisa berkoar-koar dari kampus ke kampus, dari satu forum seminar ke forum seminar, dan dari satu paper ke paper lainnya. Dia buktikan segala pengetahuan yang dia punya dalam terapan nyata. Dia berikan masyarakat dan pemerintah pembelajaran.
Sosoknya penuh pesona, maka tak heran banyak mata menoleh padanya. Kamera filem pun tak luput menyorot dan menjadikannya si Legenda, Laksamana Cheng Ho di layar lebar.
Banyak telinga ingin mendengarnya mengurai pasal demi pasal. Mendelik kerumitan hukum kedalam bahasa sederhana. Menjadikan masyarakat dari tak tahu menjadi tahu, dan mengerti. Ternyata hukum itu begitu.
Berkontur wajah sedikit sinis, namun tak menghalangi gayanya yang flamboyan. Inilah yang membedakannya dengan para intelektual sekaligus ahli hukum lainnya. Ada keseimbangan menjadi manusia gaul dan intelektual serius. Konon banyak kaum hawa yang gemes dengan Si Laksamana ini, sebuah 'konsekuensi logis' dari sepak terjang intelektual dan gaya kelelakian yang energik.
Ical dan Golkarnya beruntung cepat dan tepat menggaet si Laksamana. Sebaliknya, Si Laksamana pun beruntung bekerja untuk Golkar. Kepiawaiannya di Bidang Intelektual hukum saat jadi macan kampus, birokrasi pemerintahan saat menjadi menteri, Politik saat jadi pemimpin parpol, Lawyer saat jadi konsultan hukum, merupakan kombinasi dahsyat yang merontokkan keputusan Menkumham. Kombinasi ini tentu langka dan mahal yang harus dibayar setimpal oleh Ical dan Golkarnya.
Tapi bagi si Laksamana, membela Ical dan Golkarnya adalah kesempatan untuk mendapatkan momentum penting memperkilaukan eksistensi dirinya di bidang hukum dan politik di mata publik. Inkracht ?