Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sensasi Bukan Prestasi, Anies Baswedan dan Belajar dari Kalista dkk

15 Maret 2020   07:34 Diperbarui: 15 Maret 2020   07:43 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu lalu, Kalista yang dalam penampilannya gagal hafal Pancasila oleh MPR ditunjuk menjadi Duta Pancasila.  Ini bukan satu-satunya, atau pertama kalinya, bahasan lebih lengkap seperti dalam artikel ini nih.

Hal yang selalu saja terulang. Pun yang lebih miris juga ada, ketika artis melawan petugas yang mengatur demi tertib hidup bersama. Ujungnya juga menjadi duta. Lebih lengkap dalam bacaan ini.

Bangsa kog suka sensasi bukan prestasi. Lihat apapun dalam lapisan hidup berbangsa ini, apapun bentuknya jangan berpikir soal isi dan prestasi. Ciptakanlah kontroversi dan akan viral kemudian bisa menjadi apa saja. Lihat Jokowi dengan segala model pendekatannya, begitu banyak penolakan. Salawi seolah menjadi bagian hidup bangsa ini setiap saat.

Menteri yang bekerja baik, pun kepala daerah, contoh konkret Ahok, begitu banyaknya yang memusuhi dan menjadi sasaran tembak untuk dijatuhkan dan diganti. Pernah dengar tidak kepala daerah yang tidak kerja, malah mengurus bisnisnya menjadi pihak yang diwacanakan untuk diganti? Sama sekali tidak.

Posisi prestasi dan buah kerja keras dalam bangsa ini malah terlupakan, jadi sorotan miring, dan orang yang sama sebenarnya. Lihat dan bandingkan Sri Mulyani, atau Susi Pudjiastuti dengan Prabowo saat ini? Tidak ada satupun yang mengusik keberadaan menteri nol kinerja. Mengapa?

Anak bangsa ini terlalu banyak yang miskin prestasi dan hidupnya jauh dari esensi. Apa yang dilakukan justru yang tidak penting dan mengurus yang tidak penting juga. Berat menganimasi orang untuk bisa bekerja. Lebih enak itu ndelok, kendel alok, berani berkomentar, hanya sebatas itu. Jangan bicara kemampuan.

Habibat kita, diperparah dengan penjajahan oleh bangsa level bawah membuat kita makin suka sebatas sensasi. Jika melakukan perlawanan itu adalah sebuah prestasi. Padahal apa yang dilakukan belum tentu benar dan tepat secara umum. Berkaitan juga dengan literasi.

Apakah bangsa ini krisis identitas dan warga negara berkualitas? Jelas tidak. Namun kebanyakan elit dan yang memiliki kewenangan itu juga prestasinya sebatas sensasi. Mana mungkin orang demikian akan memilih yang lebih baik? Jelas tidak. Akan memilih yang di bawahnya. Demi menutupi kekurangan dan kelemahannya.

Prestasi Versus Sensasi

Hampir semua panggung menyuguhkan ini. Lihat dalam  kampanye-kampanye, apa yang mereka sampaikan hanya sensasi. Mendengarkan capaian mereka tetap saja tidak mau tahu. Susah mencerna kebaikan.

Media hiburan apalagi. Artis banyak sensasi namun jauh lebih laku dan mahal honor main atau tampil. Demi iklan album atau filmnya mereka tidak segan membeberkan aib keluarga yang paling intim sekalipun. Miris, kapan bicara Oscar atau yang lain, jika hanya mengandalkan sensasi begini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun