Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Memang "Teroris" Kok

18 Maret 2019   08:11 Diperbarui: 18 Maret 2019   08:19 1466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Judulnya langsung dalam tanda petik, biar tidak ada yang ngamuk merasa dijebak. Artikel  tema ini kali kedua saya buat. Mengapa? Karena memang penting dan patut menjadi perhatian bersama. Pemimpin itu jangan pernah takut, bahkan terhadap teror sekalipun.

Beberapa tahun lalu, ketika ada bom meledak di Tamrin, tanpa lama presiden minta untuk datang ke lokasi. Pejabat kepolisian yang memiliki tanggung jawab besar atas keselamatan presiden, negara, dan juga warga tentu keberatan.

Presiden mengatakan, Kami Tidak Takut, dan benar-benar datang, dan itu membuat pelaku teror terbungkam. Mengapa? Teror  jelas upaya untuk menciptakan ketakutan apapun caranya. Dan ketika efek ketakutan yang mau dibuat itu telah dihadapi dengan berani, jelas mereka akan patah semangat.

Cukup lama aksi teror tidak lagi menjadi momok yang sangat lagi. Baru terulang setahun kemudian. Bukannya merasa bersyukur ada bom lagi, tetapi bahwa tidak semeriah era-era sebelumnya. Efek berani menyatakan terbuka tidak takut itu menjadi penting.

Kedua, ketika mau berkunjung ke Afganistan, bom meledak, banyak pihak melarang ke sana. Keselamatan jelas menjadi perhatian utama. Toh baik-baik saja, bahkan mendapatkan pujian dan respek dari negara sahabat tersebut.

Afganistan, soal bom, mortir, dan peluru akan sama dengan peliknya bicara motor di Indonesia, saking banyak dan masifnya keberadaannya. Jadi bukan soal ketembak itu karena alasan pasti poliik atau keamanan, bisa sangat mungkin tidak sengaja.

Ketiga, paling baru, pilihan sangat memuaskan, ketika presiden membantah kapolri untuk tetap datang ke Sibolga. Padahal baru saja ada terduga pelaku perakit bom tertangkap dan istri terduganya meledakan bom di rumahnya. Jawaban, saya mau bertemu rakyat sendiri mosok takut, ke Afganistan saja berani.

Lihat point pentingnya. Soal akan ada yang mengatakan presiden tidak mau tahu susahnya paspamres, ya lihat saja juga kepentingan rakyat di sana. Kedatangan presiden akan membuat lingkungan itu merasa disapa, diperhatikan, dan dikuatkan untuk tidak takut.

Sapaan dari presiden, bapak, dan pimpinan sekaligus jelas membuat mereka bisa kembali untuk tegar, berani menghadapi masa depan, dan kembali beraktifitas dengan tidak lagi takut. Ini penting. Soal paspamres memang kan tugasnya demikian, dan mereka tentu tidak keberatan melihat kepentingan yang jauh lebih besar.

Efek ketakutan, permusuhan, dan sikap saling curiga itu bisa disingkirkan. Presidennya saja berani, mengapa rakyat harus takut. Ingat ada lho presiden saja takut setengah mati pada letusan gunung sehigga pas berkunjung perlu pengamanan luar biasa. Nah apa ini paspamres dan protokoler tidak heboh dan susah, kepentingan rakyat apa presiden?

Melawan upaya menakut-nakuti dengan keberanian itu penting. Orang yang ketakutan terus tidak akan maju-maju. Lihat saja bangsa ini stagnan puluhan tahun karena ketakutan yang memang diciptakan era Orba. Hantu komunis adalah teror mengerikan hidup berbangsa.

Hadapi teror dengan keberanian. Adanya upaya menakut-nakuti tidak akan mempan, apalagi jika pendidikan membawa sikap kritis. Pun menglaim negara religius namun abai akan sisi spiritualitas, apakah ini yang namanya beragama dan beriman baik. Jelas bukan. Keberanian menghadapi keadaan sulit itulah iman.

Apalagi jika dikaitkan dengan teror yang selalu saja berselisih soal agama. Ketika agama yang sama sebagai pelaku akan  ditolak dan itu bukan ciri agama kami. Namun ketika agama yang sama menjadi korban, agama pihak lain dituding sebagai pelaku dan agamanya dikaitkan.

Teroris itu bukan pertama-tama soal agama. Namun perilaku fanatis sempit dengan agama sebagai kedok. Ketamakan dan merasa diri paling hebat itu esensi agama. Padahal jika beragama dengan baik dan benar akan semakin rendah hati dan melihat kebaikan pada sisi siapapun dan apapun, bukan malah sebaliknya.

Agama para pelaku adalah dalih untuk mendapatkan simpati dan pembenar atas aksi mereka yang sejatinya adalah ketamakan dan gila kuasa atau  pengaruh. Lihat sama sekali bukan soal agama, namun mereka bersembunyi dalam kerudung agama biar aman dan mendapatkan pujian dan simpati saja.

Pilihan presiden paling tidak dalam tiga kali kasus khusus itu membuat kita belajar. Bukan soal hujat menghujat, atau prihatin dengan konferensi press segala, namun keberanian datang kepada korban. Simpati, empati, dan penghiburan bisa meringankan beban. Mungkin saja bisa melunakan hati yang sedang buta karena sempitnya memahami agama. Sangat mungkin.

Menciptakan ketakutan ya dijawab dengan berani, bukan malah ketakutan juga, jika demikian, akan sukses dan itu hasil gilang gemilang bagi para pelaku teror atau teroris. Ketika diteror bersembunyi di bawah kolong, ya akan meraja lela.

Berani atau takut itu pilihan dan pilihan untuk berani itu penting. Sikap pemimpin yang seperti itu menjadi pembeda yang sangat baik bagi hidup berbangsa. Pelaku kekurangan oksigen karena minim dukungan dan hasil yang diharapkan, para korban dan lingkungannya pun akan kembali pulih untuk melawan potensi teror berikutnya.

Pilihan makin jelas, siapa yang berani. Ini bukan soal badan besar namun soal nyali. Jokowi sekali lagi dengan wakil presiden mumpuni KH Makruf Amin tentunya.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun