Alasan jangan pilih Cak Imin jadi cawapres ataupun capres, ini seumpama pemuda yang naksir gadis, betapa banyak tingkahnya, namun malah lebay membuat si gadis enggan. Â
Mengapa demikian? Over acting,biasanya pemuda demikian itu malah tidak menarik bagi perempuan. Â Terlalu banyak aksi yang bisa membuat tidak dapat apa-apa. tebar pesona ke mana-mana yang ditebari, biasa saja. Cadangan sih boleh, usaha harus, tapi mbok ya o yang wajar saja.
Yang merasa layak menjadi kandidat pun banyak kog, ada ketua-ketua  umum partai politik pe-ngusung semua merasa juga bisa dan layak. Toh penampilannya tidak begitu-begitu amat. Profesional yang jauh lebih patut dan tenar juga tidak kurang-kurang. Militer pun demikian.
Secara politis hal ini ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, mengaji seberapa serius dan mampu menghadapi godaan dalam berpolitik. Kedua, ya memang ngebet untuk menjadi wapres dengan berbagai keadaan dan cara yang bisa ditempuh.
Banner dan spanduk masih wajar dan hampir semua yang ingin pun membuat, bukan satu atau dua. Sangat biasa kalau yang itu. Kalau salah dalam doa, sudah keterlaluan. Mosok doa tidak dipersiapkan. Hal ini yang membuat sudah tidak lagi patut. Benar bahwa politik itu mencari kekuasaan namun yang pantas dan patut, terukur, dan ada seninyalah, bukan menggunakan segala cara demikian.
Beberapa hal selain perilaku yang tidak patut untuk menjadi pertimbangan agar bukan Cak Imin adalah,;
Pertama, masa lalu berkaitan dengan PKB dan NU, dan ini jelas berkiatan dengan suara dari para penggemar Gus Dur. Suara yang demikian besar potensial untuk lepas. Merugikan daripada menguntungkan siapapun capresnya.
Kedua, prestasi, sebagai menteri, apa yang dicapai sebagai menteri juga tidak mentereng-mentereng amat. Tidak ada terobosan baru yang luar biasa. Bandingkan dengan menteri-menteri berkinerja cemerlang.
Ketiga, sebagai ketua umum  partai. Apa yang sudah dilakukan dan memberi dampak baik dan besar. Nol besar. Partai masih sama saja, begitu-begitu saja, tanpa ada yang baru. Produk reformasi tapi masih saja pola yang sama.
Keempat, melihat sepak terjangnya yang demikian ngebet, cenderung kasar, justru meragukan kemampuannya untuk dapat menjadi sesuatu. Besar kemauan, tapi untuk menjadi bukti sangat diragukan.
Kelima, kecenderungan main dua kaki, bahkan potensi main berkaki-kaki, susah untuk menjadi pejabat strategis dengan perilaku demikian. benar politik itu cair, tapi jangan lupa dan ingat kompromi dan mendapatkan  kekuasaan pun perlu seni dan keindahan. Jangan asal saja. Apa bedanya dengan fasisme jika demikian?