Oleh Paulus Laratmase
-
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai atau mengalami emosi yang muncul saat menghadapi tekanan, ancaman, atau ketidakpastian. Empat istilah yang kerap dipakai dalam psikologi untuk menggambarkan perasaan ini adalah fear, anxious, worried, dan apprehensive. Meskipun keempatnya memiliki kemiripan dalam hal makna emosional, namun masing-masing menyimpan perbedaan esensial baik secara psikologis, neurologis, maupun dalam konteks sosial. Artikel opini ini mencoba menggali dan membandingkan keempat istilah tersebut berdasarkan pandangan para ahli psikologi modern, khususnya menempatkan fear sebagai pusat analisis.
Fear dan Posisi Istimewanya dalam Respons Emosional
Fear (ketakutan) sering dipahami sebagai reaksi spontan terhadap ancaman yang nyata dan langsung. Shahram Heshmat (2018) menyatakan bahwa fear adalah respon biologis terhadap bahaya yang spesifik dan dapat diidentifikasi. Reaksi ini biasanya disertai dengan gejala fisiologis seperti detak jantung yang cepat, peningkatan tekanan darah, dan aktivasi amigdala, bagian otak yang bertugas mengenali dan merespons ancaman.
Dalam Verywell Mind (2008) dijelaskan bahwa fear berakar pada stimulus yang konkrit dan mendesak. Misalnya seseorang yang tiba-tiba menghadapi binatang buas atau melihat api membakar rumahnya. Ketakutan seperti ini memicu reaksi instan: melarikan diri (flight) atau menghadapi bahaya (fight). Oleh karena itu, fear dapat dianggap sebagai emosi yang adaptif, fungsional, dan vital bagi kelangsungan hidup.
Namun, dalam konteks masyarakat modern, fear sering kali berubah menjadi sesuatu yang lebih simbolik. Misalnya, rasa takut gagal, takut kehilangan pekerjaan, atau takut penolakan. Hal ini membawa kita pada kompleksitas emosi yang lebih abstrak: anxiety, worry, dan apprehension.
Anxious: Ketakutan yang Mengambang
Menurut Kim Lavoie (2020), anxiety atau kecemasan adalah bentuk ketakutan yang lebih samar, mengambang, dan bersifat anticipatory. Tidak seperti fear yang berakar pada ancaman nyata, anxious muncul ketika otak memperkirakan adanya bahaya di masa depan, namun tidak memiliki bukti atau kepastian kapan dan bagaimana bahaya itu datang.
Harriet Lerner (2009) menekankan bahwa anxiety bersifat difus dan kronis, dan sering kali tak memiliki titik fokus yang jelas. Inilah yang membuatnya jauh lebih melelahkan secara psikologis dibanding fear. Jika fear mendorong tindakan cepat, anxiety cenderung membuat seseorang terjebak dalam kekhawatiran yang tidak produktif.