Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Bekap "GueSehat" di "Smartphone" Anda tapi Beritakanlah

10 November 2017   23:14 Diperbarui: 10 November 2017   23:47 1290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : kompasiana.com

Sekarang hampir tak ada orang yang tidak memiliki handphone (HP) sebagai alat informasi. Tahun 2016 sebanyak 132,7 juta orang Indonesia telah terhubung ke internet. Adapun total penduduk Indonesia sendiri sebanyak 256,2 juta orang. Penyebabnya adalah perkembangan infrastruktur dan mudahnya mendapatkan smartphone atau perangkat genggam, (sumber tekno.compas.com).

Menurut perusahaan riset pasar comScrore per-Januari 2017 terdapat 63,6 juta audiens internet atau kerap disebut "netizen" di Tanah Air. Mayoritas sudah mengakses internet via perangkat mobile seperti smartphone dan tablet, yakni sebanyak 51,7 juta orang. Dari 51,7 juta pengguna internet mobile, sekitar 46 juta merupakan pengguna aplikasi mobile dan 40 juta adalah pengguna situs mobile. Angka itu menunjukkan bahwa pengguna aplikasi mobile lebih banyak namun mayoritas dari mereka juga mengakses situs mobile, (sumber jogja.tribunenews.com).

Fakir Sinyal di Daerah Pedalaman

Daerah pedalaman yang secara geografis sering dikatakan "jauh dari peradaban dan fakir sinyal"---hampir tak tersentuh ada sinyal sekalipun masyarakatnya berusaha memiliki handphone. Adanya handphone itu mereka bisa berinteraksi dengan kerabatnya yang berada jauh dari kampungnya, atau yang berada di kota. Hal yang mendasar bagi mereka adalah terjalinnya tali silaturahmi sekaligus mendapatkan informasi.

Soal sulit sinyal atau daerah "fakir sinyal" tidak menyurutkan mereka berkomunikasi via handphone. Selalu ada semacam keajaiban sinyal atau  'survival mechanism' sehingga mereka bisa "didatangi sinyal". Dalam satu wilayah kampung "fakir sinyal" biasanya ada tempat tertentu yang ada sinyalnya. Entah darimana sumber  sinyal itu datang masyarkat tak mau tahu. Awalnya pun mereka mendapatkan sinyal secara tidak sengaja yang kemudian menjadi informasi bersama.

Tahun 2012 lalu saya berada di sebuah kampung Dayak (Rumah Panjang/Rumah Betang) di pedalaman Kalimatan Barat untuk suatu kegiatan penelitian etnografis. Kala itu, di kampung tersebut belum ada jaringan listrik (PLN). Masyarakat masih memakai pelita dan genset bersama yang hanya dihidupkan dari jam 19.00 sampai 21.00 dengan maksud untuk anak sekolah belajar dan nonton tivi (milik bersama). 

Setelah jam 21.00 genset dimatikan, mereka kembali pakai pelita. Kampung menjadi gelap. Setelah pukul 21 sebagian masyarakatnya masyarakat tidur karena lelah seharian bekerja menoreh karet dan berladang sementara sekitar pukul 5 dini hari harus bangun untuk mulai menoreh karet. 

Namun begitu, masyarakatnya rata-rata punya handphone walau dusun tersebut "fakir sinyal". Sinyal handphone "antara datang dan pergi", itupun hanya satu balok ditempat-tempat tertentu di rumah panjang. Kalau mau sms atau telpon harus ke sudut tertentu di rumah panjang, dan sering terputus-putus. Beberapa tempat yang lumayan sinyalnya adalah di balai desa berjarak 2 km dari rumah panjang, sekitar kuburan, dan di atas bukit hutan belantara. Bagi saya waktu itu sungguh penderitaan. Kalau kampung gelap saya masih bisa menikmati, tapi tidak adanya sinyal sungguh bikin 'mati gaya' terutama pada malam hari dimana kampung sudah sunyi sementara saya biasanya baru bisa tidur atas pukul 23.00.

Masalah kesehatan merupakan salah satu persoalan penting di kampung tersebut, misalnya kurangnya pemahaman hidup sehat dan penyakit, pelayanan dan sarana kesehatan yang terbatas dan lain sebagainya. Dengan mobil jeep operasional, saya beberapa kali mengantar warga berobat ke puskesmas kecamatan berjarak 20km atau ke rumah sakit di kota kabupaten yang jaraknya sekitar 60 km dari kampung. Pada kesempatan itu juga saya gunakan 'mendapatkan' sinyal kuat internet terkait data dan pelaporan penelitian saya.

Di warung terdekat di kampung seringkali saya dapatkan produk makanan/minuman murah yang diragukan kelayakannya karena tidak memiliki ijin/keterangan/standar Depkes atau BPOM. Makanan dan minuman tersebut mungkin dibuat produsen daerah (lokal) dan sengaja dijual di kampung untuk menghindar BPOM atau Depkes. Dalam jangka waktu tertentu, mengkonsumsi makanan dan minuman itu tentunya berbahaya bagi kesehatan masyarakat di kampung.

Masyarakat di kampung pada dasarnya ingin selalu sehat dan haus akan informasi tentang kesehatan dan penyakit. Bila ada tim dari dinas kesehatan kabupaten yang datang untuk melakukan penyuluhan kesehatan dan pengobatan murah selalu ramai dikunjungi warga kampung. Namun sayangnya frekuensi kedatangan tim tersebut tidak tinggi. Selama setahun saya tinggal dengan warga seingat saya baru dua kali tim datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun