Wang Sinawang, Penghakiman antargenerasi
Menarik apa yang terdengar, terlihat, dan menjadi bahan pembicaraan. Ada guru yang lebih senior menghakimi anak-anak baru. Guru baru lulus P3K, ASN, dan yang masih magang untuk mencapai posisi mapan menjadi aparatur negara. Mereka ini, si guru muda bla... bla... bla.... Sebaliknya si muda akan menilai yang tua sama saja, kolotlah, tidak tahu perkembanganlah, Â atau sangat mungkin katrok.
Pagi ini membaca curmatan mak muda yang mengajak jalan-jalan anaknya. Ia mengaku mengenakan outfit normatif. Sepatu rajut yang nyaman, bukan untuk sepenuhnya olah raga, namun yang utama adalah momong. Ia mendengar digibahin anak-anak muda, cewek pastinya. Mengatakan, bahwa nanti temannya kalau udah  punya anak akan kek itu, pakaian yang dikenakan salah kustum.
Rekannya menjawab, anaknya akan diberikan suami dan dia jalan-jalan dengan tampilan yang tetap up to date. Saya langsung tergelitik untuk membaca komentar, dan benar, rata-rata yang merespon usia mak-mak dengan variannya. Dasar anak belum tahu kebutuhan, bocah minta sak dek sak nyet, moga-moga anakku kalau gede gak kek itu. Ada pula yang mengatakan  mak-mak muda kek burung flamengo, ada pula yang merespon untung masih bisa jalan-jalan, belum tentu  yang komentar masih lebih baik kondisinya. Senada, secara dominasi.
Apa yang menarik?
Pertama, manusiawi, menilai, menghakimi, mengomentari dengan sudut pandang sendiri. Pastinya sepatu, pakaian kan ukurannya, bukan ukuran sendiri. Nah, belum tentu si mbak-mbak ini seberuntung mak muda itu bisa jalan-jalan pagi, bisa jadi seusianya nanti sudah kabotan sungu, atau malah gonta-ganti suami, mana sempat jalan-jalan.
Asyik tulisan Ajahn Brahm dalam buku Cacing dan Kotoran Kesayanganya, ia menuliskan, semua memiliki dukanya sendiri. Bujangan memiliki duka bujang, orang menikah mempunyai duka orang menikah. Ketika bujang mencari pasangan untuk menikah. Usai menikah merasa enakkan lajang, bercerai pun akan mempunyai dukanya sendiri.
Nah, tidak perlu menghakimi dengan kaca mata sendiri, jika mungkin bisa mengenakan kaca mata pihak lain. Inilah empati.
Kedua, menambah masalah, bukan menyelesaikan masalah dengan model penilaian demikian. Apalagi jika responsnya dengan kemarahan, tersinggung, dan emosi negative lainnya. Bisa berkelahi. Pun sama ketika menghadapi anak-anak atau siswa.  Paradigma guru atau orang tua yang lain generasi sebisa mungkin memahami apa yang anak-anak  dan murid alami, pahami, dan salami.
Jika tidak demikian, yang ada adalah konflik, berebut kebenaran. Padahal ada kebenaran bersama. Ada titik temu untuk bisa harmoni.
Ketiga, pihak dewasa yang mengalah, karena mereka sudah mengalami. Pernah melewati fase, masa, dan keadaan yang bisa jadi dikomentari yuniornya. Mengerti, karena adik-adiknya belum pernah merasakan apa yang sedang generasi dewasa ini jalani.
Pun pihak mereka juga bisa saja menertawakan, dalam arti tertawa, wong belum ngalamin oq komentar. Tidak menertawakan dalam konteks malah nyokorke.
Keempat, jadilah bijang, bagi generasi muda. Wong kalian belum tentu bisa sebahagia, senyaman generasi atasmu. Apalagi dengan jenis kelamin yang sama. Jangan sampai malah menjadi kek kutukan, di mana keadaannya jauh lebih buruk.
Kelima, bagi generasi muda, tidak banyak orang seberuntung Nia Ramadhani yang tidak bisa mengupas salak. Atau kek Raffi Ahmad yang bergelimang harta. Jauh lebiiiih banyak adalah Masyarakat biasa, yang suka citanya terbatas, toh keadaan buruknya juga biasa.