Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belajar dari Perkosaan Siswi Papua, Pelecehan Seksual di KPI, dan "Sakitnya" Negeriku

11 September 2021   20:48 Diperbarui: 11 September 2021   20:51 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belajar dari Perkosaaan Siswi Papua, Pelecehan di KPI, dan "Sakitnya" Negeri ini

Miris, belum selesai kisah KPI dengan dugaan pelecehan seksual dan "pembiaran" Saiful Jamil menjadi  tontonan yang semarak, kini ada khabar lagi kalau dugaan kekerasan seksual, bahkan perkosaan berakhir damai. Fakta yang terjadi beruntun dan ada upaya yang aneh.

Kriminal bisa menjadi damai dengan mencabut laporan. Ini aneh dan luar biasa ngaco, bagaimana hukum bisa seenaknya sendiri ditafsirkan demi kepentingan segelintir pihak. Kekacauan demi kekacauan tercipta karena kepentingan. Si elit mau aman dan nyaman, meskipun melakukan kesalahan dan perilaku jahat.

Sama juga dengan pencemaran nama baik. Ketika si pelaku, yang biasanya ada pada pihak yang lemah, belum diproses, malah dituntut oleh si penggede sebagai pencemaran nama baik. Hal yang terjadi karena produk kolonial dan sistem feodal yang masih kental. Apa yang terjadi dengan model demikian adalah, orang kuat merajalela bahkan di dalam kejahatannya. Si kecil takut bertindak karena takut pasal pencemaran nama baik.

Pun dengan keanehan dan kejanggalan. Duta ini dan itu dari pelanggar awalnya. Ada duta masker, duta Pancasila, duta Transjakarta, dan ada wacana eksmaling jadi duta antimaling. Konon Saiful Jamil juga akan nongol di tivi sebagai pembelajaran untuk edukasi bahaya predator anak. YAKIN??

Kisah pelajar yang diperkosa oleh oknum pejabat dan politikus. Ini miris. Relasi kuasa yang bicara, sehingga lahirlah keputusan berakhir damai. Ini kriminal, pidana, bukan delik aduan. Berbeda dengan sengketa tanah yang berujung adu jotos. Itu bisa damai.

Perkosaan itu hal gede. Apalagi dengan kekerasan fisik lainnya. Ada kekuasaan pada gadis yang bisa jadi di bawah umur. Ini berganda-ganda kejahatan yang dilakukan. Mengapa bisa menjadi damai atau kekeluargaan?

Kejadian di KPI juga menjadi bumerang bagi pelapor-korban yang bisa jadi berbalik arah menjadi tersangka pencemaran nama baik. Mengapa? Pasti tidak akan ada bukti, tidak akan ada saksi yang berani memberikan dukungan kepada korban yang bisa jadi sebentar lagi menjadi pelaku.

Saiful Jamil akan tetap bisa tampil di televisi meskipun dengan alasan untuk edukasi bahaya predator anak. Beneran demikian? Faktanya, yang sudah ada, ia berlaku biasa saja, tidak ada rupa sesal dan prihatin bahwa ia pernah "merusak" masa depan anak. Malah seolah berperilaku ia adalah korban. Memaafkan dan tidak dendam. Lhooooooo....

Mengapa bisa demikian?

Ini mentalitas.  Relasi kuasa yang bisa berbuat apa saja. Benar bisa jadi salah, apalagi salah. Sangat mungkin terjadi pada pihak berkuasa, beruang, dan memiliki kekuatan dalam aneka bentuk. Bisa massa, bisa juga uang dan materi. Hal yang sangat gampang ditemukan dalam kasus-kasus hukum. Jangan macam-macam kalau tidak punya duit, relasi, dan kekuasaan jika menghadapi kasus hukum.

Mengapa relasi kuasa terjadi? Ya karena memang budaya feodal masih kuat. Aparat dan penegak hukum masih sering silau dengan jabatan atau materi pihak-pihak yang bersengketa. Kekuasaan bisa membuat keadaan berbalik arah. Korban menjadi pelaku dan pelaku beralibi menjadi korban dan bisa mendapatkan dukugan karena kekuatan materi dan jaringan yang ada.

Taat azas dan kehendak baik yang rendah. Lihat saja model ngeles, mencari kambing hitam, materai, khilaf, atau malah mengaku akun atau media sosial dibajak. Hal ini terus menerus terjadi. Apakah ini gratis? Susah sih percaya demikian.

Berkaitan dengan hal itu, aparat penegak hukum yang rendah dalam bertanggung jawab atas profesinya. Ujung-ujungnya mencari keuntungan sendiri. Jual beli pasal atau hukum sangat mungkin ada. Ini rahasia umum.

Jangan sampai  program restorative justice Kapolri Jenderal Listyo Sigit dimanfaatkan oknum-oknum di lapangan dan juga pejabat abai tanggung jawab untuk menyelesaikan pelanggaran hukum dengan semboyan ini. Sama sekali bukan pidana dan kelas perkosaan di bawah umur yang diselesaikan dengan RJ. 

Mengerikan jika nanti atas nama RJ, lapas penuh kemudian menggunakannya sebagai pembenar menyelesaikan kasus hukum, terutama pidana. Tidak demikian maksud RJ, di manamenyelesaikan masalah yang tidak berdampak cukup besar, kerugian yang ada itu relatif kecil, ya bisa dinegosiasikan.

Perkosaan, pelecehan dan perundungan itu bukan perkara kecil. Lihat saja guru menggamar murid kemudian ke pengadilan, eh siswi diperkosa malah selesai dengan damai, alias kekeluargaan. Ini tidak pada tempatnya.

Contoh dari para elit, terutama politikus yang tidak mau bertanggung jawab bisa jadi menyebabkan pola penyelesaian hukum seperti ini. Kacau balau. Perkosaan menjadi pelecehan seksual, kini lebih parah lagi malah menjadi delik aduan yang bisa dicabut.

Masalah yang memang ruwet. Seolah ada yang sengaja membuat keadaan kacau. Tokoh politik lebih banyak bicara agama. Pemuka agama lebih suka membahas dan mengeluarkan pernyataan politik. Ahlinya pada diam, dan awamnya seolah pakar dalam banyak bidang.  Pejabat pekerja dan berprestasi dimusuhi, yang tidak bisa apa-apa didiamkan saja. Orang baik diam dan tidak bersikap yang membuat keadaan makin kacau.

Harapan tetap harus dimiliki. Jangan sampai pesimis yang malah memperburuk keadaan. Semua memang harus dilalui untuk mencapai keadaan yang lebih baik.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun