Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pepes, Sidang Perdana RS, dan Spiritulitas Pemimpin Koalisi 02

1 Maret 2019   17:56 Diperbarui: 1 Maret 2019   18:03 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Miris membaca pemberitaan mengenai anggota Pepes, mak-mak bertiga yang menjadi tersangka dalam kampanye hitam. Apalagi ketika salah satu ibu dari mak itu mengungkapkan sesalnya dan permohonan maaf Pak Pak Jokowi. Memohon dimaafkan, anaknya itu  tidak tahu apa-apa, hanya terbawa suasana politik, katanya, anaknya masih kecil dan suaminya menderita.

Kemarin, salah satu kehebohan politik dan kampanye adalah kisah RS yang oplas mengaku dipukuli orang. Dan ketika terkuak bahwa itu akal-akalan, semua balik badan dan tidak ada yang mau mengenal lagi. Toh demikian, di dalam persidangan masih merasa bagian keluarga besar 02. Baguslah jika masih memiliki konsistensi, meskipun keliru ya bolehlah.

Beberapa sikap yang patut menjadi pembelajaran dari kedua kisah tersebut adalah;

Perilaku munafik. Bagaimana kalau untung adalah teman, kalau tidak dapat apa-apa, apalagi rugi adalah bukan siapa-siapa. Hal mana   itu nampak dengan gamblang yang mereka lakukan. Ada yang menyebut RS adalah mak lampir ketika ada urusan di lokasi yang sama. Bagaiamana bisa sikap demikian, menghina rekan sendiri, apa ada sih mantan rekan sejatinya?

Ada pula yang "melarang" untuk menggunakan jari untuk memperlihatkan dukungan pilihan politiknya. Coba bayangkan kalau teman saja diperlukan demikian. Sikap main dua kaki dan meninggalkan kawan perlu menjadi perhatian khusus bagi pemilih. Apalagi status ketua MPR.

Perilaku tidak memikirkan akibat. Contoh konkret bagaimana melakukan tanpa berpikir panjang. Konkret mak mak kampanye yang sekaran ibunya menyesal. Coba apa tidak memikirkan perasaan Pak Jokowi dan keluarganya. Apa hanya mereka saja yang punya keluarga dan perasaan?  Kalau Jokowi harus memaafkan, apakah dampaknya besar atau tidak, bahkan itu bagi bangsa dan negara pun tidak menjadi pertimbangan. Tidak kemudian "menjual" derita dan malah seolah-olah malah Pak Jokowi yang bersalah.

Hal yang sama juga dilakukan kelompok yang mendengungkan kisah RS, di mana mereka abai akan klarifikasi, namun sudah heboh bahkan dengan konferensi press segala. Padahal dampaknya mengerikan jika polisi tidak cermat dan cepat bertindak.

Abai kawan, apalagi lawan. Sikap identik dipertontonkan BPN. Mereka menolak kenal dan dikaitkan dengan yang berkasus, baik mak-mak pepes ataupun RS. Susah juga melihat mereka bisa menghargai dan respek pada rival.

Lihat bagaimana lagi-lagi ketua MPR mempertanyakan kalau Jokowi juga tidak bisa menghitung panjang jalan. Padahal kan sederhana, bagaimana perencanaan dan pertanggungjawaban proyek yang berjalan kan ada. Dari sana ada panjang yang direncanakan dan kemudian terealisasi.

Sama bodohnya dengan yang menghitung dengan mengeliling bumi itu. Mengapa jadi bloon? Hanya karena kebencian semata. Akal dan nalar sehat dan sederhana saja tidak mampu diketengahkan.

Sikap bertanggung jawab. Perilaku dan pernyataan yang sering tidak karuan, bahkan melanggar hukum sekalipun, menebar kebohongan, fitnah, dan kebencian, ketika dijadikan kasus dan adanya proses hukum nada dasar yang sama kriminalisasi, pemerintah otoriter, dan sejenisnya. Perilaku ugal-ugalan dan ngawur ini seolah telah menjadi SOP dan kebijakan perilaku mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun