Mohon tunggu...
Paulus Teguh Kurniawan
Paulus Teguh Kurniawan Mohon Tunggu... Akuntan - Akuntan

Alumni Master of Science in Finance dari University of Edinburgh, Inggris Raya. Fasih bicara bahasa Inggris dan Mandarin. Saat ini bekerja sebagai akuntan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Mempertanyakan Paradigma Pembangunan Ekonomi Arab

25 Januari 2016   10:34 Diperbarui: 25 Januari 2016   10:50 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Arab Saudi merupakan salah satu negara yang ekonominya paling terpukul akibat jatuhnya harga minyak dunia. Harga minyak dunia yang pada 1 dekade belakangan umumnya berada pada harga di atas 80 dollar per barel, saat ini harganya nyaris di bawah 30 dollar per barel, bahkan diperkirakan masih akan terus menurun hingga 20 dollar per barel. Akibat jatuhnya harga minyak dunia, Arab Saudi mengalami defisit neraca keuangan untuk pertama kalinya sejak 2009, bahkan jumlah defisitnya mencapai miliaran dollar. Ini dikarenakan selama ini 80% pendapatan Saudi bersumber dari minyak. Imbas dari defisitnya neraca, pemerintah Saudi terpaksa melakukan pemotongan subsidi BBM, gas, listrik, air, dan bahkan memotong tunjangan PNS.

Hal ini menunjukkan satu kelemahan besar perekonomian Arab Saudi: teramat sangat bergantung pada minyak. Selama puluhan tahun, Saudi menggantungkan perekonomiannya pada minyak. Hal ini semakin diperburuk oleh paradigma pembangunan Arab Saudi yang sifatnya konsumtif, bukan produktif.

Selama ini, pemasukan negara yang sangat besar melalui minyak tersebut, oleh pemerintah Saudi terus-menerus digunakan untuk memberikan subsidi dan tunjangan yang sangat besar kepada rakyatnya, antara lain berupa subsidi BBM, listrik, gas dll. Tahun demi tahun, devisa negara disedot habis untuk subsidi dan tunjangan. Ini adalah kesalahan fatal.

Paradigma pembangunan seharusnya bersifat produktif, bukan konsumtif. Pemasukan Arab dari minyak tersebut seharusnya dialokasikan untuk membangun infrastruktur dan memajukan perekonomian, bukan malah dihabiskan untuk subsidi terus-menerus. Pemerintah Arab seharusnya memajukan infrastruktur dengan cara membangun jalan raya, transportasi massal seperti MRT atau kereta cepat, kawasan ekonomi, pembangkit listrik, bendungan, lahan pertanian dan sebagainya. Dengan demikianlah perekonomian rakyat bisa bertumbuh melalui perkembangan industri-industri, munculnya pengusaha-pengusaha lokal, dan sebagainya. Bidang pertanian, perindustrian, perkebunan, konstruksi, properti dll bisa bertumbuh berkembang semakin maju dan menyumbang devisa bagi negara sehingga Arab tidak lagi bergantung pada minyak melulu.

Kenapa selama ini kota-kota di Arab tidak bisa semegah dan semaju New York atau London atau kota-kota eropa lainnya? Padahal dari segi sumber daya alam, jelas bahwa negara-negara Amerika dan Eropa itu sama sekali tidak seberuntung Saudi yang memiliki sumber minyak begitu melimpah. Jawabannya adalah karena Amerika dan Eropa menerapkan kebijakan ekonomi yang benar: pembangunan ekonomi produktif, bukan konsumtif. 

Hal inilah yang juga sedang dilakukan oleh Jokowi di Indonesia. Jokowi dalam pidatonya sudah berulangkali menegaskan: ubah paradigma pembangunan dari konsumtif menjadi produktif. Salah satu caranya adalah dengan mengalihkan subsidi BBM menjadi infrastruktur. Sayangnya rakyat INdonesia mungkin terlalu bodoh untuk mengerti sehingga rakyat malah mengecam dan menghujat Jokowi habis-habisan bahkan ingin JOkowi dilengserkan paksa saat Jokowi membuat kebijakan menaikkan harga BBM. Pada saat polemik kenaikan harga BBM tersebut, saya pun juga sudah tegaskan berulang-ulang dalam tulisan-tulisan saya bahwa itu sudah kebijakan yang sangat tepat, namun saya malah jadi sasaran hujat. Banyak para politisi dan ekonom yang tergolong baik dan berkompeten seperti Ahok, Dahlan Iskan, Rhenald Khassali dll juga menyatakan bahwa kenaikan harga BBM adalah kebijakan tepat; namun orang-orang masih terus berkeras kepala dan tidak mau mengerti.

Ada sebuah analogi yang bagus mengenai pembangunan yang produktif vs pembangunan yang konsumtif. Seandainya anda adalah seorang pebisnis kaya yang baru memiliki anak, anda bisa memiliki 2 cara untuk membesarkan anak anda. Pertama adalah dengan menggunakan uang anda untuk terus membelikan kebutuhannya akan makanan, minuman, gadget, mainan, pakaian, bahkan rumah dan mobil, mulai dari anak anda masih kecil sampai dewasa, anda terus support membelikan segala kebutuhannya. Cara kedua adalah dengan menggunakan uang anda untuk menyekolahkan anak anda, memberikan pendidikan pada anak anda supaya kelak anak anda bisa mencari uang sendiri, bisa bekerja mapan dan membeli sendiri kebutuhan-kebutuhannya.

Cara yang pertama adalah cara yang konsumtif; membuat  anak anda terus menerus mengkonsumsi uang anda tanpa pernah bisa memproduksi uang sendiri. Cara yang kedua adalah cara yang produktif; membantu anak anda untuk kelak bisa memproduksi uang sendiri dan tidak perlu lagi terus-terusan mengkonsumsi uang anda.

Begitu pula di INdonesia. Kebijakan pembangunan konsumtif dengan memberikan subsidi BBM terus-menerus hingga ratusan triliun per tahun itu memang akan membuat biaya transportasi murah, biaya barang-barang lain juga murah, namun hal itu tidak membuat masyarakat jadi makin berkembang, tidak membuat INdonesia makin maju. Sama seperti di Arab. Perkotaan jadi tetap begitu-begitu saja, tidak bisa semegah New York atau Paris. Perindustrian, pertanian dll tetap jalan di tempat dan tidak bisa banyak menyumbang devisa untuk negara. 

Sedangkan dengan mengalihkan anggaran untuk infrastruktur seperti jalan raya, jalan tol, bendungan, pembangkit listrik, kereta api dll akan membuat perekonomian semakin maju. Dunia pertanian, bisnis, properti, perindustrian dll akan semakin maju, semakin berkembang. Rakyat jadi semakin mudah dalam mencari uang sendiri. Itulah pembangunan yang produktif. 

Sama seperti mendidik dan menyekolahkan seorang anak, begitu pula membangun infrastruktur: hasilnya tidak bisa langsung dinikmati dalam waktu dekat. BUtuh waktu yang agak lama. Bisa jadi hasilnya bakal paling terlihat pada 5 tahun mendatang, saat Jokowi mungkin sudah tidak menjadi presiden lagi, sehingga mungkin beliau tidak akan pernah menerima pujian yang seharusnya pantas didapatnya. Karena itu kita harus bersyukur memiliki Presiden yang hebat yang berani menerima kecaman dan hujatan demi mengubah paradigma pembangunan ekonomi Indonesia. Semoga Jokowi semakin tegas dan berani mengubah Indonesia ini, tanpa perlu takut pada caci-maki masyarakat bodoh yang tidak (mau) mengerti. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun