Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, di Antara "Peran Pengganti, dan Keuntungan-Kerugian Petahana

20 Agustus 2018   09:34 Diperbarui: 20 Agustus 2018   09:42 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pembukaan Asian Games membuat pro-kontra saat Presiden Jokowi digambarkan mengendarai motor dari Istana Bogor hingga GBK untuk membuka pesta olah raga itu.  Pro-kontra yang jelas bernuansa politis. Suka atau tidak suka menjadi tren di media sosial tentu menggiurkan, apalagi dunia yang mengangkatnya, bukan semata nasional. Tentu kebat-kebit bagi kubu rival yang merasa makin berat. Wajar kala mulai dikaitkan dengan "kejujuran" dan pemain pengganti segala.

Sebenarnya jika mau jernih, tidak karena kepentingan politik, coba bayangkan saja, film, pemain film banyaknya yang dialihperankan karena berbagai hal, kemampuan, misalnya bintang film tersebut tidak jago memainkan bola ala freestyler, atau panjat tebing misalnya, itu sah-sah saja. Atau ditembak eh besok main lagi apa itu juga dicap tidak jujur, kemudian piala Oscar atau  piala Citra-nya dibatalkan? Jelas saja tidak. Naif banget.

Mendukung ide tidak jujur, ketika presiden memimpin kabinet menggunakan Jokowi KW yang pernah memainkan iklan dan filmnya, sedangkan yang asli sedang pesiar ke Maldives atau jalan-jalan di Eropa itu baru benar. Atau memimpin upacara 17 Agustus dengan gaya yang dipergunakan untuk pembukaan Asian Games, dan presiden malah hanya ongkang-ongkang kaki di istana misalnya, ekstrem dan tidak akan terjadi sebenarnya.

Peran pengganti ini sebenarnya jauh lebih memalukan lho. Ada iklan partai politik yang tidak menggunakan peran pengganti malah melakukan apa yang ia nyatakan dengan gagah,"KATAKAN TIDAK", hayo jauh tidak jujur yang mana? Ada pula yang di penjara ternyata menggunakan pemain pengganti, kamar lain, dan sejenisnya. Jauh lebih tidak pantas mana.

Hal tersebut sebenarnya sangat wajar, tensi pilpres mulai meningkat, eh ada tampilan yang menjadi pmbicaraan sangat marak dan positif. Tentu strategi lawan hendak mengambil alih panggung tersebut agar tidak makin membesar dan menjadi sarana untuk lebih tenar dan menjanjikan lagi. Itu saja.  Padahal jika mau kerja kerasa bukan semata meributkan capaian pihak lain banyak hal yang bisa dijadikan sarana untuk itu. Yakinkan pemilih bahwa mereka lebih baik.

Susah memang menjadi petahana ketika demokrasi masih berkembang, keadaan yang belum sepenuhnya modern, dan masih memilih pendekatan kubu lain pasti salah dan kelompok sendiri pasti benar. Sepanjang pemerintahan ini, oposisi menggelar begitu beragam cercaan, atas nama kritik. Beda lho, jika cercaan itu tidak mendasar, asal berbeda, dan tidak solutif. Mana coba yang cercaan dan kritik, semua bisa kog memahami dengan baik.

Dengan keadaan tersebut pemerintah, bahkan tidak jarang yang diserang pribadinya, bukan kebijakannya, tidak boleh, tidak bisa, dan tidak patut membalas, menjawab saja harus hati-hati. Mengapa? Itu juga rakyat yang harus dibangun baik mental ataupun badannya. Kesejahteraannya harus diperhatikan juga. Ini tentu sangat tidak mudah.

Kondisi itu sebenarnya mendapatkan "balasan" setimpal ketika bisa "berkampanye" bisa menggunakan fasilitas yang melekat pada dirinya sebagai pejabat publik tanpa melanggar hukum. Ingat, beda kalau Jokowi mengatakan ini karena jasaku, maka pilih lagi untuk nanti. Jelas melanggar UU Pemilu, bisa dipidanakan dan korupsi. Namun berbeda ketika persepsi publik terbangun citra positif, jelas itu sisi baik yang mau tidak mau dimiliki petahana.

Kampanye negatif sepatutnya sudah ditinggalkan, jika mengaku negara besar, negara demokrasi, dan negara maju. Sayangnya lebih suka memiih gaya ini karena murah meriah. Kadang efektif, dan tidak perlu kerja keras. Menjadi "oposisi" pun bisa elegan kog.

Kritik yang keras, pedas,  membangun, jelas lebih bermanfaat dan bermartabat. Dari pada mengurusi yang remeh temeh, pada sisi lain mereka juga menikmati dengan sukacita, contoh soal pembangunan infrastruktur. Mengapa tidak mengupas penanganan korupsi yang tidak beranjak, tapi apa mau ketika kadernya sendiri pun tersangkut bukan?

Sering konsentrasi itu malah buyar karena fokusnya pada pihak luar, lawan, dan abai membangun diri sendiri. Gaya lama yang terus saja digunakan. Hal yang sudah usang. Coba bayangkan berapa persen politikus yang mengurusi pihak lawan daripada jagoannya sendiri. Sama juga mau sabung ayam, malah tidak memelihara dan memberikan ramuan untuk jagonya, hanya melihat dan mengganggu jago lawan yang sedang dilakukan perawatan dan latihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun