Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebebasan Pers ala Habibie dan Pencabutan Penghentian Audisi Djarum

12 September 2019   19:08 Diperbarui: 12 September 2019   20:25 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berita duka datang  karena Prof BJ Habibie, presiden ketiga RI meninggal. Ikut berduka dan damai abadi untuk Almarhum. Di balik itu ada khabar suka cita, bukan dalam arti tidak menghormati Bapak Habibie dan keluarga, namun bahwa khabar KPAI menarik rekomendasi itu juga khabar bahagia.

Beberapa hal yang patut dilihat lagi adalah sebagai berikut:

Presiden ketiga inilah yang membuat pres, kebebasan berpendapat, dan  penerbitan demikian bebas.  Dan di sinilah peran almarhum memberikan dampak luar biasa. Selanjutnya nanti  pembahasan lebih lengkap dan luas.

Keberanian memutuskan adanya partai politik yang tidak hanya tiga seperti guru politiknya. Almarhum menyatakan kalau almarhum Soeharto adalah guru politiknya yang utama. Hal yang sangat wajar karena alharhum Haabibie bukan seolah politkus, namun teknokrat dan lebih cenderung bukan orang politik.

Demikian banyak akun media sosial membagikan kisah bagaimana almarhum BJ Habibie dipermalukan dalam sidang pertanggung jawaban MPR. Penolakan pertanggungjawaban masih wajar dan normal, namun ketika datang tidak berdiri, apalagi ada ungkapan huu, itu memalukan. Kualitas dewan yang terhormat ternyata sedemikian rendah. Saat itu belum demikian paham politik, dan baru tahu.

Sikap itu nemperlihatkan bagaimana kualitas dewan dan majelis ternyata sama buruknya. Siapa yang membuat mereka bisa duduk di sana? Jelas sedikit banyak perlu dan membutuhkan presiden. Sikap rendah yang memalukan itu adalah dalam sejarah kelam bangsa ini. Keteladanan   bagus justru ditampilkan  almarhum dengan tetap tersenyum dan tidak menjadikan itu sebagai beban baginya.


Berkaitan dengan KPAI, dan point awal yang mengatakan akan lebih luas. Bagaimanapun karena alhamrhum BJ Habibielah kini kebebasan berpendapat bisa mendapatkan panggungnya. Susah dan entah bagaimana jika era masih sama, di mana berpendapat berbeda adalah bui atau hilang tak berbekas.

Keputusan KPAI itu jika bukan karena tekanan publik melalui media dan media sosial kog susah akan berubah. Melihat betapa sengitnya narasi yang ada, dan sikap PB Djarum yang juga tegas mundur itu memperlihatkan kondisi sudah akan terjadi demikian.

Pro dan kontra itu hal lumprah dalam alam demokrasi, namun jika berimbang seperti kemarin, belum lagi adanya isu soal konspirasi dagang internasional, kepentingan politik kelompok terlarang yang cukup kuat juga terasa, sangat susah ada perubahan tanpa tekanan publik.

Boleh dan sah-sah saja bahwa ada narasi ekspolitasi anak, namun apa iya demikian itu, apakah sudah ada survey dan mempertanyakan kepada anak-anak ada paksaan atau malah suka cita? Salah satu fakta yang mau memperlemah jika PB Djarum buruk namun malah memperkuat dinyatakan Yayasan Lentera Anak, di mana ada peningkatan signifikan antusiasme peserta.

Mosok kalau peserta itu banyak dan meningkat malah bukti kalau ada eksploitasi? Yang benar saja, apalagi jika kelucuan lain malah dengan mengatakan kuota yang terbatas. Lha ya iyalah kuota beasiswa ya terbatas. Kalau semua diterima itu bukan seleksi namanya pendaftaran. BLT saja ada seleksi.

Ketua KPAI mengatakan, secara tidak langsung anak didekatkan pada rokok dan akan tergoda. Kog identik dengan pernyataan seorang pendidik yang mengatakan melihat salib dan peserta didiknya imannya akan goyah ya?

Kedua kelucuan lain, mosok beasiswa menjadi atlet kog merokok. Logis, atau maaf dongok ya? Apalagi sudah ada pernyataan akan membuang segala sesuatu yang akan mengaitkan itu dengan rokok.

Ketiga, apa iya orang atau anak dekat dengan rokok pasti suka rokok. Bisa saja menjadi antirokok. Saya contohnya, bapak dan kakak-kakak laki-laki perokok berat semua, sejak kecil biasa dimintai membelikan rokok ke warung dan sama sekali saya malah gak suka rokok.

Keempat, mengambil keputusan sebesar komisi negara kog berdasar asumsi mentah, bagaimana kredibillitasnya bisa diertanggungjawabkan. Harusnya berdasar survey, berapa anak ikut audisi menjadi perokok dan terpengaruh oleh aktivitas itu akhirnya merokok.

Kelima, survey juga berapa anak yang ingin menjadi atlet dengan audisi itu, berapa yang dipaksa bapak dan emaknya, apalagi jika dipaksa PB Djarum. Nah kalau ini terjadi, seperti dalam perdagangan anak, mana ada anak yang rela diperdagangkan, pasti tidak akan ada polemik berkepanjangan.

Keenam, keputusan yang dicabut inipun sejatinya buruk. Bagaimana tidak, rekomendasi eksploitasi itu serius, bukan hal yang sepele. Mengapa bisa dicabut dan seolah hal yang biasa saja? Ini mana yang benar, jika ada eksploitasi buktikan, jikatidak, mengapa sampai keluar pernyataan yang lampau. Soal rokok memang tidak menjadi demikian penting, karena memang salah.

Ini semua berkat perjuangan almarhum BJ Habibie yang membuat bangsa ini merdeka dalam bersikap dan berpendapat. Jika tidak ada upaya beliau dan masih dalam sistem otoriter, komisi itu tetap dengan pendapatnya dan rakyat tidak bisa berupaya untuk memberikan tekanan dan koreksi atas kesewenangan lembaga negara.

Terima kasih Prof BJ Habibie, dan selamat jalan menuju kepada keabadian dan kemuliaan. RIP Presiden.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun