Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Apakah Benar Sebagian Kompasianer Bermental Cengeng?

16 Juli 2021   07:47 Diperbarui: 16 Juli 2021   08:06 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cengeng, orang menangis. Sumber gambar ; merdeka.com

Sudah lama saya ingin menulis tentang hal ini, sebuah artikel yang sangat sensitif, namun selalu tertunda atau lebih tepatnya sengaja menunda karena pertimbangan politis di Kompasiana.

Saya memperkirakan saya adalah Kompasianer Cengeng. Sadar akan kecengengan itu membuat saya harus ekstra hati-hati menulis soal fenomena Kompasianer Cengeng. Bakal banyak Kompasianer yang kebakaran jenggot (untuk laki-laki), dan kebakaran bulu mata lentik (untuk perempuan).

Saya ingin hidup seribu tahun lagi. Apalagi saya ini bakal calon admin tahun 2222, jadi harus bisa membangun citra pribadi yang positif dengan menjaga imej, berbahasa santun, menyenangkan banyak orang, dan tidak membuat kegaduhan--sekecil apa pun itu di Kompasiana. Saya ingat pepatah bijak di Kompasiana ; "Lima ratus lima puluh kawan Kompasianer itu kurang, tapi lima musuh Kompasianer itu kebanyakan."

Amit-amit jambang bayi, jangan sampai setelah menulis artikel sensitif ini kemudian kecengengan saya menurun drastis, atau mengalami degradasi cengeng yang dramatis. Itu berarti saya gagal mempertahankan kecengengan, atau tidak konsisten sebagai Kompasianer cengeng.

Hal paling sulit dihadapi bila menulis artikel yang sensitif ini bukan pada materi yang ingin dituliskan, melainkan reaksi frontal dari para Kompasianer. Mereka bukan hanya protes, tetapi bisa lebih dari itu, misalnya; marah dan memusuhi saya karena merasa dilecehkan, tersinggung harga dirinya direndahkan. Kalau sampai saya dimusuhi, rugi lah bandar! 

suasan sedih, sumber gambar : womantalk.com
suasan sedih, sumber gambar : womantalk.com

Keberanian menulis artikel sensitif ini kembali muncul setelah even EURO 2020 berakhir. Apalagi setelah Italia 'Gli Azzuri' jadi juara, tugas saya bikin artikel bola pun selesai. Setelah terima honour K. Rewards maka boleh tidak menulis lagi.

Rencananya saya mau pulang kampung saja, mumpung PPKM ketat, jadi ada alasan "Harus patuh aturan. Diam di rumah saja. Tidak boleh berkeliaran."

Kalau saya tetap menulis artikel Kompasiana, itu berarti saya berkeliaran, kesana kemari cari referensi di tipi, koran, mbah google, baca ini-itu,  bertemu teman-teman Kompasianer di lapak komentar. Semua itu melanggar aturan. "Disuruh diam di rumah kok berkeliaran". Dasar nackal...nackalll...!

Berkeliaran akan sangat riskan terpapar Covid19 untuk ketiga kali. Kebetulan saya pernah dua kali terpapar Covid 19. Pertama kali bulan November 2020--saat itu saya belum menerima suntik vaksin. Kali kedua bulan Juni lalu---setelah saya menerima suntik vaksin lengkap sejak awal bulan April. Beruntunglah semua itu  bisa dilewati dengan selamat.

supporter bola menangis, sumber gambar ; okezone.com
supporter bola menangis, sumber gambar ; okezone.com

Soal cengeng, saya ingat masa Orde Baru pernah ada larangan yang dikeluarkan pemerintah dalam hal ini Menteri Penerangan Harmoko ; televisi, radio, penggiat musik dan masyarakat penikmat musik dilarang memutar dan menyanyikan lagu cengeng. Alasannya ; Lagu cengeng itu tidak mendidik, tidak edukatif, berpotensi bikin patah semangat,  dan bisa merusak mental masyarakat yang seharusnya optimis dalam masa pembangunan. 

Larangan itu muncul pada era 80an yang marak lagu-lagu cinta dimana pihak perempuan terzolimi, merengek-rengek, dan seterusnya.

Lagu yang ngetop pada masa itu, seperti ;  'Patah Hati' (Rahmad Kartolo); Hati yang Luka (Betharia Sonata)."...Lihatlah tanda merah di pipi, bekas gambar tanganmu....pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku.." Itu sepenggal liriknya. Lalu ada lagi lagu-lagu Obbie Mesakh seperti "Antara Benci dan Rindu" ; "Kau dan aku Satu". 

Pelarangan itu sangat mengherankan. Padahal 'cengeng' itu hak asasi manusia paling esensial dan kritikal. Sebagai manusia, apalagi lelaki pemalu seperti saya, 'cengeng' merupakan hak pribadi. Tidak merugikan orang lain. Cengeng merupakan hal privat, sebagai sebuah relasi pribadi logika atau realitas seorang manusia dengan perasaannya. 

Beruntunglah pada zaman sekarang, dalam era rezim Admin Kompasiana ini, cengeng tidak dilarang. Kompasiner diberikan kebebasan yang luas untuk jadi cengeng di Kompasiana. Admin Kompasiana menjamin penuh keamanan terselenggaranya Kecengengan para Kompasianer. Untuk hal ini, apresiasi yang tinggi diberikan kepada para Admin Kompasiana. Semoga iklim cengeng bisa tumbuh secara kondusif di Kompasiana.

Apa yang dimaksud dengan 'Kompasianer Cengeng'?  Apa ciri-ciri cengengnya? Siapa saja orangnya? Ini sangat menarik untuk dikupas tuntas. Nanti akan saya jelaskan secara gamblang. Tapi untuk saat ini saya tunda dulu penulisannya karena saya mau sarapan, plus ngopi pagi sembari menikmati kicauan burung orang di taman belakang rumah. Habis itu saya mandi, pakai baju, bersisir dan tak lupa semprot minyak wangi di baju dan ketiak pakai rexona roll on.

Selamat pagi, selamat ngopi. Tetaplah patuhi Prokes. Salam sehat...

---- 

Peb16072021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun