Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sensasi Bukan Prestasi, Anies Baswedan dan Belajar dari Kalista dkk

15 Maret 2020   07:34 Diperbarui: 15 Maret 2020   07:43 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Click bait dan mengabdi klik dan hits seolah membenarkan judul bombastis dan pokok akan menarik orang untuk membaca. Miris ini seolah menjadi gaya termasuk beberapa media mainstream sudah kemasukan pengabdi hits ini. Kaitannya memang dengan iklan dan pemasukan tentunya.

Syukur bahwa Kompasiana masih cenderung lebih baik. Pilihan judul yang tidak sesuai akan diganti. Kata makian dan kasar dalam judul tidak akan bisa tayang. Mirisnya, media lain yang menggunakan kata-kata provokatif dalam judul malah tingkat share-nya tinggi.

Miris jika melihat artikel yang dibagikan orang lain itu kog dari media itu yang begitu kasar dalam memilih kata, dan isinya jauh lebih baik dari yang ada di Kompasiana. Tentu ini bukan membela karena aktif di sini. Jika tidak percaya lihat saja.

Lomba-lomba anak-anak atas nama kasihan dan menggunakan demi pendidikan memberikan penghargaan bagi yang kalah. Lah kalah kog diberi penghargaan, jelas tidak adil bagi yang menang to.

Mengapa demikian?

Pendidikan kita abai prestasi. Rangking menjadi pedoman, tanpa mau tahu proses yang berjalan. Dan mirisnya, kebocoran ujian ini dan itu sudah menjadi sebuah rahasia umum. Beberapa tahun lalu, ketika UN menjadi dewa pemutus keberhasilan, ujian bocor dan bahkan seolah sistem malah yang membuatnya. Nilai tinggi abai soal  upaya keras.

Suap dan nepotis untuk bisa menjadi ini dan itu. Paling murah jelas uang, kalau tidak ya cara-cara lain yang mungkin. Hal yang seolah lumrah terjadi. Yang tidak mau pakai, jangan harap. Apakah ini sudah bersih? Ada perubahan, namun sama sekali belum. Termasuk masuk sekolah lho. Atau menjadi guru.

Agama masih semata ritual, apal, dan label. Miris banget, ketika ayat suci bisa melantun dengan mudah, namun masih juga melakukan hal-hal buruk, bahkan jahat. Bagaimana bisa demikian, jika agama masih sebatas lamis. Hanya memperindah tampilan luar.

Kekacauan politik, agama, dan hukum. Penegakan hukum susah karena tekanan massa dengan label agama. Pun pendekatan agamis akan dibenturkan dengan politik dan hukum. Kekacauan ini perlu dijernihkan sehingga semua  menjadi ranah masing-masing. Ini bukan soal sekular, namun obyketifitas itu ya harus terjaga.

Perkembangan media sosial tanpa dibarengi kemampuan memilah dan memilih, sehingga orang cenderung viral menjadi tujuan akhir. Itu belum apa-apa, ketika moralitas, ranah etis malah diabaikan. Jangan melupakan kemanusiaan dan keadilan sosial demi viral.

Sikap batin, pola pikir menjadi penting, sehingga orang yang menjual sensasi tanpa esensi  akan tidak laku. Politik cemar asal tenar pernah berjaya, ketika diulang oleh Prabowo-Sandi syukur tidak berdaya guna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun