Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Budha, Musa, Muhammad, Yesus, Bersama Datang, Apakah Damai Otomatis Tercapai?

19 Maret 2018   05:20 Diperbarui: 19 Maret 2018   06:24 1203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Keempat, perasaan lebih dari manusia lain, soal kejiwaan yang sangat mendasar ini, sangat mudah dipantik untuk menjadi pemicu. Sisi lain, mereka paham salah, dan kembali ada pembenar dalam agama. Agama menjadi kedok, agama semata rasionalisasi atas perilaku sendiri. Pengakuan diri untuk mendapatkan legitimasi ya paling gambang mengambil agama.

Kelima, label, mengaitkan diri dengan yang besar, itu paling gampang. Lihat saja perselisihan paling gampang disulut adalah kaitan dengan agama. Meskipun jauh dari agama sebenarnya. Tentu hal ini  hanya dan bila terjadi di dalam pemahaman agama kanak-kanak. Jika sudah dewasa, susah untuk diprovokasi, pikiran menjadi jernih, dan bisa membedakan dengan baik mana yang menjadi akar masalah.

Jika mereka semua itu kembali, mengadakan rundingan, dan menyatakan untuk memberikan sayat-ayat yang mendukung hidup bersama saja, akan banyak yang menolak. Berbagai alasan dikemukakan, padahal yang mau merevisi itu yang punya tulisan, anjuran, dan Sabd itu. Merasa lebih tahu dan lebih memiliki, jelas akan menjadi catatan besar. Sering bukan satoam lebih galak daripada pemilik perusahaan.

Apa yang bisa diperbuat sebenarnya?

Mengedepankan persamaan daripada perbedaan. Jika terus saja mencari perbedaan, tidak akan pernah menemukan persamaan. Pendidikan baik kognisi atau agama selama ini ternyata bisa mengantar pada hal yang buruk ini. Masih ada waktu untuk memperbaiki keadaan.

Rendah hati, jika demikian, orang tidak akan pernah merasa paling sendirian. Merasa semua saudara yang perlu berjalan bersama untuk menuju pada tujuan akhir yang sama juga.

Memahami agama sebagai jalan atau sarana, bukan tujuan. Jika demikian, tentu  orang bisa berbeda dan ada perbedaan yang tidak perlu dipaksakan untuk sama. Toh sampai ke tempat yang sama.

Merasa diri paling boleh, asal tidak memaksakan orang lain untuk mengakui, apalagi menilai orang lain sebagai bodoh. Jika salah, biarkan saja kan pilihan bebasnya.

Salam

Inspirasi: Burung Berkicau

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun