Mohon tunggu...
syafei aminulah mastiha
syafei aminulah mastiha Mohon Tunggu... pegawai negeri -

PNS, tinggal di Tanjungpandan, Kabupaten Belitung.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Selingkuh Akidah (9)

12 September 2011   01:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:02 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

TERNYATA berserah diri membawa berkah yang luar biasa. Belum setahun Usman mendiang, Fitri menawarkan calon diluar dugaan. “Tanya Papa Elak kalau ndak percaya. Dia juga kaget,” tutur adiknya itu antusias.

Mereka saja kaget apalagi dia sendiri. Kisah pagar makan tanaman bukan kisah luar biasa, tapi lihat dulu pagar dan tanamannya. Pagarnya perwira polisi lulusan Akpol, perjaka tulen dan simpatik dan juga hafiz Quran 30 juz, sementara tanamannya janda biasa beranak dua, apa tidak salah?

“Rasanya enggak,” jawab Ali Redo yakin. “Sudah empat tahun saya merenung, pendamping seperti apa yang saya butuhkan. Jawabannya jelas, kayak perempuan idaman Edison. Karena yang asli udah ada di depan mata, ngapain kan saya cari duplikatnya?”

“Jangan pakai perasaan, Oom. Pakai pikiran,” sahut Nurjana menahan diri. “Enggak perlu tergesa-gesa, kok. Waktu masih panjang. Percaya apa enggak, Oom punya waktu dua tahun untuk berpikir.”

Dua tahun, bukan sebentar-sebentar. Dan lelaki muda itu menjalaninya, dengan sabar sesabarnya. Juga ketika Nurjana diincar pengusaha kenalan Wahyudi. Juga ketika perempuan itu dilamar pejabat eselon II kenalan Usman yang baru ditinggal mati istrinya. Juga, ketika haji kaya kenalan ayahnya bermaksud menjadikan dia istri kedua atas restu istrinya. Bahkan ketika lelaki muda itu dilantik menjadi Kapolsek di lain kecamatan, saat seharusnya dia sudah punya pendamping. Sampai malam itu, ketika jatuh tempo, Ali datang dengan langkah pasti.

“Percaya apa enggak, pikiran saya enggak berubah,” katanya yakin. “Pilihan saya udah final, enggak ada yang lain selain kamu. Sekarang tinggal kamunya. Ya apa enggak.”

Itulah yang membebani pikiran Nurjana hari-hari itu. Tadinya dia berharap, waktu akan mendorong Ali berpaling. Dia dan Edo tetap kakak-adik dan mereka terhindar dari kemungknan fitnah: sebelum Usman meninggal mereka sudah selingkuh.

Nyatanya waktu tak mampu mengubah hati lelaki muda itu. Langkahnya tidak saja semakin pasti, tapi juga semakin mantap. Lalu, haruskah dia ditolak hanya untuk menghindari fitnah?

Tujuh malam sholat istikhoroh, akhirnya Nurjana melayangkan surat. “Dua tahun aku menahan diri untuk menghindari fitnah. Sekarang aku siap menghadapinya,” tulisnya.

Berakhirlah hubungan kakak-adik itu. Sabtu malam lima pekan berselang mereka bertemu dan Nurjana tak lagi memosisikan diri sebagai kakak. Tampil lebih cantik dari biasanya dengan kecenderungan lebih banyak menahan diri, dia memerankan dirinya sendiri: janda cerai mati yang siap menerima kehadiran lelaki pengganti.

Edo, sebenarnya, menginginkan mereka segera menikah. Mereka toh tidak ada lagi masalah. Nurjana sudah oke. Ayahnya sudah setuju. Keluarga Usmanno problem. Keluarga dia sendiri kenapa tidak? Lalu, apa lagi yang ditunggu?

Lagi pula Ali sadar betul kalau mereka sama-sama rawan. Dia cowok puritan, Nurjana sudah lama kesepian. Nurjana sendiri qoriah, dia hafiz Quran. Sesungguhnya, figur seperti merekalah yang jadi incaran setan. Berlama-lama pacaran, bukan mustahil Nurjana hamil duluan. Tak bisa dibayangkan betapa murkanya Tuhan melihat qoriah dan hafiz punya anak haram.

Repotnya, Nurjana sudah punya anak duluan. Betul si Oom bukan orang asing lagi buat mereka. Benar mereka menyayangi si Oom sebagaimana si Oom menyayangi mereka. Tapi ketika status si Oom berubah menjadi suami Mama mereka, bukan mustahil mereka merasa si Oom merampas hak mereka dan Papa mereka. Respon mereka berubah negatif, runyamlah jadinya. Itu kemungkinan pertama yang dikhawatirkan Nurjana.

Kemungkinan kedua, bukan mustahil mereka merasa ditinggalkan. Papa sudah tiada, kini Mama menikah. Mereka tak punya siapa-siapa lagi untuk berbagai duka, menghadapi roda nasib mereka yang nestapa. Bahkan Mama, milik mereka satu-satunya, kini meninggalkan mereka. Tidak malangkah nasib mereka?

Problem yang dihadapi Nurjana dan Ali bagaimana meyakinkan mereka Oom tidak merampas Mama tidak meninggalkan mereka. Oom hanya meminta, Mama hanya memberi. Oom harus diberi, karena sudah dan terus akan memberi. Dengan tulus, sebagaimana mendiang Papa mereka.

Tentu saja itu butuh waktu. Tak bisa rampung satu dua hari. Arah perubahan status harus dikondisikan setahap demi setahap, tak bisa sekali jadi. Mereka anak-anak, bukan ABG atau mahasiswa.

Itulah sebabnya Nurjana minta waktu pasca Idul Adha. Tidak terlalu cepat, juga tidak terlalu lama. Diperkirakan, sebelum hari H anak-anaknya sudah bisa menerima perubahan status si Oom.

Apa boleh buat. Cinta dan niat baik membutuhkan kesabaran ekstra. Setelah menunggu tanpa kepastian tidak kurang dua tahun, lagi-lagi Ali Redo harus bersabar. Kali ini, disertai tantangan itu: godaan setan!

Berat. Bertahun-tahun mendekam di pondok pesantren, Ali tak sempat menikmati masa remajanya. Dari hari ke hari yang dia pikirkan bagaimana belajar dengan sungguh-sungguh agar tidak mengecewakan paman dan orang tuanya. Bukan melirik atau meladeni lirikan santri putri, apalagi pacaran melulu seperti remaja di layar kaca.

Demikian pula ketika dia menjadi taruna. Peluang bukan tak ada, tapi dia tak ingin konsentrasinya terbagi. Dia ingin konsentrasi penuh pada studinya, agar lulus sebagai taruna berprestasi. Minimal tidak di-DO. Itulah wujud rasa syukur terhadap “mukjizat” yang Tuhan beri.

Lalu, setelah menyandang pangkat perwira dan ditempatkan di Polresta, yang menjadi obsesinya bagaimana melaksanakan tugas dengan istiqomah. Dia sadar betul institusinya penuh godaan. Koruptor, bandar judi, bandar narkoba, dan penjahat kerah putih lainnya, setiap hari keluar masuk kantor polisi untuk melepaskan diri dari jeratan hukum. Untuk itu, mereka tidak segan-segan menyuap aparat dengan duit miliaran. Kalau istri di rumah pikirannya duit, duit, duit, suami mana yang tidak terdorong kolusi dengan penjahat? Apalagi bila dibanding-bandingkan dengan tetangga, ipar, teman seangkatan, bahkan bawahan. Biar kata hafal Quran niscaya duit dulu.

Itulah sebabnya dia tidak terlalu hirau dengan cewek yang berseliweran di jalan. Dia tahu betul isi kepala mereka. Yang mereka pikirkan bagaimana punya suami bertaring, biar cepat beli rumah, mobil, shopping setiap saat. Yang namanya syukur dan istiqomah tak masuk hitungan mereka.

Tak usah heran bila Ali tergolong cowok fakir asmara. Bahkan ketika dia melirik Nurjana, sekali pun dia belum pernah pacaran. Apalagi peluk cium sampai titip anak segala.

Bisa dipahami bila lelaki muda itu ambigu seperti air bendungan: sepintas kelihatan tenang, tapi sebenarnya bergolak. Sewaktu-waktu dia bisa menjebol tanggul, lalu menumpahkan banjir bandang. Jangankan tanggul rawan seperti Nurjana, tanggul perawan pun bisa luluhlantak dia terjang.

Dan Nurjana. Satu malam menjelang jatuh tempo, dia terbangun dari tidurnya dengan perasaan kecewa. Kenapa semua itu hanyalah mimpi? Baiklah itu mimpi, kenapa demikian cepat berlalu? Bukankah di dalam mimpi bukanlah dosa?

“Nurjana sayang, bukalah pintu,” suara itu memanggilnya. Tegak di ambangjendela, dia terpacak dalam pesona: Ali siap membawanya terbang ke angkasa mengendarai bulan sabit berkilau cahaya.

“Ayo, sayang, tunggu apa lagi? Malam ini langit dan bumi milik kita berdua,” ujar lelaki muda itu sembari mengulurkan tangannya. Mulanya Nurjana ragu. Tapi kemudian tangan Edo dia sambut.

Laksana pesawat terbang meninggalkan landasan, bulat sabit melesat membawa mereka terbang ke angkasa. Duduk di pangkuan Ali, Nurjana cemas mereka hendak kemana. “Jangan cemas, sayang. Kita tamasya ke pulau awan,” ujar lelaki muda itu yakin.

Lalu Nurjana dia cium. Tak cuma kening, tapi juga pelupuk matanya yang ranum. Juga ujung hidungnya yang mancung. Dan kemudian, pelahan-lahan dan lembut sekali, bibir lelaki muda itu mengusap bibirnya. Berulangkali, demikian meresap, hingga perempuan itu terpejam dan tak ingat apa-apa lagi.

Begitu dia sadar, mereka sudah berlabuh di gumpalan awan putih serupa timbunan kapas. Dan dia terperangah: ternyata dia dan Ali tak lagi berbusana. Dan belum sempat dia bertanya bagaimana itu bisa, lelaki muda itu sudah membaringkannya di dataran mahalembut itu.

Tak jelas benar bagaimana rangkaian peristiwanya. Tapi terang dalam ingatannya bagaimana tubuh indah itu menggeletar menyatu dengan dirinya laksana kuda bersayap hinggap di hamparan lembah. Lalu meliuk mendesak, mengguncang telaga dan gunung. Dia pun bergolak. Merenggut tak ingin melepas, menuntun pinggang langsing itu jangan sampai tersesat. Sambil resah menerjang, mendorong lembah ke puncak. Dataran mahalembut itu pun jebol. Mereka terhempas ke bumi, sambil mendesis menahan nyawa serasa lepas. Detik-detik sesudah itu adalah rintihan indah, mengiringi luapan misteri melintasi alur sungai birahi ….

Mimpi itu setidaknya membenarkan dua hal. Pertama, sesungguhnya dia kasmaran berat kepada lelaki muda itu. Kedua, hampir tiga tahun hidup menjanda, betapa memuncak desakan seksnya.

Dengan latar belakang itu, bisa dipahami bila Sabtu malam tiga pekan berselang, ketika situasi di tempat kejadian memang memungkinkan, mereka nyaris tak bisa bertahan.

Habis magrib ayah Nurjana bertandang ke rumah putra bungsunya Faisal. Belum lama Edo berlabuh, Fitri dan Wahyudi datang bersama kedua anak mereka. Bermaksud membantu Nurjana mengkondisikan arah perubahan status si Oom, Taufik dan Efril mereka ajak ke plaza.

Tinggal berduaan di rumah, ciuman pertama mendarat di kening Nurjana. Disertai rangkulan hangat, sesungguhnya itu cukup untuk adegan sineron prime time. Tapi mereka tidak sedang berakting di depan kamera: ketika rangkulan merenggang, ombak laut kasmaran mendorong bibir mereka bertaut. Ini terjadi di ruang usaha di sayap kanan rumah, sesaat setelah mereka, sekadar menandai keteguhan komitmen, saling mengenakan cincin ikatan berukir inisial E dan N.

Rupanya, ciuman pertama itu membangunkan harimau tidur. Nurjana tak hanya melayani dan menikmati, tapi juga membalas. Mula-mula ragu-ragu, tapi kemudian PD dan berani. Alhasil, apel itu benar-benar menjadi “acara pelin lidah”. Tak puas berdiri mereka duduk, kurang enak duduk mereka berdiri. Disertai dengus dan desah, dahaga. Sampai Nurjana tak tahan mau pipis lalu kabur ke kamar mandi.

Bermaksud merapikan diri, keluar dari kamar mandi dia masuk ke kamar tidurnya. Baru saja masuk selangkah, jantungnya seperti hendak meloncat: di hadapannya berdiri “suku terasing”.

Gawatnya, “suku terasing” yang satu ini tak cuma maching dan simpatik. Pembinaan fisik yang dia jalani di almamaternya membuat tubuhnya terbentuk demikian seksi: pinggang langsing, badan kenyal, dada segitiga. Dibalut pakaian dinas harian (PDH) press body, tubuh itu sudah mengisyaratkan betapa mendebarkan bila dia tidak berbusana.

Kini tubuh itu hanya dibalut sepotong pakaian dalam putih yang lembut dan elastis. “Tombak pusaka”nya ketat tercetak, berdiri kokoh bak tiang berdera di halaman Mapolsek. Hampir tiga tahun tak pernah lagi melihat bayangan “tombak pusaka”nya pria, Nurjana merasakan dirinya tak bertulang.

Maka dia pun tak berdaya ketika lelaki muda itu menariknya masuk lalu mengupas jilbabnya. Juga, ketika Ali mempreteli blus dan rok semata kaki yang dia kenakan, lalu menghimpitnya ke tempat tidur harum di kamar yang tenteram itu.

Sehingga, Ali pun laksana pers diawal reformasi. Bebas dari kekangan, dengan bergairah dia menguak fakta yang selama ini ditutupi. Menemukan fakta yang dia gali jauh lebih seru dari yang dia duga, dia pun terdorong menggali lebih dalam lagi. Akibatnya, sensor di dada Nurjana sama sekali tak berfungsi. Fakta seru bak jantung pisang tembatu di balik sensor itu kemudian dia obok-obok, bahkan dia pastikan kering atau berisi.

Mendadak punya bayi sebesar itu, karuan saja Nurjana merinding sekujur tubuh. Tapi sudah lama tak menyusui, dia seperti menemukan kenikmatan yang hilang. Kali ini luar biasa nikmat, karena bayinya bukan bayi biasa.

Maka, sambil pasang badan dan menikmati dengan bulu roma berdiri berdesar-desir, dia membiarkan eforia itu. Sampai muncul gejala kebablasan, ketika rok dalam dan sensor terakhir daerah pribadinya hendak dicopoti.

“Jangan! Aku mohon!” dengusnya cemas sambil merentak bangun dan mencengkam lengan Ali. Edo lupa daratan. “Kita buang, sayang,” sungut lelaki muda itu parau.

Tentu saja Nurjana tak mau ambil resiko. Ya kalau sempat. Kalau tidak, gawat. Okelah sempat. Tapi kalau berceceran gimana? Anaknya pasti bertanya kenapa sprei diganti, karena mereka melihat sendiri sprei itu baru dipasang tadi sore. Alasan dicari-cari tidak akan mereka terima, karena mereka bukan anak yang dungu.

Lagi pula dia yakin, benih yang akan dibuang itu justru benih pertama. Selain lebih unggul, citarasa benih pertama luar biasa nikmat. Larinya kencang, volumenya banyak, memancar deras seakan tak habis-habis. Setidaknya, itulah yang dia rasakan dari Usman ketika mereka menikmati malam pertama. Lha masak iya mau dibuang? Sayang kan?

“Sabar, sayang. Belum saatnya,” sungut perempuan itu risau. “Kamu kok jadi begini sih? Ingat dong. Ngucap. Istighfar. Kamu tega anak kamu jadi anak haram?”

Seketika bahu Ali melorot. Lelaki muda itu rebah sambil menghembus nafasnya yang tertahan. Lalu, sambil berpaut di pinggang Nurjana, dia pun nelangsa. “Kepalaku pusing. Tolong dibuang,” sungutnya memelas.

Nurjana terhenyak. Ditolak, selain tak sampai hati, rasanya tak manusiawi. Permintaan itu, pada dasarnya, pengakuan akan batas. Dan itu wajar. Karena, disamping memang bukan, lelaki muda itu tidak bermaksud jadi malaikat. Selama ini dia hanya menahan dan mengendalikan, bukan meniadakan hawa nafsu.

Tapi bila dipenuhi, selain sayang benih terbuang, rasanya mengerikan. Bahkan sampai punya anak dua, dengan Usman dia tak pernah melakukan itu. Dengan mengakui perbedaan keduanya, haruskah Ali dan Usman jangan dipukul rata? Kalau iya, apa kata malaikat melihat tangan qoriah berlumuran sperma hafiz Quran? Lagi pula, tahankah dia melihat saripati perawan itu tumpah di tangan?

Nurjana merebahkan diri lalu memeluk resah sambil mengusir pikiran nakal yang melintas di benaknya. “Jangan, sayang. Jangan dibuang. Untuk malam pertama kita. Kalau betul ini benih pertama kamu,” bujuknya sekaligus membujuk diri sendiri.

Kalimat terakhir Nurjana membuat mata Edo pelahan melebar dan menajam. “Demi Tuhan, ini kewalahan, bukan ketagihan,” sungutnya diliputi keresahan.

“Justru itu, sayang, jangan dibuang. Biar nggak ketagihan,” ujar mantan kakak semang itu sambil melawan gejolaknya sendiri. “Lagian, kamu pikir itu apaan? Darah daging. Saripati diri kamu. Kamu pikir aku rela darah daging kamu dibuang percuma?”

Pernyataan Nurjana yang demikian intim dan terbuka serta sarat sense of belonging, membuat Ali laksana sepuhan tersiram. Walau panasnya tetap terasa, tapi baranya seketika padam.

Setengah jam kemudian, yakni sepuluh menit sebelum Fitri dan Wahyudi pulang bersama keempat malaikat kecil mereka, Nurjana dan Ali sudah parkir di depan tivi. Tergolek di pangkuan perempuan itu, Edo membiarkan Nurjana merapikan kukunya. Sambil menikmati aroma parfumnya yang membuai.

Tengah malam, saat kedua anaknya sudah terlelap, Nurjana turun dari tempat tidur lalu berdiri di hadapan lemari pakaian. Membiarkan dasternya melorot ke lantai, dia mencermati dirinya di cermin.

Luar biasa dahsyat. Tubuh mulus merit semampai yang dibalut dua potong pakaian dalam bewarna kulit itu penuh noda cupangan. Dada. Perut. Paha. Yang selamat cuma lehernya. “Gila,” ujarnya tanpa sadar. (Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun