Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Pencuri Bayi di Taksi Komplek Menteri

30 Maret 2014   20:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:17 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya naik taksi berlogo yang terkenal dalam perjalan dari kawasan Slipi ke komplek perumahan menteri di kawasan Kuningan, Jakarta. Ini kali kedua saya ke alamat tersebut dalam jeda waktu sekitar2 bulan. Kebetulan saya ada sedikit urusan dengan tetangga menteri. Tujuan saya ke sana tidak ada urusan dengan politik atau pun pemilu. Saya sadar diri lebih cocok jadi kompasianer daripada menteri. Tak seperti Pakde Kartono atau Bude Ellen Maringka yang memang lebih cocok.

Sudah menjadi tabiat saya kalau naik taksi hampir pasti ngajak ngobrol si supir. Berdasarkan pengalaman tabiat tersebut, saya selalu mendapatkan gosip-gosip sedap dari para sopir taksi tentang banyak hal : dunia orang-orang politik, dunia selebritis, masalah sosial dan banyak lagi. Bagi saya ini sangat mengasikkan karena bisa mendengar pengalaman dan pemikiran mereka yang seringkali tidak saya dapatkan dari berita media atau kolega. Seringkali pula cerita mereka itu memang sebuah pengalaman langsung. Jelas punya sensasi tersendiri bagi saya.

Dari logatnya si Sopir ini berasal dari luar Jawa. Dia sangat terbuka dan ceplas ceplos. Usianya sekitar 60 tahun (saya lihat identitas sopir yang tertempel pada dashboard di depan saya).Dia mengaku sudah 35 tahun berada di Jakarta.Kami terlibat pembicaraan hangat tentang beberapa hal. Sampailah pada berita penculikan bayi di Bandung yang sedang hangat dibicarakan.

Saya ;

“Kasihan ya, pak...orang tua si bayi itu, baru lahir anaknya dicuri orang langsung dari tangan si orang tua bayi itu sendiri. Untung pencurinya sudah ditemukan dan si bayi baik-baik saja.”

Sambil tetap konsentrasi ke arah jalan, si Sopir diam sejenak tampak seperti berpikir. Kemudian dengan logat khasnya dia bersuara:

“Saya justru kasihan dengan si perempuan pencuri bayi itu, mas...tahu nggak, seorang perempuan sampai harus mencuri bayi itu pasti ada sesuatu yang luar biasa menimpa dirinya. Apalagi diberita itu, nampaknya dia bukan seorang anggota sindikat pencuri bayi, yang artinya bukan untuk dijual”

Saya agak kaget juga dengan pernyataan supir tersebut. Wah, ini menarik nih...

“Kok, kasihan dengan si perempuan itu pak?”

“Mas, hidup itu kadang sulit diterka...dan kita hidup dalam tekanan, termasuk dari keluarga besar yang kadangkala tidak mau tahu situasi yang ada dalam diri kita, kemampuan dan batasan”.

“Maksud bapak bagaimana?”.

“Begini mas...sudah jelas si perempuan itu tidak mencuri bayi bukan untuk dijual, tapi untuk dimiliki. Nah, itulah masalahnya....bisa jadi, setelah kawin beberapa lama belum juga punya anak.Okelah dia mungkin masih sabar menunggu karena belum waktunya diberianak.Kan bisa saja si Perempuan atau suamilah yang tidak subur. Maklum, mas..sekarang orang sibuk kerja, waktu untuk membuat anak sih ada, tapi kualitasnya yang tidak cukup untuk menjadikan anak. Entah karena capeklah, beban pikiran hiduplah, badan tidak fitlah.....waah banyak lagi lah.....”

Saya terdiam sejenak, tak ingin menyela bicaranya. Kemudian dia melanjutkan :

Nah......iya kalau keluarga besarnya bisa nerima. Kalau tidak? Misalnya mertua nya selalu nyinggung minta cucu bagaimana? Kalau dari orang tua si perempuan itu sendiri yang ngomong mungkin dia bisa sedikit bantah lah....kan orang tua sendiri....tapi kalau mertua? Mana bisa bantah mertua, mas.....belum lagi kalau perempuan itu takut kalau nanti suaminya menceraikan karena tak punya anak....waah, makin beratlah...

Terus pak?

Ya..lama-lama kan pusing juga itu perempuan, mas...jadi tekanan batin, apalagi dia sendiri emang ingin sekali punya anak. Bisa saja kalau mau punya anak bisa angkat anak dari mana pun, tapi ini kan lain masalahnya..karena harus berurusan panjang, apalagi kalau mau bayi tabung. Urusannya makin panjang dan biaya yang tidak sedikit.....belum tentu tiap orang mampu, mas.....

“Ada benarnya juga, ya pak..terus bagaimana lagi pak?”

Nah, kalau udah tertekan kayak gitu, syukur-syukur tidak jadi gila, mas.....atau makin stress malah makin susah hamil, kan? Perempuan itu ya, mas.....kalau sudah tertekan dan kalap pasti susah mikir yang baik-baik, maklum bayak pakai perasaan......salah satu jalan.....ya..mencuri bayi lah...

Saya terdiam dan berpikir, kemudian terbayangsepasang anak saya yang lucu-lucu dan sehat yang selalu jadi hiburan tersendiri saat saya ikut bermain dengan mereka. Bersama mereka saya bisa menjadi anak-anak kembali. Tiba-tiba si sopir itu bicara lagi :

“Perempuan pencuri bayi itu pun sebenarnya bodoh juga, mas....”

Kok bodoh, pak?

Coba mas pikir, mencuri itu kan dosa...ya sekalian aja buat dosa..maksud saya kenapa dia tidak selingkuh saja dengan lelaki lain.....pilih lah laki-laki yang ganteng dan bersih biar anaknya juga cantik.......dicoba aja dulu dengan 2 atau tiga lelaki....mana tau ada yang jadi....daripada mencuri kan bukan darah daging sendiri?

Saya tertawa mendengarnya...”Terus, pak?”

Lah iya lah mas... itu kan gampang, apalagi sekarang......mana ada sih laki-laki yang nolak gituan dengan perempuan, mbayar aja mau.....apalagi ini gratis.....yang penting sama-sama enak...soal ketahuan mana suami tahu, apalagi keluarga besarnya....taunya bisa hamil dan dapat anak aja...

Dengan nada canda saya katakan :”Wah, pak kalau gratis saya juga mau....”. Kami pun tertawa, suasana ngobrol pun makin terasa akrab. ”Terus maksuddari soal Sekalian Dosa tadi itu apa, pak?”. Wajah si supir kembali seperti serius, kemudian dia berkata :

Begini mas, coba hitung-hitungan...kalau mencuri bayi itu kemungkinan besar ketahuan, karena tak pakai hamil segala, tetangga atau keluarga bisa tahu.....belum lagi setelah ketahuan yang malu keluarga besar juga.....paling parah kan diberitakan koran dan tivi, eh....udah gitu masuk penjara lagi....”

Saya kaget sekali dengan pernyataan si Sopir, tapi saya tenangkan diri dan pancing terus pembicaraan ini :“Terus pak...”

“ Nah, kalau mau punya anak pakai cara selingkuh....main dengan laki-laki kan sulit diketahui, ya.....paling pakai tes DNA....tapi itu kan jarang....yang penting mas...tidak ada berurusan dengan berita koran, tivi dan urusan kepolisian. Paling urusannya dalam keluarga saja mas....Coba dipikirkan, mas....sama-sama perbuatan dosa, tapi kan mencuri lebih panjang dan banyak urusannya kalau ketahuan.Iya, kan”

Saya tergagap karena tidak menyangka dengan cara berpikir si Sopir ini. Menurut saya cerdas juga....heu...heu....heu....Uupps! Lebih lanjut dia menambahkan :

Satu lagi, mas....kalau mencuri itu tidak pakai hati, nah....kalau main lelaki lain bayi yang jadi itukan anak sendiri dari rahimnya....tentu ada ikatan batin, jadi hasilnya itu adalahdarah daging sendiri, mas.....iya, kan?

Saya makin tergagap menjawabnya dan kemudian tertegun sejenak, entah mau berpikir apa, saya tak bisa menuliskannya.Tersadar saya bahwa kami sudah masuk komplek perumahan menteri, tapi sepertinya aneh, ternyata kami agak salah jalan. Seingat saya harusnya tidak masuk jalan ini, tapi masuk jalan yang satunya lagi.

“Pak, kayaknya kita salah masuk jalan, nih. Harusnya lewat jalan yang tadi terlewat. Kalau lewat ini saya tidak hapal rumah yang dituju” .

“Oh, iya, mas...kebablasan...wah..mesti muter dikit...kita muter balik dikit aja, mas..tenang aja.”

“Pak, untuk cepatnya ke alamat itu, mendingan tanya ke kios rokok itu aja, biar tak banyak mutar, soalnya banyak jalan tembus yang portalnya ditutup, nih”.

Mobil pun berhenti di sebuah warung kaki lima, si Sopir turun dan menuju warung tersebut. Saat berhenti dan menunggu, saya lebih leluasa melihat sekeliling, banyak rumah mewah yangdijaga satpam. Suasana rumah-rumah itu dari luar nampak dingin dan sepi walau ada bebarapa mobil mewah yang terparkir di halamannya. Mungkin si menteri dan penghuninya sibuk tidur.

Tiba-tiba karena ini komplek menteri, sayajadi teringat pernyataan menteri kesehatan soal pencurian bayi itu.(baca ini)

Saya berpikir, kira-kira ada kesamaan, ndak ya....cara berpikir Menkes dengan cara si Sopir taksi saya ini ?

Pikiran bengal saya pun muncul diam-diam :” Ya, ada !”, yakni berpikir tanpa menyertakan hati. Tapi kemudian saya bantah lagi pikiran saya itu. “Tentu saja pikiran (logika) dengan hati (perasaan) itu beda jauh”.

Dasar saya yang memang bengal tak bisa membedakan keduanya. Buktinya, saya mengalami Gagal Pikir sehingga nyasar saat mencari alamat yang dituju karena keasikan ngobrol bersama si sopir ‘cerdas’ tadi.

Mencari alamat itu menggunakan pikiran, bukan pakai hati. Tau?! Kalau tak percaya, coba anda tanya sama Ayu Ting-Ting.

Pebriano Bagindo

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun