Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beratnya Mengaku Salah dan Minta Maaf, Mana Revolusi Mental?

13 Januari 2016   21:23 Diperbarui: 13 Januari 2016   21:23 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Pencanangan revolusi mental telah lebih setahun lalu dilakukan. Bagaimana hasilnya, adakah perilaku yang signifikan berubah? Sulit mengubah sekian lamanya hidup dalam sikap abai, seenaknya sendiri, dan bisa melakukan apa saja. Apa yang dilakukan bukan hanya rakyat kebanyakan, namun juga hingga perilaku ekit dan pejabat publik.

Pengalaman pertama, antri panjang di bank, untuk mengurus salah satu transaksi yang belum terproses, janji tiga hari, ini sudah hampir dua bulan. Minta maaf dan menyatakan berulang-ulang, namun muka datar bahkan dengan penuh senyum. Perilaku yang bagus dalam arti untuk basa-basi. Pelatihan masih sebatas normatif, memohon maaf, namun sama sekali belum dari hati yang tulus dan mendalam. Mengapa demikian? Karena hanya sebatas tugas dan merasa tidak “merugikan” apapun. Padahal betapa banyak kerugian yang ditimbulkan, selain materi, waktu, dan tentu energi untuk mengurus itu.

Pengalaman kedua, ada angkutan kota harus mengerem mendadak  karena adanya motor yang baru dar kanan jalan langsung masuk ke toko. Hanya dalam bilangan centimeter, rem tidak pakem terjadi tabrakan. Bentakan dari sopir masih wajar, namun reaksinya dengan tertawa lebar tanpa ada sesal sama sekali. Dia tidak tahu bahwa sopir dan penumpang sudah hampir putus nafa saking kaget dan tegangnya. Tawa renyah apalagi meminta maaf. Sama sekali tidak ada ungkapan dan bahasa tubuh menyatakan sesal sama sekali.

Pengalaman ketika, habis hujan ada sepasang muda-mudi, terpeleset dan jatuh dengan motornya. Si cewek bukannya bergegas untuk membantu, eh malah asyik mainkan dua hape di kedua tangannya. Para penolong ribut dan sibuk membantu cowok yang jatuh, eh ceweknya asyik sendiri, bahkan senyum-senyum saja, apalagi minta maaf merepotkan dan berterima kasih.

Pengalaman keempat dan beribu kali, soal kekuasaan yang berbuat salah. Terakhir dan semoga terakhir, perselisihan antara aparat. Perkelahian antara Satpol PP dengan Paspamres. Entah mana yang benar dan salah, yang jelas ada dua versi. Hanya logis dan tidak, bisa dinilai sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Masyarakat telah maju dan cerdas tentu bisa menilai dengan lebih baik dan obyektif. Logis tidak kalau satpol PP berani mengeroyok paspamres? Selalu saja terulang dan terulang, dan selalu saja korpsnya sendiri yang benar dan pihak lain pasti salah. Sama sekali belum pernah terdengar ada permintaan maaf secara tulus dan ada kebenaran di antara dua keadaan, yang sama sekali tidak akan benar.

Senada dan mirip, ada anggota tentara yang jengkel karena sering kemalingan burung. Ia memukuli anak sekolah dasar, dan mengapa harus korpsnya yang harus menanggung akibat dengan membeayai perawatan si anak.

Hal demikian bukan sekali dua kali, ribuan kali tanpa penyelesaian dan negara malah menangung beban kebodohan orang-orang itu. Beaya negara, padahal perilaku pribadi yang tidak dewasa dan terkesan bodoh itu. Belum lagi pembakaran kantor, markas, dan gedung, baik itu militer, polisi, KPU, kantor-kantor lainnya, taman yang dirusak dan diinjak-injak dan masih banyak lagi.

Setahun memang belum bisa untuk menilai, namun level atas sudah harus berubah dan itu pasti akan menuar ke bawah, bukan menuntut bawah berubah dan atas malah mencontek perilaku akar rumput. Keteladanan harus dari atas, bukan sebaliknya. Bagaimana mungkin meminta maaf atas kejahatan yang jelas-jelas di depan mata saja tidak mau, enggan, dan sangat berat.

Pendidikan baik dari sekolah dan keluarga memegang peran utama. Lebih banyak menutupi kesalahan dengan berbagai cara, mencoba mengecoh, melenakan dengan trik dan kadang tipuan, ternyata telah menjadi bagian utuh dari kehidupan sehari-hari. Sikap tanggung jawab dan mau mengakui kesalahan dan merugikan pihak lain merupakan kebiasaan yang harus ditekankan terus menerus.

Keteladanan dari pihak-pihak yang berkompeten tentu akan menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat, kaum muda, dan anak-anak yang akan belajar dari tindak nyata, bukan hanya kata-kata kosong yang sering terdengar. Bagaimana maling uang negara namun dikatakan sebagai cobaan dari Tuhan. Ungkapan suci yang dipakai untuk menutupi perilaku jahatnya sendiri.

Salam Damai  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun