Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Waspada Kata Anies, Nikmati Ujar Sekda, Wujud Frustrasi Hadapi Banjir?

27 Februari 2020   19:05 Diperbarui: 27 Februari 2020   19:05 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banjir yang berjilid-jilid ternyata juga membuat elit DKI frustrasi. Dua pernyataan yang hampir berbarengan  menunjukkan itu. Bagaimana tidak,  seorang gubernur bisa mengatakan waspada saja ketika menjawab pertanyaan jika hujan lebat lagi bagaimana. Atau nikmati saja banjir, karena Jawa Barat, Jawa Tengah, juga banjir. Badan kita 2/3 juga berisi air.

Seolah becanda. Mengapa? Kita lihat dari pernyataan gubernur. Waspada. Ini jelas usul asal-asalan semata.

Bagaimana waspada ketika keadaan itu sudah hancur-hancuran. Waspada itu ketika masih musim panas lalu. Cukup panjang kemarau dengan mengeruk kali, got, dan sebagainya. Bagaimana bisa waspada padahal sudah banjir lebih dari lima kali? Mau apa lagi? Atau toh orangnya belum hanyut begitu? Padahal banyak yang teriak, mengatakan, capek belum hilang sudah harus bebersih lagi. Rekan lain menyebut kalau hujan jadi cemas.

Rekan lain berkisah, sudah mulai menata hidup lagi usai banjir, beli perabot seadanya dulu, eh kebanjiran lagi. Teman yang lain perlu berpikir ulang untuk pindah lagi, padahal sedang merasa nyaman bebas dari teror banjir.

Waspada macam apalagi jika demikian? Wong sudah habis-habisan. Waspada itu ada pada awal, bukan di tengah-tengah. Jika benar bekerja, sejak musim kemarau yang sangat panjang itu ada antisipasi. Pembersihan kali jelas mendesak. Susahnya adalah tidak mau membuat gebrakan yang bisa merugikan. Akhirnya ya sudah pembiaran. Dan kini panen.

Kata  waspada itu juga berkaitan dengan perencanaan, dan anggaran. Ada ungkapan sedia payung sebelum hujan. Nah apakah kalau payungnya tidak punya atau sudah rusak tidak perlu membeli yang baru? Dan nyatanya anggaran dikurangi dengan cukup signifikan. Pompa banyak yang mati dan ngadat, tidak ada perawatan yang mewadai. Tim pembersih yang sudah terbukti efektif sudah dibubarkan.

Melihat itu semua, apa yang perlu diwaspadai lagi? Semua kewaspadaan itu terlambat. Dan tampak tidak ada aksi nyata yang telah dan akan dilakukan. Selain hanya menetaskan kata-kata, istilah konyol, baik sendiri atau kata stafnya.

Untung tidak memiliki wakil, jika ada satu lagi kelucuan akan tampil.  Syukur ada hikmah di balik telat mengangkat wakil jadi tidak menambah mual pemberitaan. Meskipun sebenarnya ini juga masalah yang gede.

Provinsi lain juga banjir. Benar ada banjir di tempat lain. Namun sikap pemimpinnya normal. Maaf atau kalau mau kasar bersikap waras. Gubernur Ganjar meminta maaf, dan juga merasa bertanggung jawab bukan malah melempar kepada pihak lain. Toh Semarang jauh lebih baik penanganannya, bandingkan Jakarta dengan bantuan pusat dan juga bertahun-tahun sudah selesai, dan kini balik lagi.

Apa yang terjadi itu bukan hendak menyalahkan Anies saja, namun bagaimana sikap Anies, ingat ini sikap, dan pilihannya yang tidak mau berubah. Sikap merasa benar dan pihak lain salah. Ini memualkan. Faktanya kesalahan ada pada pengelolaan Jakarta. 

Foke dan seterusnya tidak sebanyak Anies kritikannya karena era itu belum ada tanda-tanda lebih baik untuk mengurangi banjir. Jadi rakyat tidak tahu bahwa sangat mungkin bisa lebih baik. Foke dianggap ya sudahlah seperti biasanya. Apalagi menyalahkan pihak lain.  Padahal  periode lalu, sudah sempat membaik dan ada harapan akan terus lebih baik, ada perencanaan matang.

Menikmati karena tubuh sebagian besar air. Entah mau bicara apa menanggapi hal ini. Bagaimana bisa berkata demikian, di tengahair yang membawa ikut serta barang-barang.  Perabot itu kalau tidak hanyut, juga rusak. Menikmatinya bagaimana coba? Atau sambil ngopi di atas kasur basah begitu?

Atau sambil menonton televisi yang mati karena sudah terendam air, dan pura-pura ada gambarnya? Lha apa bedanya dengan maaf orang di rumah sakit jiwa. Menikmati kehancuran yang berulang dalam waktu singkat. Ini maaf apa bukannya masochis atau maniak?

Jelas mereka orang cerdas dan juga normal. Tidak ada gangguan apapun dalam diri mereka. Masalahnya mereka harus berpendapat, padahal bisa saja menolak wawancara dan katakan, tidak perlu banyak kata, kami kerja saja, jauh lebih keren. Atau memang tidak bekerja? Jadi banyak omong untuk menutupi itu?

Frustrasi sangat mungkin. Ungkapan-ungkapannya banyak yang asal-asalan. Nunggu laut surut, siap mengosongkan kali, atau warga bahagia kog. Ini bukan lagi kampanye asal tenar meski cemar. Kini sudah belepotan kog. Jauh lebih realistis jika mereka bingung.

Curah hujan yang makin tinggi, intensitas lama, dan juga berulang-ulang. Fakta terkuak mereka selama ini aslinya tidak bekerja. Untuk menutupi itu semua ya asal bicara.

Kekacauan demi kekacauan ini karena mereka tahu bahwa tidak ada persiapan sama sekali. Lha waspada kan di depan, bukan setelah kejadian. Mau menikmati apa dengan banjir yang terus menerus itu.

Pembelaan demi pembelaan juga tidak menambah baik karena sama kacau dan ngacaunya. Nambah pusing.   Jika frustrasi sangat wajar. Tekanan massa dan media, dan  keadaan yang makin tidak mudah. Sendiri lagi.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun