Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hati-hati Bicara pada Ibu Hamil dan Usai Melahirkan

24 Februari 2020   09:56 Diperbarui: 24 Februari 2020   10:00 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pas lagi membuat renungan, ada chat masuk. Ternyata dari seorang  K-ners.. Mau mampir karena melayat ke tempat adiknya di barat Rawa Pening. Kisah yang cukup memilikan. Ponakannya yang baru berusia seminggu meninggal. Kisah akhirnya mengalir mengapa dan layak jika menjadi sebuah pembelajaran bersama.

Beberapa waktu lalu, membaca kisah dalam sebuah postingan media sosial, di mana sebuah keluarga itu yang bahagia dengan kehadiran buah hati tiba-tiba berubah. Si ibu baru ini menganiaya si buah hati. Seolah ada permusuhan. Si suami tidak paham dan sempat marah karena melihat istrinya  membahayakan bayinya di bak mandi.

Pas dibawa ke psikolog, ketahuan ternyata, ketika ia bekerja dan si ibu bersama mertua atau kerabat dari si suami. Si istri ini selalu "diceramahi" dengan kata-kata yang membuat si ibu ini tertekan. Lupa persisnya, entah karena jenis kelamin atau apa, yang jelas membuat si ibu sangat tertekan. Si buah hati yang menjadi tertuduh dan alasan untuk kemarahan yang tertekan.

Kisah yang sama ini juga dibagikan rekan ini, ketika adiknya malah menerima perlakuan yang sangat memberatkan. Persoalan ekonomi yang tidak disikapi dengan semestinya. Ada keyakinan bukan ada anak ada rezeki, eh ini malah ada ungkapan, mangan ae kangelan malah meteng. Jauh lebih kasar bahasa yang dibagikan, saya tidak tega untuk mengatakannya.

Bayi yang lahir baik-baik saja itu, seminggu kemudian meninggal. Miris mendengarnya.

Tetangga, berpuluh tahun lalu, melahirkan. Almarhum ini sampai akhir hayat mengidap gangguan  kejiwaan, ketika melahirkan dituduh bahwa uang sumbangan kelahirannya dibawa pihak atau keluarganya pulang. Padahal jelas secara finansial itu mampu pihak mereka dari pada suami. Karena takut dengan kakak ipar. Si tetangga ini hanya diam dan menangis, hingga berpuluh tahun dan meninggal dalam keadaan goncang jiwanya.

Kisah sedikit identik, dibagikan dalam media sosial. Mengapa si anak susahnya minta ampun. Adanya adalah penolakan dan sikap membangkang yang lebih dominan. Ternyata oleh psikolog ketemu bahwa sejak dalam kandungan orang tua mereka memang tidak menghendaki kelahiran si anak dengan berbagai argumen. Ada beberapa kasus dengan alasan yang berbeda namun perilaku anak mirip di kemudian waktu.

Dari ketiga kisah kasar di atas, ada beberapa hal yang patut dilihat;

Keadaan ibu hamil, ibu melahirkan, dan juga bayi sangat dini itu memiliki keadaan jiwa yang sangat riskan. Mereka labil dengan berbagai keadaan. Nah ketika ada kata-kata, perilaku, dan tindakan tidak mampu mereka hadapi, sangat mungkin akan menyasar pada sisi  kejiwaan mereka. Nah ketika jiwa mereka memang tidak kuat, akan ada reaksi yang kadang tidak kita duga.

Pun anak, bahkan janin memiliki juga perasaan. Penolakan yang terus menerus bisa membuat si anak bahkan janin itu tidak sehat.  Dalam sebuah daerah dan suku, mereka tidak menebang pohon, namun mereka mengeliling dan menghujat pohon itu terus menerus. Dan tidak lama kemudian pohon itu mati.

Kata-kata, kalimat, dan ungkapan-ungkapan buruk yang janin dan bayi terima tentu membawa dampak juga. Miris sebenarnya, apalagi era modern ini namun masih mendengar berita, kisah, dan cerita, yang kadang kita alami seperti kisah di atas. Beragam informasi tersaji, tersedia, pembelajaran yang sejatinya berlimpah itu ternyata tidak terserap dengan baik. Mungkin juga membaca, namun tidak menerapkannya.

Kadang juga turut membagikannya, namun abai ketika menghadapi. Kalimat sarkas, kata-kata menyakitkan  pada ibu hamil dan melahirkan itu berdampak luas. Ada dua pribadi yang kena. Ini masih demikian banyak lho, dan belum tentu si ibu dan bayi itu memiliki mental kuat.

Diperparah jika laki-laki itu lemah dan meminta istrinya mengalah, dan membiarkan keluarga istrinya berlaku semau-maunya. Mengalah dan mengampuni itu benar dan baik. Jika memang mampu dan bisa kuat menanggungnya. Mengapa? Karena bersikap cuek dan menerima hal yang tidak penting dna tidak benar sebagai fakta itu belum tentu semua orang mampu.

Bagi ibu hamil dan melahirkan, banyak-banyak membaca dan berdoa, jika memiliki kerabat atau keluarga terutama dari pihak suami yang banyak omong buruk, latihan tidak mendengarkan. Sepanjang tidak berdasar, ya sudah anggap saja tidak penting. Mengapa demikian? Menjaga kesehatan badan untuk dua orang saja sudah susah, apalagi menjaga hati.

Kadang budaya kita juga lemes, mudah bicara yang kadang dianggap guyonan, namun dalam kondisi tertentu sangat sensitif. Jenis kelamin bayi, itu juga menyakitkan kadang, warna kulit, atau tinggi atau berat badan. Sebenarnya hanya basi-basi, namun kadang bisa menjadi luka batin seumur hidup.

Jadi belajar untuk hati-hati jika berhadapan  dengan keadaan demikian. Kadang  berfikir sangat dangkal dan menyederhanakan persoalan. Faktual tidak mesti  juga diungkapkan dengan lugas dan vulgar. Ada teposelira untuk menyatakan. Kehati-hatian dan kebijaksaan menjadi penting. Bicara dulu jangan menjadi budaya, pikir dulu baru omong menjadi penting.

Ikut berduka, bagi kelurga yang mengalami kondisi demikian, dan semoga kita bisa belajar dan tidak ikut menjadi penyebab kondisi yang tidak diinginkan. Pembelajaran yang mahal dan miris.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun