FPI Bantulah Rizeiq, Bukan Malah Membebani
Beberapa hari terakhir, dari dua daerah dilaporkan para anggota dan elit daerah FPI berulah. Padahal posisi Rizieq sedang tidak pada kondisi yang aman dan nyaman. Memang mereka menggaungkan narasi membela sejatinya, namun malah menjadi bumerang karena keadaan yang tidak ideal itu makin miring dan memberatkan sang ketua.
Perubahan lafal adzan dari daerah Jawa Barat memang  tidak berdampak banyak pada posisi Rizieq, namun narasi yang mengemuka makin menyudutkan FPI sendiri. Ditengarai adanya ajakan "makar" karena asal mula seruan itu dari teroris dari Arab sana. Penyiptanya sudah dihukum mati, bahkan oelh Arab Saudi, eh di sini malah dipakai. Khas penyelesaiannya meterai dan maaf.
Lebih menggelikan sekaligus mengerikan adalah teror dan intimidasi bagi Ibu Mahfud MD. Tidak tahu motivasi, pola pikir, dan pola tindak mereka kog segegabah itu. mengintimidasi Ibu-ibu itu perilaku memalukan, jelas saja ketakutan, orang sepuh didatangi rombongan dan sangat mungkin dengan teriakan. Â Berbeda jika yang mau dibakar itu rumah Mahfud sendiri, orang tidak akan antipati, wajar kemarahan demikian. Â Lha ini tidak ada sangkut-pautnya, lain lagi, jika Mahfud pas berkunjung.
Persoalan makin pelik, tidak membantu malah ikut mendorong masuk pada jurang ini sih. Kritis keadaan FPI ini, izin belum ada, aktivitas ngaco malah. Beberapa hal layak dilihat;
Pertama, model berorganisasi tidak profesional. Pusat dan daerah bisa berjalan sendiri, gagasan dan ide terputus-putus, paling bisa menyatu ketika pengerahan massa. Lihat saja Sobri yang membuat Rizieq kesulitan ketika menggunakan slogan memimpin revolusi, tidak lama kemudian direvisi oleh Munarwan dengan menambahkan akhlak, mengambil irisan revolusi mental Presiden Jokowi, mencari aman.
Pusat, elit, dekat pemimpin saja bisa ngaco, apalagi daerah, dan yakin tidak akan ada koordinasi, atau sebentuk hirarkhis berorganisasi yang semestinya. Asal bicara, mkir belakangan, dan kadang itu adalah blunder dan biang masalah. Ya wajar, dibentuk tidak dengan perencanaan.
Kedua, cenderung berdiri sendiri-sendiri, mengambil nama yang sama. Kesamaan cara di dalam menyuarakan pendapat, soal motivasi, misi, dan visi sangat mungkin berbeda. Tidak heran mereka kalang kabut kalau menyuarakan pendapatnya.
Ketiga, ormas yang  tidak profesional. Lihat saja cara-cara di dalam menyelesaikan persoalan, padahal sebenarnya bukan masalah, hanya cara mereka melihat saja kemudian timbul masalah. Mmaksakan kehendak pada pihak yang berbeda, mengintimidasi, mengerahkan massa, kalau terpaksa juga kekerasan.
Tidak segan-segan melanggar hukum dan kalau kepentok minta maaf, meterai, dan nangis bombai. Â Ini tidak hanya sekali dua kali, berkali ulang. Pola yang sama terus menerus.
Keempat, bicara dulu, berbuat dulu, mikir belakangan. Entah karena apa kog ada model demikian di era modern ini. Contohnya sudah  dibahas di awal atau atas. Ada dengan jelas dan gamblang. Zaman sudah modern, namun caranya kog kuno, mikir belakangan, kekerasan, massa, itu model zaman jadul, bukan masa modern seperti ini.