Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Isu Mahar Politik, Tambang Emas Ketum dan Penyandera Suara Rakyat

17 Januari 2018   12:28 Diperbarui: 17 Januari 2018   19:15 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : http://www.teropongsenayan.com/foto_berita/201603/14/medium_69mahar-politik.jpg

Seringkali, para calon kepala daerah atau kepala daerah terpilih mengaku hanya diminta menyamakan misi dan visi partai pengusung serta pakta integritas untuk menjalankan pemerintahan bila terpilih. Kalau sudah begini apa yang bisa dibuat rakyat selaku pemilik suara? Akhirnya publik hanya menduga-duga secara tendesius. Mereka pakai logika awam lewat pengamatan aneka menu pesta demokrasi dan segala tingkah laku unik elit politik, baik saat kampanye maupun saat sudah menjabat. Bahkan bisa juga dilihat dari para kandidat kalah pilkada. Logika awam tersebut bersifat terbatas dan dangkal secara secara hukum, tak mampu membuktikan secara nyata. 

Isu "mahar politik" akhirnya jadi iklan gratis kaum elit politik, baik yang terkena isu, maupun lawan politik dari pihak yang terkena isu. Sementara rakyat justru tersandera oleh isu "Mahar Politik" tersebut. Kenapa tersandera? 

Ketika isu "mahar politik" muncul pada salah satu calon kepala daerah atau partai politik jelang pilkada, rakyat dibuat muak dan kesal. Rasa keadilan dan kejujuran berdemokrasi dilecehkan. Integritas para calon kepala daerah bakal mereka pilih jadi pemimpin perlu dipertanyakan. 

Namun demikian, rakyat diposisikan mau tidak mau--suka tidak suka--harus memilih ketika hari H pencoblosan. Hampir tidak mungkin seluruh rakyat mangkir di kotak suara karena kesal dan muak tadi. Kalau rakyat tak memilih, tak akan menghasilkan pemimpin daerah mereka. Kalau tidak memilih, bagaimana kelanjutan pembangunan bisa terlaksana? Begitulah rakyat tersandera. Rakyat dibuat tak berdaya.Isu "mahar politik" yang tadinya marak bagai tak berpengaruh terhadap proses pemilihan. 

Peran Serius Negara dan Perangkat Cepat  

Saat ini memang sudah ada Satgas Antipolitik Uang yang baru dibentuk Kapolri untuk Pilkada 2018. Ha ini perlu diapresiasi. Karena relatrif baru, satgas ini belum bisa membuktikan hasil kerjanya pada pilkada di seantero nusantara. Namun demikian, kita perlu memberi kesempatan kerja dan berharap banyak pada satgas ini.

Dalam "sejarah isu mahar politik" hingga sekarang belum ada tindakan hukum yang jelas dan cepat. Terkait isu "mahar politik" dan sejenisnya, negara perlu membuat aturan yang mampu bekerja cepat berpacu dengan waktu kontestasi pilkada. Diperlukan suatu perangkat hukum yang bisa cepat membuktikan "mahar politik" itu menyalahi undang-undang. Bukan semata membiarkannya sebagai "hanya masalah internal si oknum calon kepala daerah dan oknum elit partai tertentu saja", kemudian membiarkan rakyat pemilih untuk menilainya sendiri citra partai pengusung dan calon kepala daerah hingga pilkada berakhir. 

Membuat aturan dan perangkat hukum paket cepat ini memang tidak mudah karena proses pilkada relatif singkat dibandingkan lamanya proses pembuktian hukum "mahar politik". Hukum butuh bukti dan saksi valid berikut proses penyidikan dan sampai keputusan pengadilannya. Perangkat hukum cepat ini juga harus berani mempidanakan ketua umum partai yang dikonotasikan orang super kuat namun terbukti bersalah. Hal tersebut merupakan salah satu tantangan, namun bukan  halangan untuk menciptakan sistem pilkada baik.

Para pakar politik hukum dan hukum politik yang berintergitas serta mantan "pemain politik bermahar" yang sudah bertobat perlu dilibatkan untuk merumuskan aturannya. Dengan demikian, tidak ada lagi oknum calon kepala daerah dan elit partai tertentu yang coba-coba main "mahar politik". Kalaupun ada, segera diberi pinalti ditingkat awal proses pilkada. Jangan ada lagi isu mahar politik  itu diserahkan pada cara pandang publik pemilih melihat citra negatif/positif sang kontestan pilkada. 

Semoga saja kedepannya, isu "mahar politik" bisa ditindaklanjuti secara lebih kongkret oleh negara lewat aturan-hukum yang dirumuskan secara rinci dan ketat. Dengan begitu saat pesta demokrasi, sang ketua umum partai yang tak doyan mahar politik (berintegritas) bisa cantik dan gagah penuh pesona menggolkan calonnya jadi kepala daerah. Lebih dari itu rakyat pemilih tak lagi jadi sandera isu demokrasi tak beretika.

 -----

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun