Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ambroncius Nababan dan Janji Kapolri

28 Januari 2021   19:58 Diperbarui: 28 Januari 2021   20:28 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ambroncius Nababan dan Janji Kapolri Baru

Beberapa hari lalu, dalam acara fit and proper test calon Kapolri waktu itu mendapatkan pertanyaan mengenai ujaran kebencian, bagaimana sikapnya. KomJend Listyo menjawab jika hanya biasa, bukan berkaitan dengan kondisi negara, persatuan dan kesatuan, maaf cukup. Namun, jika menyangkut keamanan dan mengancam persatuan dan kesatuan lanjut penegakan hukum.

Usai dilantik, masih dalam bulan yang sama, sudah ada kasus yang sangat kontekstual, ketika Natalius Pigai merasa ada perlakuan rasial oleh Ambroncius Nababan. Sontan riuh rendah dengan mengaitkan suku dan keberadaan lagi-lagi Jokowi yang gagal. Khas permainan mereka sejatinya. Mengapa menjadi besar dan langung sigap Bareskrim menahan Ambroncius Nababan?

Konteks Papua. Ini langsung menyambar bak avtur dituang dalam bara. Melapor kepada Menhan Amerika segala. Ini sudah ada perencanaan untuk menjadikannya batu loncatan yang lebih gede. Ingat semua Jokowi alah dan kudu ganti.  Agenda yang sangat mudah ditebak, ketika muaranya salawi.

Perlu diingat ada juga serangan melalui TP3 yang digawangi Amien Rais dan kawan-kawan. Kondisi biasa yang sangat mudah dibaca agendanya karena ujungnya Jokowi. Perselisihan di medsos, Jokowi presiden yang tidak mampu menguasai rasial. Pun kematian pengawal ketua ormas kog ujungnya Jokowi.  Perjuangan yang memperalat, ketika tujuan akhirnya kejauhan.

Tidak ada yang salah perjuangan antirasialis, perjuangan keadilan misalnya kematian laskar itu. tapi mbok ya tidak usah berlebihan, hingga presiden turun. Kalau memang kapasitasnya mumpuni ikutlah pilpres. Kan lucu mengaku demokrat, namun tidak berani ikut  pilpres. Atau ada yang ikut dan pemilihnya juga tidak cukup signifikan.

Perhatian bersama, terutama para pendukung membuta Jokowi. Membela itu tidak salah, namun jangan menggunakan narasi yang sama dengan apa yang dilakukan para pengritik, konon, kalau pasnya ya kaum nyinyir. Mengapa? Lha Jokowi dan juga anak-anaknya saja tidak mempersoalkan itu. Konteksnya bukan soal pembiaran, namun  jangan jadi pembela kanak-kanak.

Ingat, kalau anak itu ledek-ledekan, balik saja pasti ngamuk. Contoh, ada anak yang meledek kita hitam, balik kamu hitam, pasti marah, ujungnya lapor bapaknya. Permainan politik yang sama. Karena memang model anak-anak yang gampang ngambeg. Sama kan lapor Amerika, ada yang lapor Belanda.

Membela Jokowi itu justru tidak terpancing, karena kondisi ini yang memang sengaja diperkuat, agar ada reaksi yang cukup untuk menyasar langsung Jokowi. Perbandingan Pigai ini bukan yang pertama, mengapa kali ini reaksinya besar? Ya karena pelakunya bisa menjadi identifikasi langsung kepada Jokowi. Jangan menyediakan umpan matang bagi mereka.

Janji Kapolri ditepati karena memang berpotensi terjadinya perpecahan. Ingat, Papua itu sangat-sangat seksi dan kaya. Usai FPI bisa dikuasai negara sendiri, memangnya mereka, pemilik modal, Amerika dan juga para makelar di sini rela? Jelas tidak. Bancaan yang super jumbo kini dikembalikan halnya kepada negara. Dulu hanya segelintir elit, itu yang memberikan modal untuk keadaan tidak tenang.

Pembelaan mengenai Pigai jangan membawa Papua dan tidak usah provokasi memang ada. Toh gaungnya tidak cukup kuat. Ini riskan, ingat menjelang pengumuman hasil pilpres lampau bukan?  Bagaimana dampaknya, apalagi potensi  ini ada pula suku lain yang bisa terlibat atau dilibatkan.

Apakah ini adil?

Keadilan itu tidak hanya sama semua. Ada pula keadilan yang berbeda. Lihat saja, apakah orang tua yang membelikan kakak baju lebih besar dan harga berbeda itu tidak adil dengan adiknya? Adil pula itu, sesuai dengan kepentingannya. Kepentingan tentu bukan kepentingan pribadi dan kelompok, namun  bagaimana kerugian paling kecil yang menjadi prioritas. Minus malum, memilih yang terbaik dan yang terburuk.

Masih utopis jika bicara keadilan, kesetaraan, tanpa menimbulkan gejolak. Pigai juga bisa dituntut berperilaku rasis. Sama dengan yang ditudingkan pada Ambroncius. Lihat, siapa-siapa yang berteriak membela kedua kubu. Kata akhirnya itu apa, salawi.

Nah apakah iya, demokrasi yang dibangun susah payah, mahal, itu harus dikalahkan oleh emosional seseorang? Tidak. Risiko paling kecil yang harus diambil, dan ingat kembali ke pedoman anak kecil di atas. Apakah kakak yang ditegur bapak karena adiknya nakal itu juga perilaku tidak adil? Karena adiknya belum paham, ya pelan-pelan, bukan berarti bapaknya tidak adil.

Nyesek bagi yang berpikir dan berwawasan terbuka memang. Mengapa harus "selalu" mengalah. Pengalaman Ahok bisa menjadi cermin. Bagaimana ia dengan gagah menghadapi itu. jangan malah menggunakan Ahok dikatakan babi dan lain-lain tidak marah. Beda.  Jangan samakan tingkat pemahaman, ketersingunggan, dan molitik yang sama.

Mengapa tidak diubah, menjadi adem seperti Jokowi-Ahok, sehingga negara tidak riuh rendah. Ingat, mereka yang provokatif, agitatif, kalau tidak dijawab akan diam. Mana ada sing orang ngamuk-ngamuk dicuekin makin kalap. Tidak ada. Yang ada malah bingung sendiri.

Mengaku relawan, klaim sebagai pendukung, tetapi perilakunya jauh dari yang didukung, malah ikut-ikutan yang menyerang. Tidak mudah memang. Berjalan dalam sunyi ala Jokowi Ahok itu perjuangan dan sekaligus tantangan. Mereka bisa kog, berarti bukan barang mustahil bukan? Sukar memang, tetapi bisa.

Kapolri sudah berjanji dan sudah dilakukan. Jadi konsekuensi logis, bahwa Ambroncius jadi "tumbal", atas perilakunya sendiri. Pembelaannya yang mengatakan itu privat bukan suku, atau Ahok tidak marah, tidak bisa dan tidak cukup membuatnya lepas dari pertanggungjawaban hukum.

Apakah adil, ketika pihak lain leluasa melakukan hal yang sama? Ya tunggu waktunya bisa berlaku demikian. Orang berjalan itu dulu juga diawali dengan merangkak. Semua butuh proses. Kesabaran dan tidak emosional sangat membantu untuk lepas dari jerat hukum. Beraksi itu tidak salah, namun ketika reaksi itu berlebihan ya tanggung sendiri.

Jokowi benar saja dipersalah-salahkan, apalagi pengikut atau yang mengaku pendukung setianya ngaco, ya akan diikut-ikutkan. Membela itu tidak bak babi buta, memikirkan risiko dan apa dampaknya.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun