Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jawaban Kurang Apa SBY Waktu Memimpin

3 Juni 2020   08:13 Diperbarui: 3 Juni 2020   08:12 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jawaban Kurang Apa SBY Waktu Memimpin

Menjawab ini

Beberapa waktu lalu Pak Beye mengatakan jika apa yang kurang dengan kepemimpinannya sepuluh tahun yang lalu. Tentu pembandingnya dengan kepemimpinan Jokowi. Mengapa tidak membandingkan dengan pemerintahan Soeharto? Ya buat apa, kan untuk ke depan, bukan ke masa lalu.  Sah-sah saja juga sebagai sebuah upaya politis.

Tiba-tiba pada sebuah tayangan media sosial tampilan ulasan cukup lama, tahun 2013, selengkapnya di sini . Ulasan ini bukan mau membahas benar atau tidaknya survey itu, atau faktual atau tidak. Hanya menjadi sebuah hal yang menjawab bahwa ada pula hasil seperti itu dalam pemerintahan Pak Beye.

Jelas ini adalah reaksi oleh warganet atas apa yang Pak Beye lakukan. Aksi dan reaksi memang sedang jadi trend akhir-akhir ini. Miris ketika lebih banyak  orang ribut pada tataran reaksi dibandingkan aksinya. Seolah aksi itu selalu benar dan reaksi sangat salah.

Minimal dua hal yang bisa menjadi contoh. Pertama soal wartawan dan media Detik, di mana ada pemberitaan yang cenderung tendensius. Ini benar diakui dengan tidak secara jantan, karena mengedit judul itu setelah ada reaksi dan klarifikasi dari pihak terkait.'

Muncul pengakuan, ingat pengakuan soal adanya ancaman. Nah di sini kehebohan dan jelas dijadikan modal untuk apa saja. Abai soal aksi yang membuat reaksi. Toh masih banyak pertanyaan dan juga meragukan karena sebatas pengakuan, tidak ada pelaporan ke pihak berwajib pula. Jangan. Toh tanggapan atas reaksi ini lebih gede.

Kedua, soal acara di UGM. Lagi-lagi identik. Toh aksinya malah seolah terlupa. Reaksinya yang gede-gedean dan menjadi lebih heboh.  Apalagi ditingkahi kepentingan politis yang lebih gede. Mau penegakan hukum jika sudah mengarah pada politik, agama lagi, ribet.

Menjadi sebuah gaya baru berpolitik dan berpolemik. Hal yang perlu disadari agar orang tidak menjadi ribet pada hal yang tidak esensial. Sering kita terkamuflasekan pada hal yang remeh temeh dan abai pada yang mendasar ya karena model ini.

Sejatinya, tidak pas juga sih aksi-reaksi dibalas lagi rereaksi, jadinya polemik dan tidak selesai-selesai, apalagi rekaman dunia maya demikian panjang dan abadi. Lihat saja peristiwa 2020 dengan tiba-tiba dibalas dengan kisah 2013. Baik juga agar orang bisa berkaya dan tidak menjadi terlena, masalahnya adalah mau tidak  becermin, atau malah nyolot dan melebar ke mana-mana.

Hasil survey itu bukan sebuah jawaban yang valid ketika kita sama-sama tahu dan paham model survey kita. Namun masih bisa sedikit lah dijadikan rujukan, dengan fakta yang ada pula memang demikian adanya. Apapun toh akan ada reaksi sebaliknya. Baik aksi dan reaksi itu pada koridor dan tema yang sama. Apa yang terjadi biasanya adalah orang bereaksi dengan balik menuding dengan fakta yang tidak berkait. Ini masih bisa dipahami, kadang lebih parah malah ketika melebar dan membawa ke mana-mana.

Mirisnya biasanya bicara data lari pada pribadi, kemudian agama, afiliasi politik, dan akhirnya tidak karu-karuan. Polemik demi polemik dan menguap begitu saja. Ini brisik, mengganggu tanpa dampak yang baik bagi hidup bersama sebagai sebuah bangsa.  Perlu disadari dan dijadikan kehendak baik bersama untuk diakhiri. Ribet  dan ribut yang tidak berguna.

Apa hasil survey ini Pak Beye dan pihak istana tidak tahu? Ah mosok sih, sangat mungkin sih akses begituan tidak sampai tangan presiden. Tim-tim mereka akan menghalang-halangan adanya pendapat atau hasil survey yang tidak menyenangkan. Era internet sih susah, jadi sangat mungkin tahu, namun Pak Beye sudah lupa. Iyalah  tujuh tahun lho.

Dua hal pernyataan Pak Beye terbantahkan dengan rilis survey ini, benar lembaganya bukan lembaga elit, toh boleh saja dijadikan sebuah "tanda" dan pernyataan dari komunitas bangsa ini seperti apa. Pak Beye pernah mengatakan jika sebagian besar bangsa ini masih menghendaki beliau jadi presiden lagi. Lah apa iya ketika pemerintahannya dinyatakan paling korup kog masih dikehendaki.

Fakta pendukungnya adalah, ketika Partai Demokrat tidak banyak beranjak dari angka itu-itu saja dalam pemilu. Artinya kepercayaan pulik juga tidak tinggi. Lha warga mana lagi yang menghendaki jika demikian?

Soal kedua yang terjawab ya soal kekurangan apa dalam kepemimpinannya. Kurang menjadi 100% orang menilai korup begitu? Ah tidak juga, berarti ada yang tidak disadari dan atau tidak diketahui Pak Beye? Aneh sih jika zaman internet begini masih ada yang kececer. Sangat mungkin dengan model pendekatan Pak Beye.

Keyakinan bahwa satu lawan terlalu banyak dan 1000 kawan kurang ini bisa membawa jatuh pada sikap permisif atas banyak hal. Termasuk tidak tega untuk bersikap tegas pada hal yang esensial, demi pertemanan. Hal baik yang bisa berdampak buruk. Risiko pemimpin itu ya tidak disukai, dan itu bukan karena buruk atau salah, malah karena kebaikan.

Anak buah dan bawahan sangat mungkin bermanis muka demi mendapatkan dan memberikan simpati dan menjadi kawan. Mana ada yang suka menjadi lawan bagi pemimpin. Risiko ini juga menjadi susah dan ribet. Bagaimana tidak susah, membedakan mana yang tulus mana yang maaf menjilat demi jabatan dan proyek tentunya.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun