Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pelarangan Mudik dan Pandemi, Belajar dari India

22 April 2021   11:48 Diperbarui: 22 April 2021   12:10 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelarangan Mudik dan Pandemi, Belajar dari India

Pandemi sudah lebih dari setahun. Masih saja orang berlaku yang sama. Makin hari makin terlihat lebih abai. Kematian dan keberadaan orang terdampak memang tidak membuat orang jerih. Jalanan mulai seperti tidak ada apa-apa.

Laporan dari banyak daerah kembali meningkat dengan berbagai sebab. Ada yang dikarenakan piknik bersama, ada karena kerumunan layat, dan sebagainya. Kondisi di mana tanpa masker, berkerumun, dan abai protokol kesehatan. Melayat, piknik, atau aktivitas lain itu sebenarnya boleh-boleh saja, asal masker, jaga jarak, cuci tangan, itu tetap diingat dan dilakukan.

Kondisi yang ada membuat sekolah yang sudah mulai uji coba harus kembali tutup. Susah, ketika pandemi namun juga didekati dengan politisasi dan permainan lagi-lagi agamis yang kadang membuat miris.

Mudik itu tradisi budaya, sosial, dan antropologis, sama sekali bukan agamis, tidak berkaitan dengan sebuah dogma ajaran agama. Artinya, tidak mudik juga tidak mengurangi keberadaan Ramadan dan Idul Fitri. Berbeda, momen dan kebersamaannya saja yang memang tepat, jika kondisi aman dan bukan pandemi.

Salah satu gubernur, mengatakan, biar rindu itu tersalurkan, silakan bersikap demikian, jika memang kawasannya itu normal, tanpa ada angka positif sama sekali. Plus siap bertanggung jawab jika ada ledakan. Ini bukan soal berfikir negatif, namun antipasi. Kondisi masih belum gterkontrol. Bisa saja hari ini baik-baik saja, esok sudah kembali menggila. Ini yang disebut antisipasi.

Belajar dari Brasil dan India.

Negara-negara yang secara budaya, pola pikir, dan aktivitas relatif sama. Mereka, dua negara ini sedang "panen", ledakan yang lebih menakutkan dari pada pada awal atau setahun lalu. Kondisi yang diantisipasi pemerintah. Sangat wajar, benar kata Menag, pemerintah menjaga warganya.

Soal rindu, toh tidak juga menjadi polemik. Wong nyatanya, banyak orang juga tidak pulang, meskipun anak atau orang tuanya sudah memohon-mohon. Hal yang tidak cukup menjadi pembenar melawan kepentingan global, menghentikan penyebaran.

Yang dilarang itu bukan mudiknya, namun pergerakan massa antardaerah. Aktivitas masa hari raya yang biasa berkumpul, bertamu, dan jaga jarak yang susah diantisipasi. Padahal keberadaan kerumunan, aktivitas dan mobilisasi, itu yang sering abai akan protokol kesehatan. Masker, tetap jabat tangan, dan berkerumun.

Takbir keliling juga tidak dilarang, namun mengantisipasi timbulnya kerumunan. Jadi lihatlah esensinya, jangan main narasi dipotong kompas, demi kepentingan politis ideologis. Penyakit sampingan pandemi itu masih sama saja setahun sudah berlalu, lebih bahkan.

Agama, narasi yang dibangun, melarang aktivitas beragama, padahal, bukan aktivitas agamanya yang diperhatikan, namun potensi berkerumunnya. Eh masih saja sama, apa yang dinyatakan dan dijadikan serangan, itu juga politis, bukan pandemis atau demi kesejahteraan bersama.

Kala aktivitas beragama bareng-bareng, ingat ini soal semua agama, merasa dikekang, padahal awalnya juga tidak rajin-rajin amat. Eh pas ddibuka terbatas, ini pengalaman di gereja lho, alasan takut pandemi menjadi dalih untuk tidak mau ikut. Orang yang memang dasarnya malas dan waton sulaya sebenarnya.

Pokok bisa ada celah untuk menghantam kebijakan negara, apalagi ada unsur agamanya, kelompok oposan bukan partai ini akan girang bukan kepalang.

Politik. Ah ini sih lagu lama. Lihat saja bagaimana daerah yang kinerja pengatasan pandemi sangat buruk, itu pimpinannya seperti apa. Ada upaya "pembangkangan." Narasinya juga masih sama saja. Agama, ibadah, dan laku religius dijadikan tameng.

Nah, bagaimana politisasi agama ini yang sebenarnya adalah menistakan agama. Perendahan harkat dan martabat agama sebagai cara dan sarana mendapatkan kekuasaan. Mengerikan.

Melindungi warga negara demi keselamatan, global pula, eh masih saja dinarasikan sebagai upaya memusuhi agama. Padahal Menag mengatakan, tidak mudik tidak mengurangi pahala. Coba kurang agamis apa, kurang pengetahuan apa seorang Menteri Agama lho.

Yang membuat narasi seolah-olah mudik adalah keharusan, sebuah bagian ritual agamis, sejatinya ya itu-itu saja. Barisan sakit hati, yang terdepak dari pemerintahan. Pihak-pihak yang kekayaannya akan diambil alih negara, dan mantan pejabat yang mau ketahua boroknya, kinerjanya buruk pada masa lalu.

Apapun ujung-ujungnya adalah pemerintah salah.  Padahal dasarnya adalah perlindungan pada masyarakat secara luas. Lihat saja, minimal masker, aktivitas itu hampir normal kembali, seolah pandemi sudah selesai. Padahal belum. Memang sudah mulai mereda, namun jangan dibangkitkan lagi dengan berkerumun, mobilitas tinggi yang membuat daya tahan tubuh rendah.

Masa puasa itu makan cenderung tidak sehat. Aktivitas tinggi kala mudik, berlebaran, di sana juga makan-makan, dan lagi-lagi tidak sehat, sangat berpotensi memudahkan virus menyerang. Jangan-jangan kalau dibiarkan, tanpa larangan, dan kemudian ada lonjakan besar akan mengecam, malah sangat mungkin turunkan Jokowi menggema.

Pelakunya ya sama dengan yang sekarang dan kemarin-kemarin selalu saja menyudutkan pemerintah. Susah sih, dasarnya pokok beda, waton sulaya, bukan mengenai kebaikan bersama.

Lebaran kedua tanpa mudik, semoga semua baik-baik saja dan tidak membuat pandemi berkepanjangan. Tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun