Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Jadulnya Capres Kami

22 Februari 2019   11:08 Diperbarui: 22 Februari 2019   11:23 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Jadulnya Capres Kami

Berbincang dengan sobat Kompasiner, dinyatakanlah, kalau sejatinya memiliki uneg-uneg mengenai jadulnya capres kali ini. Jauh sebelum debat malah, karena belum ada mood dan badan gak enak, akhirnya saya artikelkan saja. Dan sudah disetujui tentunya. Jadul, jaman sebenarnya zaman dulu banget, di dalam banyak hal. Pola pikir, pakaian, kesukaan, perilaku, dan yang terbaru soal onlen.

Sebenarnya bukan mau membuat dikotomi dengan sadis dan sarkas, tetapi lha ternyata memang demikian adanya. Lha putera semata wayangnya saja meminta untuk menanggalkan gaya berpakaian safari. Itu memang pakaian kebesaran bagi Bung Karno, tetapi kan abad lampau. Memang pakaian bukan tolok ukur, namun bisa menjadi cerminan pola pikir dan alam bawah sadarnya.

Sedikit demi sedikit juga mulai terkuak dan menemukan fakta satu per satu, bagaimana pilihan baju atau pakaiannya itu benar selaras dengan pikirannya. Beberapa kali memilih ungkapan pesimis, miskin data, merendahkan, yang khas perilaku jadul. Di mana seperti penjajah atau raja yang apa yang dikatakan adalah "sabda" kebenaran, dan yang dituding itu pasti salah dan kalah.

Beberapa yang bisa disebutkan sebagai bukti, kalau mau mencari akan dengan sangat mudah diperoleh. Beberapa kali mengolok dan bercanda dengan nada sarkas bagi warga Boyolali, wartawan, dan juga Grobogan.  Tidak patut, guyon ala elit ya tidak begitu lah.

Atau miskin data dan cenderung asal-asalan. Dalam alam pikir modern begini, ya dilibas karena banyak  pihak yang melek data. Soal hutan dan tenaga kerja asing yang selalu didengung-dengungkan. Ini jelas mudah dipatahkan, malah disinyalir ia sebagai salah satu pelaku penggunaan TKA. Atau  1% elit menguasai kekayaan negeri ini, di acara resmi debat capres pengakuan bahwa benar ia memiliki ratusan ribu hektare tanah. Apa yang ia nyatakan ternyata ia juga alami sendiri. Lagi-lagi jadulnya perilaku model pemimpin seperti ini.

Lebih memilih gaya retorika namun miskin data dan kehebohan saja. Kemudian dari kehebohan dan semangat berapi-api namun miskin esensi itu dijadikan bahan halusinasi yang diulang-ulang oleh para pendukung utama, yang itu-itu juga. Boleh orasi dengan gagah perkasa, membahana, membakar semangat, namun apa yang sudah dilakukan dari  apa yang ia retorikakan itu?

Sama sekali belum ada. Padahal banyak hal yang bisa dilakukan dan berdampak dengan baik. Contoh soal korupsi. Mengatakan stadium empat, namun lingkaran utamanya bisa menyandera Jakarta dengan DKI 02 sekian lama. Untuk apa berkoar-koar namun tidak bertindak konkret?

Nah paling memiriskan ini soal unicorn, yang online-online. Ini menjadi perbincangan dunia lho. Banyak yang tidak paham, itu benar, banyak yang belum tahu, iya, namun jika level capres, kemudian baru saja ada kehebohan dengan sangat masif dengan tema yang sama, kog masih juga tidak ngeh.

Artinya, lambat merespons isu di mana hal yang baru terjadi saja tidak mampu mengenali. Coba jika ia menembak Jokowi, mengapa pendukungnya marah hanya karena ada kata presiden baru, bisa menjadi point penting. Eh malah gagap dan akhinya menjadi masalah serius di kalangan milenial.

Ini soal serius, bangsa itu ke depan bukan mundur ke belakang. Apa yang akan dilalui itu depan dan itu harus dikenali, dipetakan, dan dijadikan bahan analisis. Bagaimana bisa berproyeksi ke depan, kalau pola pikir dan pola tindaknya memang selalu di masa lampau?

Atau memang hanya mau menjadi presiden dalam tataran cita-cita anak-anak yang keren, seremoni hebat dalam upacara, peresmian ini dan itu. Pemimpin yang hanya memerintah dan menyuruh, namun tidak tahu apa-apa soal negeri ini dengan mendalam?  Retorika, kalimat bombastis, indah di podium, namun susah direalisasikan memang demikian. Dagaimana di depan petani mengatakan menaikan harga, di depan konsumen dan pedagang mengatakan menurunkan harga.

Atau di depan rakyat antiimpor, namun di depan penguasa asing menjanjikan investasi dan juga perdagangan internasional. Bagaimana bisa dua sisi berseberangan bisa menjadi  satu tindakan nyata jika demikian?  Apa yang dinyatakan itu susah dilakukan.

Pola pikir dan pola tindak model feodal, raja bukan presiden, apalagi era modern ini. Data mudah diakses, fakta di mana-mana, saksi pun demikian, namun perilakunya model lempar batu sembunyi tangan. Mana kelanjutan tudingan infrastruktur bocor 25% toh malah ngeles dengan yang punya data kan pemerintah. Lha yang dikatakan sebelumnya berarti asumsi omong kosong dan membual? Lagi-lagi tidak konsisten.

Pemimpin yang baik itu konsisten. Dalam ucapan, perilaku, dan juga kebijakan. Bagaimana di dua tempat yang berbeda dan waktu yang  belum cukup lama sudah berbeda sikap? Artinya konsistensinya rendah. Bagaimana menjaga negeri sebesar ini jika amnesia akut begitu?

Tanggung jawab. Nah mempertanggungjawabkan ucapan dan tidak hanya bicara membual saja. Pun jika bualan itu terbukti salah ya mau di bui jangan ngeles dan merasa kriminalisasi dan malah menimbukan fitnah baru. Hayo siap, atau siap menjawab dengan ngeles saja?

Visi ke depan. Memiliki visi ke depan berrti membaca, menelaah, dan berbicara masa depan dengan kca mata optimis, bukan pesimis dan mengatakan masa lalu saja. Ini penting, agar rakyat juga optimis, bukan malah takut dan khawatir dalam hidupnya.

Percaya diri dan menularkan optimisme, bukan ketakutan dan kecemasan. Selama ini siapa yang menebarkan ancaman, perilaku meneror, dan memiliki sikap  pesimis, itu soal pola pikir bukan hanya klaim dan di bibir saja.

Jelas bukan ke mana arah pilihan, Jokowi lagi, sekali lagi Jokowi.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun