Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebutaan Destarata, Pincangnya Sengkuni dan Kurawa

14 Februari 2015   13:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:12 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kurawa yang berjumlah seratus merupakan buah cinta  Destarata yang buta. Keseratus anak yang tidak terurus oleh kebutaan ayahnya. Wayang merupakan dunia simbol yang banyak memberikan pelajaran hidup melalui pralambang.

Buta bukan hanya mata, namun asyik dengan diri sendiri dan penyesalannya. Dia sebagai sulung tentunya yang paling berhak dengan status putera mahkota dna nantinya akan menjadi raja terkemuka. Pilihan ayahnya berbeda dengan keinginan dan tradisi yang ada, dengan kambing hitam adalah kebutaannya, yang ternyata membawanya buta hati pula. Kesedihan berkepanjangan ternyata juga terbawa ke dalam dirinya sebagai seorang suami bagi istrinya. Istrinya sebagai pribadi yang kecewa karena harapannya adalah Pandu, bukan si buta, menghasilkan gumpalan daging yang kemudian berubah menjadi seratus orok yang melambangkan kejahatan manusia di dunia.

Pangeran yang sakit hati dan buta mata buta hati ini melampiaskan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang berjibun, seratus anak dibiarkan begitu saja tanpa adanya pendidikan dan keteladanan yang semestinya. Anak yang dibiarkan tumbuh sendirian dalam kebersamaan dengan saudara sebayanya, akhirnya bersama-sama menghasilkan anak yang buta menuntun anak buta. Saling meneguhkan dalam kejahatan dan bukan kebaikan.

Tidak mau tahu dengan dunia sekitar juga bisa dianggap sebagai buta. Bagaimana ayah membiarkan anak-anaknya liar tanpa adanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Kesempatan itu ada dan terbuka, karena Pandu sebagai raja juga merasa bahwa keponakannya yang berjumlah seratus itu ada di bawah tanggung jawabnya karena kakaknya yang kurang beruntung dan juga kursi yang dia terima tersebut. Sekali lagi kebutaan Destarata membawa mereka keluar dari istana.

Sengkuni, si paman yang tidak kalah sakitnya. Pribadi tertolak yang hendak mencari jati diri dan kesempatan untuk menunjukkan kualitasnya. Orang yang menderita sakit seperti ini, malah mengajukan diri untuk membina keponakannya yang telah lahir dalam kondisi tidak ideal atas luka dari bapak dan ibunya yang penuh kekecewaan. Sangat tidak aneh ketika menghasilkan Kurawa yang melambangkan seluruh kejahatan yang ada di muka bumi. Kelicikan, ketamakan, keserakahan, dan tipu muslihat yang menjadi pedoman hidup mereka.

Lengkap sudah Kurawa sebagai lambang kejahatan. Lahir dari orang tua yang penuh kepedihan dan kekecewaan hidup di didik oleh paman yang mengalami penderitaan yang tidak kalah pedihnya. Keteladanan dan pendidikan bagi anak usia dini menjadi penting justru terlewatkan, karena “keasyikan” orang tua dan paman yang membinanya.

Anak yang berkembang menjadi pribadi bebal dan mengandalkan kekerasan demi kekerasan, kebenaran sulit masuk dalam benak dan hati mereka. Kemabukan,  kebutaan hati, percabulan, tipu muslihat menjadi makanan sehari-hari. Segala daya upaya dan cara dipakai untuk memenuhi keinginan dan hasrat untuk eksistensi diri yang sama sekali mereka tidak ketahui, selain kata orang.

Pencerahan itu datang dengan pendidik yang semestinya, ternyata tidak membawa perubahan dan sikap batin menjadi lebih baik. Urakan dan seenaknya sendiri yang diciptakan Sengkuni lebih menggugah “selera” mereka dibandingkan pendidikan Drona, Bhisma, ataupun resi yang lain. Kebebasan yang tidak bertanggung jawab lebih menyenangkan dari pada menjalankan kewajiban sebagai seorang pangeran.

Artikel ini bukan untuk mendeskreditkan kecacatan fisik, namun lambang dalam dunia wayang itu sangat mendalam dan bisa kita ambil sebagai bahan permenungan bersama. Usia dini anak bukan untuk dibiarkan semau-maunya, namun ada bimbingan dan pengarahan yang sepantasnya. Anak bukan robot namun bukan pula pohon, pengarahan sewajarnya dan cinta kasih yang melimpah akan membuat pribadi tersebut berkembang dengan semestinya.

Salam Damai.....


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun